AVOIDANT

42 14 12
                                    

"Aku mulai melupakan wajah Ibu. Seberapa keras aku nyoba buat nginget, aku nggak pernah bisa inget."

Yuda dan Dokter Dona menatapku secara bersamaan. Lalu, mereka tersenyum. Sebagai seorang yang pernah belajar ilmu psikologi, aku tahu betul kapan harus tersenyum dengan cara seperti itu.

"Aku tahu kamu sedang mencoba mengamati ekspresi kami, Prisa," kata Yuda sebelum kembali sibuk dengan mangkuk baksonya. Lagi-lagi, aku tertangkap basah olehnya. "Setelah semua yang terjadi, aku nggak mau kamu menatapku dengan cara seperti itu lagi."

Aku menunduk malu. Pipiku terasa panas. Sementara, Dokter Dona justru tertawa.

Dokter Dona menyilangkan kedua tangan di depan dada, lalu menatap kami bergantian. "Apa yang sudah kulewatkan selama satu minggu terakhir? Apa perkembangan hubungan kalian yang membuat mood Prisa membaik?"

Kali ini bukan hanya aku yang terkejut. Yuda terbatuk hingga membuat wajahnya memerah. Buru-buru, kusodorkan gelas berisi air mineral untuknya. Sementara, Dokter Dona menepuk-nepuk punggung Yuda pelan. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersama mereka, aku akhirnya tahu jika hubungan mereka lebih dekat dari yang kukira.

Sejak menemukan kertas note dari Yuda di papan ujian tiga hari lalu, aku sangat menghindari momen berduaan dengannya. Jadi, hari ini aku sengaja mengajak Dokter Dona makan siang bersama kami. Tentu saja dengan dalih aku ingin menyerahkan buku harian kepada Bu Dona.

Ah, sebenarnya bukan hanya karena tulisan pada kertas note itu saja. Tapi juga perhatian-perhatian kecil yang Yuda berikan padaku. Di sela rutinitasku memberi laporan harian kepada Ayah, pesan-pesan Yuda turut memenuhi kolom chat Whatsapp-ku.

"Kukira selain BDP, aku juga mengidap prosopagnosia," kataku berusaha keras mengubah haluan topik pembicaraan.

Dan aku berhasil. Karena setelah aku mengatakan itu, Yuda dan Dokter Dona kembali tertawa. "Astaga humorku," kata Yuda masih sambil menahan tawa.

Astaga, Yuda. Sejak kapan jantungku bekerja lebih keras cuma karena denger kamu ketawa?

"Itu sangat wajar mengingat ibumu pergi saat kamu masih berumur enam tahun. Menurut penelitian, anak-anak akan cenderung lebih sedikit mengingat memori antara kelahiran sampai usia enam atau tujuh tahun," kata Bu Dona memberi penjelasan.

Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat teori ini. Tapi, bukankah ini sangat mustahil mengingat aku dulu lebih sering menghabiskan waktu bersama Ibu ketimbang Ayah?

"Apa memori menyenangkan yang paling kamu ingat saat bersama Ibu, Prisa?"

Aku meletakkan sendok dan garpu di atas piring nasi gorengku yang masih separo, lalu menghela napas panjang. Pertanyaan Yuda berhasil membawa ingatanku terlempar jauh ke masa lalu. Aku sudah melupakan banyak hal, tapi ada memori yang entah bagaimana tetap bertahan. "Saat itu, aku berumur lima tahun. Aku ingat angka umurku karena saat itu aku duduk di bangku taman kanak-kanak."

Yuda menyentuh punggung tanganku dengan lembut. "Kamu nggak perlu cerita kalau emang belum ingin, Prisa. Kita bisa mengganti topiknya."

Aku menggeleng. Selama ini, topik tentang hari itu adalah sesuatu yang berusaha keras kuhindari. Aku bahkan tidak pernah menceritakan ini kepada Dokter Damara. Saat itu, aku masih menyangkal penglihatan anak-anakku.

Namun, tidak hari ini. Belakangan ini, aku selalu merasa jauh lebih nyaman setelah menceritakan apa-apa yang kupendam kepada Yuda dan Dokter Dona. Mungkin saja, beban berat yang selama ini kupikul sendiri akan terangkat. Mungkin saja, Yuda atau Dokter Dona bisa membawaku melihat semua ini dari perspektif lain. Aku mengambil selembar tissue dan meremasnya kuat-kuat.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang