Aku masih ingat kapan pertama kali sadar ada yang tidak beres dengan kondisi psikisku. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA. Anggia, teman sebangkuku adalah orang yang pertama kali menyadari perubahan sikapku. Dia bilang, aku berubah. Dan benar saja. Suasana hatiku sering tiba-tiba memburuk tanpa alasan yang jelas. Kadang, aku bahagia tanpa alasan. Tidak jarang, Anggia menjadi sasaran kemarahan.
Tiga tahun aku memendam segalanya sendirian. Aku tidak mungkin menceritakan ini kepada Ayah saat berkali-kali dia bilang aku adalah kebanggaannya. Menceritakan apa yang kurasakan kepada Anggia juga bukan pilihan yang tepat. Bagaimana jika dia menjauhiku? Bagaimana jika dia menganggap aku aneh? Bagaimana kalau Anggia memberitahu Ayah?
Setelah lulus SMA, aku dan Anggia kuliah di kampus yang sama, tapi mengambil jurusan berbeda. Lalu, kondisiku memburuk sejak Anggia jarang menemaniku dan hari-hariku dipenuhi tugas serta praktikum kelompok. Puncaknya, aku tidak bisa lagi mengendalikan emosi saat kuliah Pak Danu berlangsung dan menangis sepanjang siang di medical center.
Sepanjang siang itu, aku terus berpikir: apakah aku bisa terbebas dari semua ini jika aku mati? Bagaimana rasanya terjatuh dari lantai lima medical center? Bagaimana rasanya terlindas truk hingga remuk? Bagaimana rasanya saat seseorang menikamku dengan benda tumpul tepat di belakang kepala?
Tanpa disangka-sangka, Tuhan mempertemukanku dengan Dokter Damara. Waktu itu, Dokter Damara bilang, "Aku tidak pernah berniat menyembuhkanmu, Prisa. Aku tidak bisa menyembuhkan orang yang sehat. Tugasku di sini hanya menemani kamu sampai kamu sadar kalau kamu berharga."
Aku yang awalnya tidak ingin menceritakan kegelisahanku, mendadak berubah pikiran. Dokter Damara berhasil mencuri kepercayaanku lewat cerita-cerita dan kalimat sederhana yang bermakna. Dan tiga hari lalu, Yuda berhasil mengingatkanku akan sosok Dokter Damara.
Sejak saat itu, hubungan kami menjadi semakin baik. Yuda beberapa kali mengajakku makan malam dengannya, atau kadang bersama klien dan konselor klinik yang lain. Awalnya terasa aneh. Tapi, lambat laun aku menjadi terbiasa dengan kehadirannya.
Kondisiku belum bisa dikatakan membaik. Aku masih sering mengalami mimpi buruk dan perubahan emosi yang sangat cepat. Bedanya, aku kembali merasakan antusiasme. Tadi pagi, aku bahkan bangun dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah rutin menulis buku harian dan membagi sedikit keresahan dengan Yuda, aku menjadi lebih lega.
Selama ini, aku selalu menutup diri dari berbagai bentuk pertemanan. Sepanjang yang kuingat, Anggia adalah satu-satunya teman yang kuanggap dekat sejak mengidap BDP. Lalu, sejak saat itu aku tidak pernah ingin terlibat hubungan serius dengan orang lain.
Namun, Yuda berhasil mematahkan idealismeku. Aku tidak bisa menghadapi ini sendirian. Aku membutuhkan Yuda. Dan perlakuan Yuda berhasil membuatku menjadi lebih terbuka. Aku membiarkan dia membacaku dan berharap bisa sedikit lebih lega. Bahkan, aku sama sekali tidak keberatan saat Yuda tiba-tiba datang ke ruangan konselor dan mengajakku berbicara seperti sekarang ini.
"Berikan aku satu kata tentang ayah kamu," kata Yuda setelah dia menyeruput habis kopinya. Dia mengelap bibir penuhnya dengan tissue dan mengalihkan pandangan ke arah tempat dudukku.
Aku menoleh. Mencoba menerka ke mana arah pembicaraan Yuda. "Otoriter," jawabku datar.
"Tapi, dari cerita-cerita kamu dia juga baik."
Aku mengangguk. Ayah memang baik. Meskipun sibuk bekerja, Ayah selalu menyisihkan waktunya untuk menemaniku belajar saban malam. Ayah juga tidak pernah absen menghadiri rapat orang tua siswa. Setiap kali hari pengambilan rapor tiba, Ayah akan mengambil cuti. Aku pernah bertanya kenapa Ayah tidak meminta nenek atau kerabat lain untuk mewakilinya, dan jawabannya selalu sama. Ayah bilang, dia tidak ingin aku merasa berbeda dari teman-teman lainnya.
"Saat itu, aku selalu berpikir bahwa Ayah memang ingin mencurahkan seluruh perhatiannya untukku. Tapi, setiap kali Ayah membanggakan nilaiku di depan keluarga dan sanak kerabat, aku jadi ragu."
Yuda mengangguk. "Karena kamu merasa ayahmu nggak setulus itu? Kamu berpikir kalau mungkin aja ayah kamu cuma ingin membuktikan ke orang-orang kalau dia bisa membesarkanmu dengan baik walau tanpa seorang ibu?"
Kali ini, aku bergeming. Bukan hal asing lagi bagiku mendapati Yuda bisa membaca arah cerita dengan begitu jelas. "Aku bahkan tidak percaya kalau Ayah benar-benar mencintaiku."
"Pasti tidak mudah buat kamu, ya."
Kalimat terakhir Yuda berhasil membuat pertahananku berantakan. Segalanya memang tidak mudah sejak ibu pergi. Seketika, perasaan tidak berharga itu muncul kembali. Jika aku berharga, Ibu tidak akan pernah meninggalkan rumah. Jika aku berharga, Ayah tidak akan menjadikan aku bonekanya.
Sadar jika Bu Suci bisa datang kapan saja, aku buru-buru menyeka ujung mata. "Maaf. Aku sangat sentimental belakangan."
"It's okay, Prisa," kata Yuda sembari menepuk punggung tanganku.
Tiba-tiba saja, aku melihat sekelebat bayangan di balik pintu kaca ruangan. Buru-buru, kutarik tanganku dan berdiri. Benar saja. Bu Suci datang bersama seseorang yang tiga hari lalu menjadi korban ketidakprofesionalanku. Klien pertama kami minggu ini.
"Ah, ada Pak Yuda ternyata," kata Bu Suci ketika akhirnya tiba di dalam ruangan. Dia mempersilakan klien bernama Yunita itu duduk dan kembali menatap Yuda dengan kerlingan khasnya. "Dan sepertinya, ada pembicaraan yang harus ditunda, Pak Yuda?"
"Well, aku baru aja diusir dari klinikku sendiri," gurau Yuda yang disambut tawa lepas Bu Suci. Selama beberapa detik, aku melihat Yunita ikut tersenyum.
Sebelum meninggalkan ruangan, Yuda sempat mendorong pelan kursi yang tadi didudukinya dan mempersilakan Yunita untuk duduk. Ah, pria ini selalu bisa membuat suasana hati orang lain jadi lebih baik.
Sebelum memulai sesi konseling Yunita, Bu Suci memintaku menyiapkan beberapa hal yang diperlukannya. Dari form yang dia isi tiga hari lalu, aku akhirnya tahu jika Yunita baru saja menyelesaikan proses perceraiannya.
"Bu Yunita harus menandatangani beberapa dokumen terlebih dulu. Bacalah perlahan. Tidak usah terburu-buru. Kami juga tidak memaksa Bu Yunita untuk melanjutkan sesi konseling jika merasa ragu," kata Bu Suci sembari menyodorkan form rilis yang baru saja selesai kucetak kepada Yunita.
Wanita muda di depanku itu tersenyum dan menyambut form yang diberikan Bu Suci. Lalu, dia mulai sibuk membaca dokumen itu baris demi baris.
"Sore ini, ikut saya, ya," kata Bu Suci memecah keheningan.
Aku mengamati sekitar, barangkali Bu Suci sedang berbicara dengan Yunita. Tapi, tatapan matanya tertuju padaku. "Saya, Bu?"
Bu Suci mengangguk. "Barangkali kamu mau lihat bagaimana kami mengelola support group di sini. Asisten konselor dan karyawan banyak yang rutin mengikuti sesi ini karena bisa jadi stress relief buat mereka."
Aku ingat. Yuda pernah membicarakan soal kegiatan ini dan aku cukup tertarik. "Boleh. Bu Suci yang ngisi sore ini, ya?"
"Bukan,' jawab Bu Suci dengan senyuman merekah di wajah orientalnya. "Yuda yang ngisi. Aku cuma konselor pendamping. Dan aku yakin kamu nggak bakal nolak, kan?"
Aku berdeham untuk mengusir rasa gugup yang tiba-tiba saja memenuhi dadaku. Bukan karena pertanyaan terakhir yang Bu Suci lontarkan barusan. Tapi, karena senyuman jail sejak tadi pagi Bu Suci perlihatkan. Jangan bilang Bu Suci mengira hubungan spesial yang terjadi antara aku dan Yuda?
"Hubungan kami tidak seperti itu, Bu."
"Siapa yang sedang membicarakan hubungan kalian?"
***
Etiologis adalah menangani gangguan psikologis pada seseorang dengan memelajari akar masalah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...