ALTSCHMERZ

49 13 19
                                    

Setelah beberapa waktu merasa lebih baik, suasana hatiku berantakan lagi. Aku menghabiskan waktu semalaman penuh untuk menangis. Bukan karena Ayah akhirnya pulang ke Jogja setelah satu minggu penuh tinggal di sini. Bukan juga karena Mbak Tanti tega melaporkan hampir semua yang dilihatnya dua bulan belakangan. Tapi, karena aku merasa begitu kecewa akan sikap Ayah. Pertanyaan-pertanyaan Ayah, sangat kontradiktif dengan sikap dan gesture yang dia tunjukkan sebelumnya.

Senyuman tulus Ayah yang sebelumnya mampu membuatku merasa nyaman, digantikan kenangan buruk dan rasa kecewa yang sukar ditahan.

"Apakah ada yang kamu sembunyikan dari Ayah?"

Pertanyaan Ayah sore itu terus saja terngiang. Bukannya terdengar sedang mengkhawatirkanku, Ayah justru seperti sedang mencari tahu sesuatu. Dan aku membenci itu. Sudah terlalu banyak rahasia yang kadung tidak kubagi dengannya. Aku bahkan tidak bisa menghitung lagi berapa kali aku terpaksa menyimpan kesakitan sendiri dan memilih tersenyum di depannya.

Sekarang, aku kembali mengambil pilihan yang sama: menyimpan segalanya sendirian.

Aku tidak menceritakan apa pun kepada Ayah selain keseharian selama bekerja di Metamorfosis Psycare. Untungnya, topik yang kami bicarakan berhasil membuat Ayah berhenti membahas soal Yuda. Kalau pun membicarakan tentangnya, itu tidak lebih dari urusan pekerjaan.

Ayah memang tidak pernah membentak apalagi memukul kami. Tapi, pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutnya selalu terkesan mengintimidasi. Bahkan pertanyaan "Apakah kamu sudah makan, Prisa?" saja bisa beranak pinak. Jika pertanyaan itu Ayah lontarkan, berarti dia sedang menanyakan beberapa hal lain; Apa yang kamu makan? Makan di mana? Seberapa banyak? Dengan siapa?

Kubuang selimut yang menutupi seluruh tubuh dan mengerang tertahan. Argh! Apakah aku harus pergi ke kantor dengan keadaan sekacau ini?

Aku mengambil sebuah cermin rias di dalam tas selempang–yang teronggok begitu saja di samping tempat tidur. Lalu, terkejut saat menemukan wajah di yang terpantul dari dalam cermin. Mataku sembab. Wajahku tampak sangat berantakan. Dan rambut sebahuku sudah tidak berbentuk lagi.

Sayangnya, tidak cukup hanya itu. Sebab, mataku kembali menangkap pemandangan yang sangat mengganggu. Seisi kamarku dipenuhi dengan gulungan tissue bekas dan bungkus-bungkus makanan ringan. Lebih parahnya lagi, aku menemukan sebuah pesan panjang yang entah bagaimana kukirimkan kepada Yuda tadi malam.

Mataku memelotot. Hah? Hal gila apa yang sudah kulakukan semalaman tadi?

Aku merutuki semua kekacauan ini. Aku merasa begitu bodoh dan konyol. Lalu, pelan-pelan kubaca pesan itu sekali lagi.

Pesan panjang untuk Yuda ini, terlalu rapi jika diketik oleh orang yang sedang frustrasi. Aku memang menemukan beberapa kesalahan tik, tapi susunan kalimatnya benar-benar terstruktur.

Aku benci harus tetap baik-baik saja saat hatiku mengatakan hal sebaliknya. Aku benci terus hidup di balik bayangan Ayah, sementara aku juga pernah memiliki impian sama sepertinya. Aku sudah melakukan yang terbaik selama ini. Aku sudah memenuhi setiap permintaannya. Bisakah aku beristirahat? Bisakah aku melakukan sesuatu tanpa Ayah perlu tahu? Bisakah aku hidup seperti kamu? Seperti yang lainnya?

Aku lelah. Ayah selalu menginterogasiku, sementara, dia tidak pernah memberikanku kesempatan untuk bertanya.

Setelah cerita panjang tentang Ayah itu, aku menemukan balasan dari Yuda. Memang tidak sepanjang pesanku, tapi itu cukup menghangatkan hati. Kamu boleh membangkang kepadaku, Prisa. Kamu boleh bolos sesekali. Fyi, ini bukan cuma berlaku buat kamu. Tapi, semua karyawan Metamorfosis Psycare kalau memang perlu. Never mind.

Dan pesan berikutnya. Mau bolos bareng aku hari ini?

Aku terkesiap selama beberapa saat. Aku tidak salah mengeja pertanyaan di akhir pesan Yuda, kan? Atau aku sudah mulai berhalusinasi?

Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu kosan berhasil mengejutkanku. Selain psikiater, sepertinya aku harus mulai berkonsultasi dengan dokter penyakit dalam untuk memastikan kesehatan otak dan jantungku.

Dengan setengah melompat, aku meraih sisir dan mulai merapikan rambut. Lalu, kuseka mata dan pipi yang dipenuhi bekas tangisan. Aku sempat memasang kaca mata anti radiasi untuk menyembunyikan mata sembabku sebelum berlalu ke pintu depan.

Dan betapa terkejutnya aku saat menemukan seseorang tengah berdiri memunggungiku di depan pintu. "Yuda?"

Satu. Dua. Tiga detik kemudian, Yuda menoleh dan menatapku sambil tersenyum. "Gimana sama tawaranku?"

"A–pa?"

Aku sudah terbiasa melihat Yuda dengan pakaian kasualnya. Tapi, pagi ini dia terlihat lebih tampan dari biasanya. Kaus Deus hitam, celana denim dengan aksen robekan di beberapa bagian, juga kaca mata hitam yang dia kenakan seolah mendukung pujianku barusan.

"Mau bolos kerja sama aku?"

Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada, memandang Yuda dengan tatapan penuh selidik. Bisa saja dia hanya sedang mengujiku, bukan?

"Kamu nggak akan dapet surat peringatan, apalagi pemecatan," katanya lagi seolah mengerti apa yang ingin kusampaikan lewat gesture tubuhku.

Aku menghela napas panjang. "Kenapa harus sama kamu?"

"Kan kamu bilang aku temen kamu."

"Terus?"

Yuda memperpendek jarak di antara kami. Dari jarak ini, aku bisa mencium aroma maskulin yang merebak. Aroma yang tidak lagi asing untukku. Aroma yang pagi ini berhasil membuat jantungku bekerja dua kali lebih keras dari biasanya.

"Barangkali kamu butuh temen buat ngobrol."

Kondisiku memang buruk. Tapi, sepertinya Yuda berlebihan. "Wait, Yud. Kayaknya kamu salah sangka soal pesanku tadi malem. Aku nggak tahu gimana tiba-tiba aja ngirim pesan ke kamu. Tapi, percaya deh. Kondisiku nggak seburuk itu."

"Kan aku nggak bilang kalau kondisi kamu buruk. Take some time, Prisa. It's okay to not be okay. Sometime–"

"Sometime, you need to give yourseff permission to pause," kataku begitu fasih merapal kalimat terakhir yang Yuda tuliskan di notes waktu itu. Aku tersenyum. Kali ini, aku merasa sedikit lebih lega.

"Jadi?"

"Mau ke mana?"

Yuda menanggapi pertanyaanku dengan sebuah senyuman. Dia hanya memintaku segera mandi dan bersiap. "Atau kamu mau langsung berangkat aja?"

Mendengar itu, aku langsung menyadari sesuatu. Dari tadi, aku hanya mengenakan piama sleepwear bergaris dan kaca mata anti radiasi? Style macam apa ini?

Aku menggeleng dan memintanya menunggu beberapa saat. Yuda tidak protes atau mengatakan apa pun lagi saat aku kembali ke dalam.

Dua puluh menit kemudian, aku kembali menemuinnya di beranda kosan. Kali ini, penampilanku sedikit lebih baik. Iya. Sedikit saja.

Melihat penampilan Yuda selalu membuatku merasa jadi itik buruk rupa. Dengan style yang sangat kasual itu, aku yakin Yuda bisa menarik perhatian banyak wanita. Kami pasti terlihat sangat kontras. Jelas saja. Bagaimana aku yang sama sekali tidak suka dandan ini bisa sepandan dengannya?

Aku menggeleng. Kenapa aku jadi memikirkan hal itu?

Aku memutuskan membuka jendela. Lalu, membiarkan sebanyak mungkin oksigen mengisi paru-paruku. Tiba-tiba saja, Yuda mengecilkan volume pemutar musik. Aku menoleh, dan mendapati Yuda tengah memandangku dengan cara yang berbeda.

Yuda tersenyum. Dia menepuk jidatnya seperti baru saja mengingat sesuatu. "Mau kerja sambil main nggak?"

Sekarang, aku benar-benar tidak mengerti arah kalimatnya. Sebagai gantinya, aku mengerutkan kening, menunggu apa yang akan Yuda katakan.

"Nggak hari ini. Kita mulai permainannya besok. Sebut aja misi ini sebagai 'Prisa's Mental Journey'."

***

Altschmerz adalah rasa kekhawatiran akan suatu hal yang sama sampai membuatmu tidak tertarik lagi akan hal tersebut tetapi kamu masih mengkhawatirkannya.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang