MONACHOPSIS

119 25 8
                                    

"Kamu udah pernah makan bubur ayam depan rumah sakit? Enak loh. Bude yang jualan orang asli Yogyakarta."

Aku menggeleng sambil memaksakan senyum. "Kayaknya nggak hari ini, Yud. Makasih tawarannya, tapi aku udah sarapan tadi."

Alih-alih menggodaku dengan menyinggung topik berat badan, Yuda justru tersenyum dan menarik pergelangan tanganku menjauh dari area praktik Dokter Dona.

Sepertinya, aku harus membuang jauh-jauh rencana untuk menghabiskan waktu dengan memasak dan menonton film malam ini. Pria yang sedang berdiri di sampingku ini setengah memaksa membawaku ke salah satu kedai bubur dekat rumah sakit. Katanya, bubur buatan Bude Sumiati sudah menjadi bubur favoritnya sejak tinggal di kota kecil ini.

Narendra Yudatama adalah orang kedua hari ini yang menyapaku tanpa pertanyaan basa-basi—yang mungkin akan kujawab dengan kalimat membosankan lainnya. Sejak bertemu di lobi apotek tempat Dokter Dona praktek tadi, Yuda justru memberondongku dengan pertanyaan yang tidak terduga. Awalnya, dia menanyakan tentang grup alumni fakultas psikologi di WhatsApp, lalu menanyakan kabar Liliana—salah satu teman kami yang juga mengambil jurusan psikologi, hingga obrolan kami berakhir dengan cerita tentang bubur ayam terenak versinya.

"Aneh banget ya orang-orang. Masa makan bubur diaduk sama enggak aja diperdebatkan," ujarnya di sela-sela suapan. Sesekali dia menatapku intens, lalu kembali sibuk dengan bubur dan ceritanya. Kalau diingat-ingat lagi, bahkan sejak tadi Yuda sama sekali tidak menanyakan kesediaanku dibawa ke tempat ini.

Tidak pernah ada yang istimewa dalam hubungan kami. Sebenarnya, aku memang tidak pernah memiliki hubungan istimewa dengan siapa pun, bahkan Liliana. Aku hanya mengenal Yuda sebagai salah satu mahasiswa jurusan psikologi yang cukup aktif dalam kegiatan sosial. Kami juga kebetulan beberapa kali dipertemukan di kelas yang sama. Hanya itu.

Yuda bukan termasuk dalam kategori cowok tampan idaman mahasiswi pada masa itu. Tapi, karena sering mengikuti kegiatan sosial dan antusiasmenya di klub pencinta alam, Yuda banyak dikenal. Dia juga tidak masuk dalam kategori mahasiswa malas berotak cerdas. Dia beberapa kali absen di kelas yang kami ikuti karena kegiatannya di alam. Beruntunganya, dia bisa lulus tepat waktu. Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Seperti yang sudah kubilang, itu karena dia sama sekali tidak istimewa bagiku.

"Awalnya pergi ke sini buat travelling," katanya lagi. "Nggak nyangka justru terjebak, tersesat, dan bingung sama arah jalan pulang."

Aku menanggapinya dengan tersenyum. Berharap Yuda akan segera menandaskan isi mangkuknya dan membiarkanku pergi dari tempat ini.

Mendengar kata travelling membuatku mengingat sesuatu yang sudah lama kusimpan rapat-rapat. Dan di sela obrolan kami tentang destinasi wisata yang penah dia kunjungi, tempat-tempat yang kelak akan dia datangi atau Kalimantan yang begitu alami, kenangan itu datang mendistraksi. Untuk kesekian kali, aku mengelap keringat yang menetes di dahi.

Selain mati, aku pernah memimpikan sesuatu. Kalau tidak salah, aku memimpikannya dua puluh tahun silam, saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Saat itu, aku menghampiri Ibu yang sedang menimang Arkana di beranda rumah sambil menunjukkan gambar Candi Borobudur yang tercetak di kertas kalender. Kubilang, "Aku mau keliling Indonesia kalau sudah besar dan punya uang sendiri."

Bagiku yang hanya seorang anak kuli bangunan, impian itu sudah sangat tinggi. Dan benar, keinginan itu tidak pernah terwujud sampai sekarang. Bukan karena tidak memiliki cukup dana untuk pergi, tapi ayah tidak akan pernah mengizinkanku pergi sendiri. Untuk bisa bekerja di sini saja aku harus memenangkan puluhan kali perdebatan.

"Kamu kehilangan fokus," kata Yuda sembari mengambil gelas es teh di depannya. "Mau seneng-seneng keliling Indonesia bareng aku sama temen-temen, nggak?"

Aku mengalihkan tatapan dari jalanan penuh sesak ke wajah Yuda. Dia adalah pria paling random yang pernah kutemui. Bagaimana dia bisa membicarakan semua topik ini dengan begitu nyaman di pertemuan pertama kami?

Yuda menyeruput es tehnya, lalu menyandarkan tubuh ke kursi plastik yang kami duduki—tanpa terlihat sedang menunggu jawabanku atas pertanyaannya sama sekali. Dari pengamatanku, sejak tadi Yuda hanya terus berbicara tanpa mengharapkan respons dariku.

Sebenarnya, daripada mendengarkan ocehan Yuda sepanjang siang yang terik ini, aku lebih memilih menghabiskan waktu di kamar sambil memutar lagu-lagu Westlife dari ponsel. Tapi, ada sesuatu yang sebenarnya ingin sekali aku tanyakan dari tadi, "Emang kamu nggak kerja jam segini? Atau kamu kerja di sini?"

Aku berharap pertanyaanku membuatnya mengingat pekerjaan yang belum selesai dan segera membiarkanku pergi. Tapi melihat senyuman di bibirnya, membuatku yakin jika yang akan terjadi justru sebaliknya. Aku sedang membuat kubangan untuk diri sendiri.

"Aku kerja di Klinik Konselor dan punya jam yang fleksibel. Aku bahkan masih sempet nganterin kamu pulang kalau kamu mau," katanya tanpa melepas senyum khas di wajahnya.

Kalau aku tidak salah ingat, Yuda sudah jauh berubah sekarang. Warna kulitnya menjadi lebih cerah dan gaya berpakaiannya menjadi lebih formal. Jika Yuda yang kutahu adalah seorang yang santai dengan gaya sangat kasual, berbeda dengan sekarang. Dari kaus oblong, casual blazer dan celana bahan yang dikenakannya, dia pasti mengikuti tren mode juga.

"Kamu nggak ngerokok?"

Dia mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompet dan berdiri. "Nggak kalau lagi sama cewek."

Aku sempat melihatnya tersenyum ramah dan berbicara sesuatu kepada Bude penjual bubur sebelum kembali ke tempat duduk.

Seandainya saja Ibu tidak pernah pergi dan kelainan mental ini tidak pernah menghantui, mungkin aku sudah menaruh perasaan lebih kepada pria manis di depanku ini. Sayangnya, kejadian hari itu berbuntut panjang dan memberi dampak serius pada kondisi psikisku.

"Butuh tumpangan? Atau masih ada perlu di sini?"

Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dengan dalih masih ada urusan lain, aku menolak tumpangan gratis yang diberikan Yuda.

Aku meremas kartu nama dari Yuda begitu sepeda motornya menghilang dari pandangan. Sejak tadi, entah berapa helai tisu yang kuhabiskan untuk mengelap keringat di pelipisku.

Sebagai pengidap BPD, tidak mudah bagiku berlama-lama di tempat seperti ini. Bukan tidak pernah mencoba, lima tahun terakhir aku berhasil melakukan yang terbaik. Sayangnya, di saat aku merasa segalanya baik-baik saja, kondisi psikisku justru memberikan respons sebaliknya.

Sungguh, aku bahkan masih merasa baik-baik saja satu bulan yang lalu. Aku tidak menunjukkan gejala berlebihan seperti sebelumnya. Jika dulu aku sering merasa tidak aman dan mengalami gangguan kecemasan yang cukup parah, tidak kali ini. Aku hanya merasa kehilangan rasa percaya kepada orang lain dan mulai gemar makan.

Aku baru saja akan meninggalkan halaman parkir rumah sakit saat seseorang menyentuh bahuku.

"Mbak, Mbak baru saja menjatuhkan ini," ujar wanita berjilbab yang memanggilku barusan.

Dia memberiku selembar kartu nama lusuh yang kemungkinan besar tidak sengaja terjatuh saat aku mengambil tisu dari dalam tas. Dengan refleks, kubaca nama pria yang tertulis rapi di sana. Narendra Yudatama, founder of Metamorfosis Psycare.

Mataku membelalak. Sepertinyaaku baru saja berhalusinasi. Founder? Yuda adalah founder dari tempat paling elite untuk penyandang gangguan psikologis itu?

***

Terima kasih masih bersedia mengikuti kisah Prisa, Teman-teman. Semoga suka, ya. 

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang