AFILIASI

95 15 11
                                    

Aku berada dalam mode 'liburan' satu minggu belakangan. Aku ingin benar-benar menikmati setiap detik waktu yang kulewati. Aku tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Entah itu Ayah, Ibu atau bahkan Arkana yang baru tiba di rumah beberapa hari lalu.

Pagi ini, aku juga memutuskan untuk berdiam diri di kamar. Menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik dan menulis catatan. Selama 'liburan', aku sengaja tidak bertemu siapa pun dan memikirkan apa pun. Aku lelah sekali setelah konseling terakhir kali. Obat yang diresepkan Dokter Damara juga tidak banyak membantu. Jadi, Dokter Damara memintaku untuk rehat terlebih dahulu. Kondisi mentalku saat ini benar-benar belum bisa dipaksa untuk bergerak maju seberapa inginnya aku.

Aku juga belum sempat bertemu dengan Anggia. Dia masih sibuk meliput berita dan aku juga masih butuh mengisi energi sebelum bertemu dengannya. Satu minggu belakangan, kami intens berkomunikasi. Meskipun belum banyak hal yang kami bicarakan, aku senang karena rasa cemburu itu sudah lenyap dari diriku.

Sebenarnya, tidak benar-benar lenyap. Aku masih ingin sekali menggapai impian-impian lama itu. Namun, aku jadi lebih mensyukuri profesiku saat ini. Aku senang bisa sedikit berguna bagi orang lain. Aku senang bisa mendengarkan cerita yang tidak pernah kuduga dari orang-orang di sekitarku. Dan ini cukup membuatku lega.

Sejak tiga hari lalu, aku mulai membuka kembali blog yang sudah lama kutinggalkan. Aku mulai menulis lagi. Awalnya hanya mengunggah puisi-puisi lama dan cerita tentang persahabatanku dengan Anggia—yang sebelumnya hanya kutulis dalam buku catatan. Lalu, aku mulai membuka postingan-postingan lama yang sudah kulupakan. Namun, perhatianku justru tertuju pada sebuah komentar di salah satu tulisan lama tentang BDP—yang kalau tidak salah, kutulis saat pertama kali Dokter Damara mendiagnosaku.

Tulisan itu bukanlah curahan hatiku. Tulisan itu hanya sebuah artikel sederhana yang kutulis dari hasil risetku tentang penyakit mental ini. Anehnya, seseorang yang berkomentar di sana justru memberiku—sebagai penulis artikel ini—semangat. Lebih anehnya lagi, orang yang menyebut dirinya sebagai Anonim itu baru saja memosting komentar tersebut tiga hari lalu. Aku terus berpikir. Selain keluarga, Anggia, dan orang-orang terdekatku, siapa lagi yang tahu tentang kondisiku?

Entah apa sebabnya, aku langsung mengingat sebuah nama. Dengan sedikit ragu, kutuliskan sebuah balasan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tulisan itu.

Aku rasa, aku sudah menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Hubungi aku. Tulisku.

Tidak lama kemudian, ponselku bergetar. Bukan dari nama yang baru saja terlintas di pikiranku. Tapi, Dokter Damara.

Aku memang tetap mengaktifkan ponselku agar Dokter Damara bisa terus memantau kondisiku. Dan benar saja. Dokter baik hati itu baru saja mengirimiku pesan, menanyakan perasaanku saat ini.

Ah, perasaanku. Kadang, aku merasa bahagia karena segalanya berjalan jauh lebih baik dari prediksiku. Hubungan Ayah dan Ibu terlihat cukup baik meskipun interaksi yang terjalin masih sangat kaku. Keluarga Ayah juga bisa menerima kehadiran Ibu. Di luar dugaan, Arkana terlihat lebih siap menghadapi semua ini. Dia terlihat bisa mengandalikan perasaannya saat pertama kali mendengar ceritaku tentang Ibu.

Namun, kadang aku merasa kosong. Aku merasa baru saja membuat beban yang begitu berat untuk pundakku sendiri. Selama 'liburan' aku terus bertanya-tanya tentang kebenaran sikapku terhadap Yuda saat terakhir kali kami bertemu. Aku ingat bagaimana pria itu berkali-kali meyakinkanku jika dia benar-benar tidak sedang berdusta. Tidak jarang, aku menyesali keputusan menemui Ibu.

"Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Prisa. Kamu boleh saja tidak menyukai bagian kecil dari diri seseorang. Tapi, bagaimana dengan sosoknya secara keseluruhan? Apakah memang dia seburuk itu? Atau kamu membencinya hanya karena bagian kecil yang tidak kamu suka itu? Kita tidak bisa menyukai seseorang hanya karena hal kecil yang kita anggap baik, kan? Begitu pula sebaliknya. Kita tidak bisa membenci seseorang hanya karena hal kecil yang kita anggap buruk. Bagaimana kalau kamu mencoba menarik garis tengah? Mungkinkah seseorang melakukan hal buruk itu kepadamu dengan sebuah alasan?" tanya Dokter Damara sesaat sebelum aku meninggalkan ruang kerjanya satu minggu lalu.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang