Bukan Schema-Focused Therapy. Bukan juga General Psychiatric Management dan Pelatihan Sistem untuk Prediktabilitas Emosional dan Pemecahan Masalah (STEPPS) yang Dokter Damara anjurkan untuk mengatasi gejala BDP-ku. Tapi, dia justru memintaku menulis biografi singkat orang-orang yang pernah melukaiku.
Awalnya, aku tidak yakin hal ini akan berhasil. Aku hanya mencoba melakukan apa yang Dokter Damara sarankan. Dan aku mengawalinya dengan kembali menghubungi Anggia. Pesan pertama yang kukirimkan hanya sebatas sapa basa-basi. Kami saling bertukar kabar. Lalu, perasaan yang lama kukubur itu kembali muncul ke permukaan. Ingatanku tentang sosoknya menguat. Berlembar-lembar catatan tentang Anggia berhasil kutuliskan.
Aku menuliskan segalanya. Tentang awal perkenalan kami, waktu-waktu yang sudah kami lewati bersama, perpustakaan sekolah, jajanan kesukaan, cowok-cowok yang pernah dia taksir, momen saat mendaftar sekolah bersama, memori tentang Anggia yang selalu membelaku meskipun aku salah, dan buku-buku yang pernah dia pinjam dariku.
Aku begitu lancar menuliskan semua bagian itu. Tapi, jemariku berhenti menulis ketika kenangan tentang hari kelulusan muncul dalam otakku. Aku merasa seseorang tengah menghujaniku dengan rasa sakit yang tidak bisa kutahan lagi. Tepat di sini. Di dalam kepalaku. Perasaan tidak berdaya menolak keinginan Ayah itu kembali memenuhiku. Dan aku sangat membenci bagian ini.
Aku benci mengingat bagaimana raut wajah Anggia saat mengabarkan hasil tesnya. Aku benci melihat sorot mata Anggia yang dipenuhi kebahagiaan. Aku benci mengingat bagaimana intonasi suaranya. Aku benci dia yang berhasil lolos di jurusan ilmu komunikasi. Aku benci kenyataan bahwa hanya dia yang bisa mewujudkan impian itu. Aku benci Anggia.
Dan dengan menulis semua kisah ini, aku berhasil menemukan kebenaran yang kuhilangkan.
"Prisa, coba tanyakan sekali lagi pada diri kamu sendiri, siapa yang sebenarnya kamu benci? Apakah kebencian itu timbul karena kamu merasa Anggia telah mengkhianatimu? Atau apakah ini adalah dampak dari rasa kecewa karena kamu nggak bisa masuk di jurusan yang sama?" tanya Dokter Damara di sela isak tangisku. Tidak butuh waktu lebih dari tiga puluh menit baginya untuk membaca semua tulisan di buku catatanku.
"Anggia tidak bersalah," kataku lirih.
"Lalu, siapa yang salah?"
Aku menggeleng. Kususut air mata yang membasahi pipi. "Tidak ada yang salah. Saya hanya terlalu takut mengakui jika saya kecewa terhadap ketidakberdayaan saya melawan kehendak Ayah. Saya tahu, Anggia adalah tipikal orang yang sangat ambisius. Tapi, saya juga tahu, dia mengambil jurusan itu bukan untuk mengecilkan saya. Anggia bahkan tidak pernah menjauhi saya setelah peristiwa itu. Dia tetap menemui saya di sela kesibukannya sebagai mahasiswa baru. Tidak peduli seberapa jauh jarak fakultas kami."
Dokter Damara tersenyum. "Kamu sudah bisa merespon dengan lebih cepat sekarang, Prisa. Aku senang sekali. Benar, bukan? Aku nggak perlu mengajari seorang pelukis menggambar awan? Lalu, apa yang kamu rasakan terhadap Anggia setelah semua kesadaran itu kamu dapatkan?"
"Saya sangat merasa bersalah."
"Akan ada maaf untuk setiap yang bersalah, Prisa. Kamu tnggak perlu memendam perasaan itu. Minta maaflah padanya. Katakan apa yang terjadi. Ceritakan segalanya pada Anggia. Lalu, berliburlah. Aku punya perusahaan travel yang bisa membantu kalian pergi ke mana saja. Masih mau ke Raja Ampat?"
Kali ini, seloroh Dokter Damara berhasil membuatku tertawa. Dia belum melupakan kalimat yang kusampaikan padanya beberapa tahun lalu. Aku memang pernah ingin sekali pergi ke Raja Ampat bersama Anggia.
"Aku bisa memberi kalian diskon khusus. Aku tahu sekarang kamu seorang pengangguran," tambahnya.
Aku tersenyum dan menggeleng. "Saya tidak mungkin diizinkan, Dok."
"Apakah kamu pernah meminta izin kepada ayahmu?"
"Pernah. Ayah melarang saya pergi bersama teman-teman saya di luar pengawasannya. Tidak hanya sekali."
Dokter Damara mengerutkan kening. "Berapa usiamu saat itu?"
Aku mencoba mengingat. Saat itu, aku duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Aku meminta izin Ayah untuk pergi menonton bioskop bersama teman-teman sekelasku termasuk Anggia. Tapi, Ayah tidak memberiku izin.
"Wajar, Prisa. Sangat wajar jika ayahmu melarang kamu pergi saat itu. Mungkin saja sekarang sudah berbeda. Mau mencobanya?"
Aku menggeleng dan menolak saran Dokter Damara barusan. Aku masih ingat bagaimana raut wajah Ayah saat itu. Aku bahkan masih ingat bagaimana rasanya berhadapan dengan Ayah, mempertahankan argumen saat memutuskan untuk kerja di Kalimantan. Membayangkan itu saja, membuat perutku tiba-tiba mulas.
Dokter Damara mengambil secarik kertas berisi daftar nama yang kutulis tiga hari lalu dan memberikannya kepadaku. "Sebenarnya, aku sangat penasaran tentang siapa sosok wanita yang ada di barisan ke dua. Tapi, setelah berbicara tentang liburan dan izin dari ayahmu, bagaimana kalau nama ini kita lewati lebih dulu?"
Aku menatap Dokter Damara dengan heran. Lalu, aku menatap lembaran kertas bertuliskan nama lima orang itu dan menemukan 'Ayah' di urutan ke tiga. "Hubungan saya dengan Ayah sudah perlahan membaik, Dok. Saya mulai terbuka dengan Ayah tentang apa yang sedang saya hadapi saat ini. Ayah bahkan sudah tahu jika saya menemui Dokter Damara. Saya kira, kita sudah membicarakan banyak hal tentangnya jauh sebelum ini. Jadi, saya hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga jika harus menuliskannya kembali."
"Bukan itu, Prisa. Aku nggak akan memintamu menuliskan biografi ayahmu. Tapi, hal yang lebih dari itu."
Dokter Damara meninggalkanku yang masih diliputi keheranan dan berlalu menuju pintu. Begitu pintu ruangan terbuka, dia terdengar sedang berbicara dengan seseorang. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu karena tubuhku seketika beku saat melihat sosok tinggi di depan pintu.
Di sana, tiga meter dari tempat dudukku, Ayah memanggil namaku dengan sorot mata paling hangat yang pernah dia berikan. Di sebelahnya, Ibu sudah berurai air mata. Aku tidak tahu bagaimana caranya mendeskripsikan perasaanku saat ini. Untuk kali pertama setelah dua puluh tahun lamanya, aku kembali melihat dua wajah itu dalam satu tatapan.
Aku terduduk di dinginnya lantai ruang kerja Dokter Damara. Air mataku tumpah tidak tertahan lagi. Dan aku tidak mencegahnya kali ini. Kubiarkan perasaan sesak itu memenuhiku. Kubiarkan Ayah dan Ibu melihat versi paling lemah diriku. Andai bisa kulihat wajahku di cermin saat ini, kupastikan melihat sosok balita seorang Prisa Yudita di sana.
Ya. Aku tetaplah Prisa Yudita yang sama dengan saat itu. Prisa yang terus dan akan selalu membutuhkan orang-orang di sekitarnya. Termasuk Ayah dan Ibu.
Tidak lama kemudian, kurasakan tubuh ringkih Ibu memelukku. Dia menepuk-nepuk punggungku dengan sangat lembut. "Prisa, anakku, putriku, kamu sudah banyak sekali belajar. Terima kasih sudah bertahan. Ibu banyak sekali belajar darimu."
Aku beringsut duduk kembali setelah beberapa saat berlalu. Kulihat Ayah masih memejamkan mata di sebelah Ibu. Dengan tangan gemetar kuraih ujung kemeja lusuhnya. "Apa Ayah masih kesulitan menunjukkan ekspresi?"
"Maafkan Ayah yang sudah menghalangi langkah-langkah besarmu, Prisa. Maafkan Ayah yang tidak pernah berusaha mendengarkan kamu."
Aku berdiri dan memeluk Ayah. "Ayah sudah melakukan yang terbaik untuk kami. Prisa hanya luput melihat segala sesuatu dari perspektif yang berbeda. Maafkan Prisa, Ayah."
Alih-alih menjawab pernyataanku, perhatian Ayah justru tertuju pada sesuatu yang lain. Matanya terperangkap pada secarik kertas lusuh di atas meja kerja Dokter Damara. Entah bagaimana, Dokter Damara luput membereskan itu sebelum Ayah dan Ibu masuk ruangan.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan tidak menemukan sosok Dokter Damara di sudut mana pun.
Lalu, sebelum aku berhasil mengendalikan perasaanku, Ayah menghujaniku dengan pertanyaan yang sama mengejutkannya.
"Apakah ini Yuda yang punya Metamorfosis Psycare? Apa yang sudah dia lakukan kepadamu sampai kamu menuliskan namanya di sini?"
***
Dalam ilmu psikologi abstraksi adalah proses memahami kesimpulan atau makna yang tidak terlihat dari suatu benda atau fenomena. Dilakukan untuk membentuk konsep pemikiran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...