MAMIHLAPINATAPEI

36 15 8
                                    

Pasca kutemukan pesan yang mengatasnamakan Ibu sebagai pengirimnya itu, aku terus menyibukkan diri dengan bekerja. Aku menemani Bu Suci hampir di semua sesi konselingnya, lalu pulang kerja saat malam menjelang. Begitu tiba di rumah, aku menulis semua yang kurasakan di buku harian. Aku sama sekali tidak memiliki waktu luang untuk memikirkan banyak hal sepulang kerja. Bahkan, buku-buku yang sudah terbeli belum sempat kubaca.

Setiap kali Ayah atau Mbak Tanti bertanya, aku selalu punya jawaban yang sama: Karenina butuh teman berbagi. Dan aku dengan senang hati menemaninya.

Sebenarnya, aku tidak sepenuhnya berdusta. Aku memang sering menemani Karen bercerita. Awalnya, hanya pada saat jam kerja. Lama-lama kami jadi terbiasa menghabiskan waktu bersama. Perbedaan umur yang tidak terlampau jauh membuat kami begitu cepat beradaptasi. Aku juga menceritakan kondisi mentalku kepada Karen. Dan aku masih ingat bagaimana reaksinya saat itu. Dengan air yang terus merebak di pelupuk matanya, Karen berkata, "Aku terlalu sibuk menyalahkan diriku sendiri. Menganggap diriku adalah makhluk paling malang sedunia. Padahal, masih banyak orang yang menanggung beban lebih dari yang kuterima dan mereka bisa melaluinya. Aku memang nggak pinter bersyukur."

Aku merasa tertampar dengan kalimat Karen waktu itu. Sudah sekuat itukah aku? Sudah lebih bersyukurkah aku selama ini?

Selama konseling, Karen menceritakan tentang hari-hari yang dia lewati setelah kematian bayinya. Dia juga menyebutkan banyak perandaian yang dibuat sendiri. Kadang, dia menghabiskan waktu seharian penuh untuk duduk termenung di samping pusara sang anak. Karen terus merasa bingung, tidak berdaya, marah dan kehilangan harapan.

Karen merasa kesedihannya tidak pernah berujung. Dan aku terus saja bertanya-tanya: apakah rasa kehilangan yang Karen rasakan berlaku untuk semua Ibu di dunia?

Dan hari itu, kami mengakhiri malam dengan menangis bersama. Kami menumpahkan segala kesedihan dan beban yang mengendap hingga tidak punya cukup tenaga lagi untuk menangis. Untuk pertama kali, aku mengizinkan orang selain Mbak Tanti dan Ayah menginap di kosanku.

Yuda benar. Satu-satunya bentuk support yang bisa kuberikan kepada Karen adalah dengan menemaninya bercerita.

Aku tersenyum mengingat nama-nama orang yang telah membantuku bertahan sejauh ini. Kukira, berhenti bekerja dari tempat lama adalah sebuah petaka. Nyatanya, Tuhan mengirimkan orang-orang baik untuk membantuku berproses.

"Karenina mutusin buat ikut support groupnya Mbak Indira," kata Yuda yang tiba-tiba saja sudah muncul di cafeteria.

Kenapa Yuda senang sekali mengejutkanku?

Setelah berhasil mengatasi efek kejut yang Yuda timbulkan, aku mengangguk. Karen sudah memberitahuku soal itu. Dia sempat meminta pendapatku perihal grup yang lebih relevan dengan kasusnya. Dan menurutku, support group Mbak Indira memang yang paling sesuai. "Mulai kapan?" tanyaku asal.

Yuda mengambil posisi duduk di sebelahku. "Jadwalnya, sih, sore ini, Sa. Gimana Karen?"

Aku menautkan alis. "Gimana apanya? Dia udah jauh lebih baik kok."

"Bukan. Maksudku, nemenin dia konseling nggak seberat yang kamu kira, kan?"

Aku mengangguk. Yuda benar. Aku terlalu takut menghadapi apa yang ada di depan mata hingga lupa bahwa aku mungkin sudah pernah melewati yang lebih berat dari itu. Aku justru banyak belajar tentang kehidupan darinya. "Aku mulai terbiasa."

"Termasuk dengan pesan-pesan misterius yang belakangan masuk itu?"

Pertanyaan Yuda berhasi mengalihkan perhatianku. "Misterius banget bahasanya, Pak?"

Yuda tersenyum. Tapi, aku tidak melihat senyuman itu sampai ke matanya. Ada sesuatu yang membuatnya terganggu. "Soalnya, kan, kemungkinan kebenaran kalau itu Ibu kamu masih tipis banget, Sa. Kamu belum pengin ngerespon pesan-pesan itu?"

Dari mana Yuda tahu kalau aku tidak membalas satu pun pesan dari nomor itu? Sepanjang yang kuingat, sudah dua hari kami tidak bertemu. Topik percakapan kami di Whatsapp juga tidak pernah jauh-jauh dari musik. Tapi, aku tidak berminat membahasnya sekarang.

"Aku gugup, Yud. Aku takut kalau pada akhirnya harapan-harapan itu akan menyakitiku lagi."

Yuda menatapku lebih intens. "Bagus. Kamu berharap sesuatu dari pesan-pesan itu?"

Jujur, aku merasa sangat lega jika seandainya pengirim pesan itu adalah Ibu. Setidaknya, aku tahu dia masih hidup. Tapi, aku takut akan berekspektasi lebih jika membaca pesan-pesan itu.

Aku berkali-kali mengabaikan pesan yang masuk dari nomor itu. Orang itu mengirimkan pesan secara rutin meskipun tetap berakhir tanpa balasan. Kadang dia sekadar bertanya kabar. Sesekali menanyakan aktifitas dan kegiatanku. Tapi, bukan itu yang akhir-akhir ini semakin menggangguku.

"Dia ngirimin foto saat aku masih kecil," kataku setelah menghabiskan setengah gelas es teh.

Wanita yang mengatasnamakan dirinya sebagai Ibu itu mengirimiku beberapa foto lawas. Di foto pertama, ada Aku, Ayah dan Ibu tengah berdiri di depan pintu masuk salah satu arena bermain di Jogja. Aku yang masih berumur dua tahun tengah tertawa dalam buaian Ibu. Sementara Ayah merangkul bahunya dengan mesra. Hatiku sakit sekali setiap melihat foto itu. Tapi, aku juga enggan menghapusnya.

Ada buncah bahagia yang tidak bisa kuungkapkan. Setelah sekian lama gagal mengingat wajah Ibu, foto-foto yang dikirimkannya membuat memori di kepalaku semakin jelas.

"Kenyataan bahwa dia masih menyimpan foto itu menguatkan penyangkalanmu, Sa? Kamu berpikir dia memang memiliki alasan yang kuat saat meninggalkan kalian?"

Aku mengangguk. Kutelan ludah dengan susah payah. Kalimat Yuda adalah kebenaran yang tidak bisa kutampik. "Foto kedua yang dikirim menampilkan momen saat Ibu melahirkan Arkana. Ayah mencium kening Ibu dengan mesra. Sementara Ibu memejamkan mata. Aku terus berpikir tentang alasan yang membuat Ibu nekat meninggalkan kami sementara mereka saling mencintai."

Sebenarnya, bukan hanya dua. Orang itu juga mengirimkan sebuah foto yang membuat ingatanku terlembar ke hari kepergian Ibu. Foto itu menampilkan aku tengah menggendong Arkana kecil di halaman rumah kami yang tidak seberapa luas—tempat di mana aku menyaksikan kepergian Ibu. Bunga mawar aneka warna tumbuh subur di sekeliling kami. Rambut lurus panjangku diikat ekor kuda. Arkana lelap dalam dekapanku. Sedikit banyak, aku mengingat momen itu; saat di mana aku belajar menggendong Arkana untuk kali pertama.

Yuda kembali tersenyum. Kali ini terlihat lebih lepas dari sebelumnya. "Apa pun penjelasan yang nanti akan kamu terima, kamu juga harus mempertimbangkan faktor psikologis buat bisa menilai segalanya secara objektif. Berapa usia ibumu saat itu?"

Aku tersentak. Benar. Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Berapa umur Ibu saat itu? Seperti apa kondisi psikologisnya? Apakah mungkin hanya karena amarah sesaat? Apakah Ibu menyesalinya sekarang?

Lalu, tepat saat Yuda terlihat ingin mengatakan sesuatu, ponselku bergetar. Sebuah pesan MMS masuk, tampak melayang di layar utama. Bersamaan dengan itu, wajah Ibu dalam foto kembali terbayang. Entahlah, aku jadi sering memikirkan wajahnya setiap kali pesan dari nomor itu masuk.

Prisa, masih sudikah kamu bertemu Ibu?

Begitu isi pesan terbarunya. Aku membacanya berkali-kali, berusaha meyakinkan diri jika ini bukan mimpi atau halusinasi. Lalu, aku memutuskan untuk membalasnya.

Sepertinya memang sudah waktunya.

***

Mamihlapinatapei berarti tatapan penuh arti di antara dua orang yang menginginkan sesuatu, namun sama-sama takut untuk mengungkapkannya duluan. 

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang