KENOPSIA

79 21 15
                                    

"Apakah kamu membenci ibumu?"

Aku terkejut. Bukan karena ikan menyambar umpanku jauh lebih cepat dari perkiraan, tapi pertanyaan Dokter Dona yang begitu tiba-tiba. Tidak pernah ada yang menanyakan ini kepadaku sebelumnya, termasuk Ayah. Bagi keluarga kami, haram hukumnya menyebut-nyebut lagi nama ibu setelah hari itu–kecuali untuk membeberkan keburukannya.

"Aku tidak pernah membenci ibu. Tidak sekali pun dalam hidupku," kataku lirih. Riak air kolam membuatku ingat tentang hari-hari baik yang pernah dilalui keluarga kecil kami. Saat itu, bisa mandi bersama di sungai saja kami sudah bahagia.

Sepanjang yang kuingat, aku tidak pernah membenci ibu sedetik pun sejak dia pergi. Aku hanya merasa kosong, hampa, dan sepi. Jika sudah begitu, aku akan mulai bertanya-tanya. Apakah ibu tidak pernah menginginkan kami?, Apakah ibu tidak mencintai kami? Apakah ibu tidak bahagia? Apakah kami membuat kesalahan hingga ibu memutuskan pergi? Apakah kami tidak cukup baik untuk bisa menemaninya menua? Dan segudang pertanyaan lain yang tidak pernah kutemukan jawabannya.

Sebagai seorang anak, bukankah apa yang kurasakan sangat wajar?

Sejak ibu pergi, aku hidup dalam penyangkalan paling menyesakkan. Ayah dan anggota keluarga lain terus memenuhi pikiranku tentang alasan kepergian ibu. Mereka bilang, ibu tidak becus mengurus kami. Mereka bilang, ibu hanyalah seonggok daging tidak berguna yang karena sebuah kesalahan masuk dalam kehidupan keluarga kami.

Sebuah kesalahan? Bukankah ibu dan ayah menikah atas dasar cinta? Ibu bahkan rela menanggalkan kariernya demi mengurus keluarga. Lalu, di mana letak salahnya?

Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu kulontarkan dalam pikiran. Aku bahkan tidak memiliki cukup keberanian untuk menyebut kata ibu sejak kepergiannya. Kenangan tentangnya seperti sengaja dilenyapkan. Dan semua memori baik tentangnya seolah sengaja digantikan.

Dan itu terasa sangat menyesakkan bagiku. Sebab, ibu dalam ingatanku tidak seperti yang selalu mereka katakan. Belasan tahun, aku hidup dalam penyangkalan.

"Ibumu pasti orang baik, Prisa. Dia pasti punya alasan kuat kenapa melakukan itu," kata dokter Dona setelah aku selesai bercerita. Matanya menatap kosong hamparan kolam pemancingan di depan kami. Kail pancing yang sejak tadi terus bergoyang, dia biarkan. "Jika kamu tidak memiliki cukup kenangan untuk mempercayai ini, setidaknya dengarkan kalimatku sebagai kalimat yang diucapkan oleh seorang ibu."

Aku mengangguk, lalu menyeka ujung mata yang tiba-tiba basah. "Tidak mudah meyakini semua itu saat aku hidup di tengah keluarga yang menjejali pikiranku dengan kejelekan ibu. Tapi aku melakukan itu, Dok."

Dokter Dona tersenyum dan menggenggam tangan kiriku. "Good job, Prisa."

Kenapa akhir-akhir ini aku jadi lebih sering menangis?

Ada jeda beberapa saat sampai akhirnya kuberanikan diri mengatakan masalah ini. "Aku mengetahui banyak hal yang selama ini sengaja mereka sembunyikan. Mereka bisa saja membungkam mulut seluruh anggota keluarga agar tidak mengatakan ini kepadaku atau Arkana, tapi tidak mulut tetangga."

"Dan itu berdampak sama kondisi psikismu?"

Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Dok. Tapi, aku berterima kasih kepada mereka karena sudah mengatakan itu kepadaku. Seandainya mereka tidak pernah mengatakan itu, aku pasti sudah membenci ibu."

Dokter Dona akhirnya menggulung senar pancingnya dan bersorak saat seekor ikan gabus besar berhasil ditangkap. "Apa yang mereka katakan, Prisa?"

Aku mencoba mengingat saat itu, ketika Bu Marni mengatakan bahwa ibu selalu datang setiap kali bulan puasa dan memberi kami beberapa lembar pakaian. Kalau tidak salah, saat itu umurku sepuluh tahun. Menurut penuturannya, ibu masih sering mengunjungi kami meskipun penolakan dan pengusiran yang dia terima.

Lalu, kuceritakan semua yang pernah kudengar selama aku tinggal di desa kepada dokter Dona.

Setelah beberapa kali bertemu, dokter Dona akhirnya memintaku mengisi form Depression Rating Scale. Form ini berisikan dua puluh empat pertanyaan seperti: skala rasa sedih, bersalah, keinginan bunuh diri, dan beberapa gejala depresi yang mungkin kualami. Aku harus memilih angka dari satu sampai empat yang paling mendekati kondisiku saat ini.

Begitu selesai mengisi form, aku akhirnya tahu seberapa buruk kondisiku. Skala sembilan belas berarti kondisiku benar-benar buruk. Dan aku memang membutuhkan dokter Dona.

Aku sempat bertanya-tanya, kenapa dokter Dona tidak pernah menyinggung tentang keluhan atau latar belakang kedatanganku. Lalu, dengan senyum penuh arti dia menjawab, "Sadar nggak sadar, kamu udah nyeritain banyak hal beberapa hari belakangan, Prisa. Entah secara tersirat maupun langsung."

Itu benar adanya. Selama menghabiskan waktu bersama dokter Dona, aku menjadi lebih terbuka.

Namun, hingga hari ini aku belum tahu pasti pemicu kambuhnya BPD yang kuidap. Dokter Dona juga tidak mengatakan apa pun lagi setelah itu. Dia seolah membiarkan segalanya mengalir begitu saja. Dia selalu memberiku ruang untuk bercerita, tapi tidak pernah memaksa.

Seperti hari ini, mendadak dokter Dona mengajakku memancing. Setelah mempertimbangkan berbagai tempat, kami memilih Pemancingan Alam Permai sebagai tujuan. Selain karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, aku pernah beberapa kali makan di tempat ini saat masih bekerja di rumah sakit jiwa.

Langit sudah mulai mendung saat kami akhirnya memutuskan pulang. Dan entah bagaimana, aku merasa nyaman. Kali ini berbeda dengan rasa nyaman yang muncul ketika aku sibuk memasak, mendengarkan lagu dengan earphone, atau bahkan saat aku tenggelam dalam bacaan. Aku merasakan kehangatan yang sudah lama hilang.

"Bagaimana kabar lamaran kerjamu, Prisa?" tanya dokter Dona begitu mobil Innova yang kami tumpangi mulai membelah jalanan sepi kota ini. Dua hari lalu, aku memang menceritakan soal tabunganku yang sudah menipis dan belum adanya panggilan kerja kepada Dokter Dona.

Aku mengangkat bahu dan tersenyum. "Ada beberapa perusahaan yang emang udah lama aku incer, sih, Dok. Tapi setelah diminta berhenti dengan agak terpaksa sama Pak Kuswoyo, aku nggak bisa berharap lebih."

"Gimana kalau coba masukin lamaran ke Metamorfosis Psycare? Kudengar mereka sedang mencari asisten konselor. Dengan pengalaman yang kamu miliki, sepertinya kamu berpotensi besar untuk bisa bergabung dengan mereka."

Aku menunduk. Sebenarnya, aku sudah pernah memasukkan lamaran kerja ke Metamorfosis Psycare. Hanya saja, aku tidak lagi berminat bekerja di sana sejak mengetahui Yuda adalah founder-nya.

"Kenapa? Ada masalah?" Dokter Dona kembali bertanya saat tidak mendapat jawaban dariku. "Metamorfosis Psycare udah menyabet banyak penghargaan sejak pertama kali berdiri, lo."

Aku tahu. Hanya saja, aku merasa tidak nyaman harus bekerja di bawah rekan seangkatan. Bukan karena gengsi, lebih ke bagaimana jika dia tahu apa yang kualami?

"Tenang saja, aku mengenal founder-nya. Dan dia bukan tipikal orang yang menolak calon karyawannya hanya karena memiliki mental illness seperti yang kamu alami, Prisa," kata Dokter Dona seolah mengerti apa yang baru saja kupikirkan.

"Yuda?" Tanpa sadar, aku menyebut nama pria itu–yang tentu saja memicu rasa curiga dokter Dona.

Dokter Dona menatapku tidak percaya, lalu menepuk wajahnya. "Ah, aku lupa. Kalian kan alumni fakultas psikologi yang lulus di tahun yang sama. Astaga, Prisa."

Mau tak mau, aku tertawa. Dokter Dona selalu berhasil menjebakku lewat pertanyaan-pertanyaan tidak terduga. Kadang, bahkan hanya lewat obrolan sederhana.

"Bagaimana, Prisa?"

"Aku sudah melamar kerja di sana, Dok."

"Bukan. Bukan itu," katanya dengan memasang wajah jail. "Bagaimana Yuda?"

***

Terima kasih sudah mampir di cerita saya, Kak. Sampai jumpa minggu depan ....

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang