Aku duduk di salah satu bangku kayu taman kota. Kepalaku tertunduk. Kedua tanganku terkepal di atas pangkuan. Aku terus berharap waktu berlalu sedikit lebih lambat.
Apakah keputusanku untuk bertemu dengan Ibu adalah sesuatu yang terkesan buru-buru? Bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan perasaan? Bukankah dua puluh tahun sudah sangat cukup untukku mempersiapkan diri?
Bukan tidak pernah. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk pergi meninggalkan Ayah dan mulai mencari Ibu. Saat itu, usiaku masih delapan tahun. Aku merindukannya lebih dari apa pun. Ditambah, aku tahu tempat Kakek dan nenek—dari pihak Ibu—tinggal. Aku hanya perlu menumpang Colt bak terbuka yang saban hari lewat depan rumah, lalu turun di pos ojek desa tetangga. Dari sana, aku bisa berjalan kaki. Rumah Kakek hanya berjarak tiga kilo meter dari pos ojek itu. Mudah saja. Apa lagi, Ibu memang sering mengajakku ke sana. Ya. Begitu keyakinanku.
Namun, pikiranku seketika berubah. Hari itu, Ayah terlihat kuyu sepulang dari sidang perceraiannya. Selepas menidurkanku dan Arkana, almarhum Nenek menanyakan kelangsungan sidang hari itu kepada Ayah. Dan Ayah bilang jika Ibu memutuskan untuk tidak hadir dalam persidangan. Ayah mencoba mencari Ibu di rumah lamanya. Dan rumah itu sudah dikosongkan tiga bulan sebelumnya.
Selain rumah orang tua Ibu, aku tidak tahu lagi tempatnya pulang.
Harapanku untuk pergi mencari Ibu, pupus seketika. Aku masih terlalu kecil untuk pergi mencarinya tanpa tujuan.
Malam itu, kubenamkan wajah di bantal dan menangis hingga puas. Aku berjanji akan mencari Ibu lagi saat beranjak dewasa.
Sayangnya, setelah dewasa pun aku tidak kunjung mencari Ibu. Rasa takut jika kenyataan tidak seperti yang kuharapkan, menghentikan langkahku.
Lalu, hari ini aku memutuskan untuk bertemu Ibu dengan segala konsekuensinya.
Saat menerima pesan itu, aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin saja aku harus mengambil cuti dadakan. Mungkin saja kondisi psikisku akan memburuk. Mungkin saja keinginan untuk merasakan mati itu kembali menggeliat. Tapi, aku sudah tidak peduli. Bahkan, jika aku harus mati, setidaknya aku sudah melihat wajah Ibu sekali lagi.
Pesan berikutnya yang Ibu kirimkan cukup mengejutkan. Dia bilang, kami bisa bertemu di taman kota satu minggu lagi. Aku bertanya-tanya, taman kota mana? Taman Kantil? Wisdom Park UGM? Taman Pintar?Alun-alun kota? Taman Bunga?
Dan semua tebakanku salah. Ibu memintaku bertemu di taman kota yang tidak jauh dari Metamorfosis Psycare. Di kota ini.
Sebenarnya, aku mulai penasaran dengan alasan Ibu memintaku bertemu di sini. Banyak pertanyaan dan asumsi yang akhirnya muncul. Meskipun aku belum berani menanyakannya sekarang. Tidak mudah bagiku memulai segalanya dari awal kembali setelah dua puluh tahun berlalu. Tapi, aku juga tidak bisa lagi menghindar. Bukankah aku ingin sembuh?
Tiba-tiba saja, dadaku terasa sesak. Pandanganku mengabur. Aku ingin sekali menangis sekarang. Sayangnya, terlalu banyak orang berlalu lalang.
"Prisa?"
Aku memejamkan mata. Aku sudah sering mendengar suara itu di dalam mimpi. Aku memang sering sekali berhalusinasi. Tidak salah lagi. Aku sangat mengenal suara itu. Suara milik wanita yang pernah dengan sangat kucintai. Wanita yang pernah membuatku jatuh ke tempat paling mengerikan di dunia ini.
"Benar, Prisa, kan?"
Aku tersentak. Mataku tiba-tiba terbuka. Aku melihat seseorang tengah memandangku dengan mata berkaca-kaca. Garis wajah tegas, mata kacang almond yang sayu, sedikit kerutan di kening, bintik hitam di kedua pipi, juga suaranya yang begitu lembut mengingatkanku akan Ibu. Bukan. Dia memang Ibu. Aku tidak sedang bermimpi. Apa yang terjadi saat ini bukan sekadar halusinasi. Wajah itu memang terlihat jauh lebih tua dari foto-foto yang dia kirimkan. Tapi, mereka tetaplah orang yang sama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...