"Prisa!"
Akhirnya aku kembali bertemu Yuda.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku akhirnya memenuhi panggilan dari HRD Metamorfosis Psycare. Selain karena memang belum ada panggilan kerja dari tempat lain, aku sudah lama ingin bekerja di sini–jauh sebelum aku tahu Yuda adalah founder-nya.
Sebenarnya, aku memutuskan istirahat beberapa saat dan fokus dengan pengobatan yang sedang kujalani. Lagi pula, aku tidak berminat lagi kerja di sini setelah mengetahui posisi Yuda. Tapi, Ayah yang sudah mengetahui status pengangguranku dari Mbak Tanti, terus menerorku. Padahal, yang Ayah butuhkan dariku bukan materi, tapi status. Hari ini, setelah mengetahui jadwal interview-ku, Ayah terus menghubungiku. Sudah pasti Ayah tidak akan tahan dengan status pengangguranku.
Tidak cukup dengan teror Ayah, aku mengawali hari dengan begitu sempurna. Hal yang tidak pernah aku harapkan kembali terjadi. Yuda datang begitu aku selesai melepas helm dan bersiap masuk ke lobi. Lagi-lagi, aku gagal menghindarinya. Pria itu seperti terus berada di sekitarku beberapa hari terakhir. Seperti saat aku mengisi bahan bakar di pom bensin, atau di supermarket sepulang dari pemancingan bersama Dokter Dona satu minggu lalu.
Ternyata, hari ini juga.
"Hai, Yud," jawabku saat akhirnya pria bertubuh tinggi itu tiba di pelataran parkir tempatku berdiri. "Baru dateng?"
Dia mengangguk. "Ikut interview di sini juga?"
Aku mencoba menangkap ekspresi lain di wajah Yuda. Tapi, sepertinya dia memang tidak tahu apa-apa soal interview hari ini. "Sebuah pertanyaan retoris?"
Yuda tertawa lalu menggeleng. "Gimana kalau kita ngobrolnya di kantin aja? Kamu belum sarapan, kan?"
Kenapa setiap kali bertemu dia selalu mengajak aku makan? Tidak sadarkah dia dengan kondisi badanku yang sudah melebar?
Aku melirik jam di pergelangan tangan sebelum akhirnya menyetujui ajakannya. Aku tidak ingin merusak suasana hatiku di hari penting ini. Lagi pula, aku memang perlu mengisi perutku dengan sesuatu untuk mengenyahkan rasa gugup yang mulai bergelayut.
Klinik ini persis seperti apa yang kulihat di channel Youtube mereka. Arsitektur dan interior yang digunakan sama sekali tidak benuansa rumah sakit atau klinik pada umumnya. Saat masuk, aku disambut dengan kolam dengan berbagai jenis ikan. Di sisi kiri bangunan, ada jalanan menurun–yang kuyakini sebagai jalan menuju basement parkir VIP. Selama dalam perjalanan ke kantin, mataku dimanjakan dengan deretan lukisan dan karya seni dari seniman lokal. Daripada pusat perawatan, tempat ini lebih mirip hotel atau galeri seni.
"Udah lama masukin lamaran di sini?" tanya Yuda saat kami dalam perjalanan ke kantin. Dia membawaku ke ujung koridor lantai satu hingga kami tiba di deretan cafetaria. Sepanjang koridor lobi ke cafetaria, lagi-lagi mataku dimanjakan dengan cat tembok warna-warni yang menambah estetika tempat ini.
Aku mengangguk. "Sebenernya udah dari beberapa bulan lalu, Yud. Sempet ragu juga pas tahu kamu founder-nya."
Yuda tertawa, lalu menyebutkan pesanannya sebelum kami akhirnya duduk. Beberapa orang yang berada di sana menyapa ramah kami. Dan itu membuat perasaanku tidak nyaman. Bagaimana jika mereka mengira ada sesuatu di antara kami? Bagaimana kalau mereka berpikiran negatif tentang kami–atau aku khususnya? Bukannya ini akan berdampak tidak baik? Kenapa Yuda harus merusak image-ku di hari interview, sih?
"Kenapa? Ngerasa nggak nyaman? Semua orang di sini tahu kalau aku nggak pernah ikut campur urusan recruitment, Sa. Tugasku di sini cuma memastikan kalau operasional berjalan lancar, pasienku baik-baik saja, dan pegawai dapet gaji," kata Yuda serius. Dia menyampaikan itu seolah sudah paham dengan jalan pikiranku.
Hening beberapa saat. Seorang wanita paruh baya yang mengantar makanan pesanan kami, tersenyum ramah. Satu porsi nasi goreng dan bubur ayam sudah berpindah ke meja kami. Sepertinya, pria kasual yang sedang duduk di depanku ini teramat menyukai bubur ayam.
"Nggak nyangka kamu udah bisa bikin tempat sekeren Metamorfosis Psycare," ucapku tulus. Aku tidak pernah menyangka akan dipertemukan kembali dengan Yuda dalam kondisi seperti ini. Dulu, ingin mengenalnya secara personal saja tidak pernah. Tapi, sekarang aku sedang duduk di sini, menunggu interview yang sudah dijadwalkan, bersama pemilik yayasan konseling paling elit di kota kecil ini.
"Aku juga nggak nyangka Metamorfosis Psycare bakal jadi klinik sebesar ini. Awalnya cuma iseng ngobrol sama temen buat bikin klinik konselor, alhamdulillah banyak yang dukung."
Tentu saja, orang humble berjiwa sosial tinggi seperti Yuda, pasti punya banyak teman di mana pun dia berada. Tidak terkecuali di tempat kecil ini. Dokter Dona yang notabene seorang dokter senior saja mengenalnya.
Selama ini, aku selalu membayangkan bagaimana rasanya jadi mereka yang punya mimpi besar seperti Yuda, bagaimana rasanya bisa menjalani hari mengikuti kata hati, dan bagaimana menjalani hidup tanpa harus bersembnyi di balik sosok lain.
"Aku nggak ngebayangin gimana usaha kamu dapetin donatur pertama bikin tempat ini. Pasti nggak mudah ya, Yud?" kataku akhirnya. Entah kenapa, aku ingin sekali bertanya. Mungkin karena itu hal satu-satunya yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu. Padahal sejak tadi, ponselku terus bergetar. Agak mengganggu, tapi aku memang sedang tidak ingin berbicara dengan Ayah saat ini. Dan sepertinya, Yuda adalah pengalihan tepat.
Yuda tersenyum. "Momen yang nggak akan pernah aku lupain, Sa."
Memang, ada satu momen yang tidak akan pernah kita lupakan dalam hidup. Dan bagiku, itu momen itu adalah saat ibu pergi. Kenangan itu terus terulang dalam memoriku seperti film lama yang terus ditayangkan. Beruntungnya Yuda yang memiliki ambisi.
Tanpa kusadari, waktu berlalu saat Yuda menceritakan tentang kliniknya: mulai dari perjuangannya mendapatkan modal dan donatur, mengelola managemen, mencari karyawan, sampai mengurus perizinan. Tidak heran kalau kliniknya sekarang sudah sebesar ini.
Namun, ada hal yang kulewatkan sejak tadi: Yuda sama sekali tidak ingin tahu apa pun tentangku. Dia bahkan tidak bertanya apa profesiku dan bagaimana kabarku sejak pertama kali kami bertemu. Yuda hanya terus menceritakan tentang dirinya.
Lalu, tepat setelah Yuda membayar makanan kami, seseorang memanggilnya dari kejauhan. Seorang pria paruh baya–mungkin seusia ayah, tengah melambaikan tangannya ke arah kami. Yuda tersenyum ke arah pria itu, lalu ikut melambaikan tangan.
"Aku ada agenda nemenin client di luar, Sa. Kita ngobrol lagi lain kali, ya. Makasih udah nemenin sarapan. Good luck!"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Yuda meninggalkanku.
Pria itu tampak familier. Aku seperti pernah melihatnya entah di mana. Wajahnya sama sekali tidak asing. Dan entah kenapa, lagu Hati yang Sepi kesukaan ibu kembali mengalun. Aku mendengarnya entah dari mana.
"Itu ayahnya Mas Yuda, Mbak," kata ibu penjual yang tadi menghidangkan makanan ke meja kami. "Wajah mereka memang mirip."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk sopan. Pantas saja wajah itu sama sekali tidak asing. Mungkin karena mereka memiliki postur tubuh dan wajah yang sangat mirip. Atau aku memang pernah melihatnya di suatu tempat?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...