DENIAL

55 15 21
                                    

 "Aku senang kamu kembali, Prisa. Lebih senang lagi karena kali ini kamu nggak sendiri. Dan sepertinya Dona nggak sedang membesar-besarkan sesuatu," kata Dokter Damara saat akhirnya kami selesai berbasa-basi.

Aku sengaja meminta Ibu datang ke sini bersamaku. Selain karena aku masih butuh banyak waktu berduaan dengannya, aku juga ingin mengenalkannya pada Dokter Damara. Beruntung, Ibu langsung menerima tawaranku. Ibu menuruti keinginanku tanpa banyak bertanya.

Setelah melihat punggung Ibu menghilang di balik pintu, aku kembali menatap Dokter Damara. Aku mengerutkan kening heran. "Apa itu, Dok?"

Dokter Damara membenarkan letak kacamatanya dan tersenyum ramah. Pria itu tampak tidak jauh berbeda dengan saat terakhir kali kami berjumpa. Dan ruangan ini, tidak pernah berubah sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini. Sebuah rak yang dipenuhi buku-buku psikologi, meja kerja, papan nama, juga rak sepatu di dekat pintu masuk masih berada pada posisi yang sama.

"Kamu sudah jauh lebih baik dari saat terakhir kali menghubungiku. Paling nggak, aku sudah bisa melihatmu terbiasa dengan ibumu. Aku tahu itu bukan hal yang mudah, Prisa."

Aku mengangguk dan tersenyum. Dokter Damara benar. Aku mengalami banyak kemajuan setelah bertemu Dokter Dona, Yuda, bekerja di Metamorfosis Psycare, berinteraksi dengan pasien, dan bertemu Ibu. Tapi, itu bukanlah perjalanan yang mudah bagiku. Keinginan untuk merasakan kematian itu tidak hanya sekali dua kali hadir bertandang. Tidak jarang, aku merasa putus asa akan segala sesuatu.

"Memang. Cara terbaik untuk menghilangkan trauma dan rasa takut adalah dengan melawannya," kata Dokter Damara lagi.

Dan Yuda mengajariku tentang semua itu. Dengan semua misi yang dia berikan, aku mulai bisa terbiasa menghadapi pemicu depresiku. Sejak saat itu, aku memang jadi lebih bisa mengenal diri sendiri dan tahu titik kelemahanku.

Ah, mengingat Yuda, membuat hatiku seketika hampa. Ada sesuatu yang hilang sejak tidak kutemukan lagi pesan singkatnya saat pagi menjelang. Aku merasa kosong saat tidak ada lagi lagu-lagu baru yang dia kirimkan. Aku tidak tahu bagaimana awalnya perasaan ini muncul. Tapi, belakangan menjadi semakin parah. Aku sering kali merasa kesepian bahkan saat berada di tengah keramaian. Mengingat Yuda menumbuhkan rasa kecewa dan bersalah di saat yang sama.

"Kamu sangat beruntung, Prisa," kata Dokter Damara membuyarkan lamunanku tentang Yuda. "Tidakkah kamu merasa beruntung, Prisa?"

Aku menatap jauh ke dalam mata Dokter Damara. Ada kehangatan yang memenuhi perasaanku. Andai saja Dokter Damara tidak menyarankanku menemui Dokter Dona waktu itu, aku tidak tahu bagaimana komdisiku saat ini.

Aku akhirnya kembali tersenyum. "Saya beruntung karena sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya, Dok. Saya tahu saya berbeda. Ada sesuatu dalam diri saya yang mungkin tidak orang lain rasakan. Tapi, paling tidak, saya tahu bagaimana mengatasinya saat perasaan-perasaan itu muncul. Saya tidak boleh kalah dengan perasaan saya sendiri, Dok."

Dokter Damara terkekeh pelan. "Dan kamu tahu itu pasti akan terjadi."

Aku mengangguk. "Lebih dari itu, saya tahu itu pasti akan terjadi lagi saat sesuatu memicunya. Mungkin bahkan hidup akan bersikap lebih kerasa lagi kepada saya."

"Tapi, sekarang kamu sudah jauh lebih mengenal dirimu sendiri, Prisa. Kamu bisa mengatasinya."

Aku kembali membenarkan kalimat Dokter Damara. "Dan terima kasih sudah membantu saya sejauh ini, Dok. Saya tidak tahu bagaimana–"

"Bukan aku, Prisa," potong Dokter Damara cepat. "Kamu yang sudah berjuang melawan semua perasaan negatif itu. Aku sangat bersyukur melihat kondisimu sekarang. Kerikil itu pasti akan tetap ada. Perasaan ingin mati itu bisa datang kapan saja. Tapi, aku yakin kamu sudah siap sekarang. Kamu bisa berjalan sejauh ini. Bagaimana kabar ayahmu? Aku harap hubungan kalian juga mulai membaik."

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang