KUEBIKO

47 13 10
                                    

"Ada apa, Kinan?" tanyaku penasaran.

Kinan yang sedang sibuk dengan komputernya, berdiri menyambutku. Suasana di lobi kantor mendadak ramai. Beberapa petugas keamanan berhamburan masuk. Seseorang memintaku menunggu di ruang tamu bersama Bu Suci. Dari koridor bagian dalam, kudengar seseorang terus berteriak. Tapi, aku yang merasa belum mendapat jawaban dari Kinan masih menunggu.

Gadis yang baru saja mengecat rambutnya jadi auburn brown itu menggamit lenganku dan berbisik pelan, "Ada mantan suami Bu Yunita mengamuk di depan ruangan Mbak Prisa."

Di depan ruangan kami? Saat ruangan itu kosong?

"Bu Suci tahu?"

Kinan menangguk, lalu menarik tubuhku masuk ke ruang tamu. "Ini kali kedua. Tapi, yang pertama waktu itu nggak separah ini, Mbak. Sekarang, Pak Yuda sedang mencoba menenangkannya."

Mendengar nama Yuda disebut, aku bergidik. Apakah pria itu selalu melibatkan diri dalam semua masalah di klinik ini? Bagaimana kalau mantan suami Bu Yunita melakukan hal yang bisa melukai Yuda? Bagaimana kalau dia terluka? Tidak bisakah dia duduk diam di ruangannya dan biarkan para karyawan bekerja?

Kinan membawaku ke masuk ke ruang tamu. Tempat di mana dulu proses interview kerjaku dilaksanakan.

Bu Suci yang menyadari kehadiranku akhirnya tersenyum. "Kamu sudah lebih baik, Prisa?"

Aku mengangguk. "Saya sudah merasa jauh lebih baik, Bu. Kenapa dia mengamuk di sini?"

Aku sempat menangkap perubahan ekspresi di wajah Bu Suci selama beberapa saat. Wanita itu menepuk sofa di sampingnya, memintaku untuk duduk. Dan aku menurut.

"Dia mengikuti Yunita dari rumah tadi pagi."

Ruang tamu mendadak hening. Kekosongan mengisi ruangan besar ini selama beberapa saat hingga aku sadar ada sesuatu yang kulewatkan sejak tadi. Ruangan konselor tidak kosong saat ini. Ada seseorang yang sedang terkurung di dalam sana. Dan mengingat bagaimana kondisi Yunita saat terakhir kali bertemu, aku tidak yakin dia akan tetap baik-baik saja.

Seolah mengerti dengan apa yang sedang kupikirkan, Bu Suci kembali berkata, "Semoga Yunita baik-baik saja. Saya khawatir, tapi pergi ke sana sekarang juga bukan pilihan yang baik mengingat bagaimana sikap Darial saat tiba di sini tadi pagi. Yang bisa kita lakukan saat ini hanya bersabar dan berharap Yuda bisa memenangkan hati Darial."

Ya. Kita harus bersabar. Tapi, hatiku justru mengatakan hal sebaliknya. Aku harus ke sana dan menenangkan Yunita. Bagaimana jika dia nekat membukakan pintu dan membiarkan Darial melukainya? Atau bagaimana kalau dia melukai dirinya sendiri?

Aku berdiri. Aku baru saja berniat meninggalkan tempat ini saat pintu ruangan tiba-tiba terbuka.

Yuda masuk dengan tergesa. "Bu Suci bisa ikut ke ruanganku sekarang?"

Ada yang hilang dari dalam diriku saat menyadari Yuda sama sekali tidak menatap ke tempatku berdiri. Aku tidak mengerti perasaan macam apa ini. Aku merasa dunia berhenti berputar dan mulai meragukan perasaanku sendiri. Setelah semua yang terjadi, benarkah aku tidak berharap sesuatu yang lebih dari persahabatan kita? Lalu, perasaan macam apa ini?

Aku mengembuskan napas kasar, mencoba membuang perasaan pribadi dan fokus dengan apa yang harus segera dilakukan. Aku mendengarkan penjelasan Yuda tentang kondisi psikis Darial yang ternyata jauh lebih buruk dari Yunita. Pria itu bahkan sudah merusak beberapa benda di klinik. "Dia sangat berantakan. Dia butuh kita," kata Yuda mengakhiri cerita.

Tidak hanya Darial. Tapi, kamu juga sangat berantakan, Yuda.

Pagi ini, Yuda benar-benar tampak berantakan. Kemeja royalblue panjangnya dia gulung hingga siku. Bagian bawah kemejanya juga tidak dimasukkan dengan sempurna. Simpul dasi yang dilonggarkan, seperti menunjukkan padaku hal besar apa yang sudah dia lakukan pagi ini.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang