VELLICHOR

51 18 4
                                    

Aku memandang jalanan kota dari rooftop Metamorfosis Psycare dengan tangan dan kaki gemetar. Bukan karena aku menderita Acrophobia. Dari tadi, aku membayangkan bagaimana rasanya terjatuh dari tempat setinggi ini, lalu mati. Tapi, aku tidak mungkin melakukan itu saat tahu seseorang tengah berdiri tepat satu meter di belakangku.

Satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan kepada Yuda saat dia bertanya alasanku menangis adalah karena aku sedih. Hanya itu. Lalu, dia tidak bertanya apa-apa lagi. Dia hanya memberi segelas air putih dan membiarkanku sibuk dengan berbagai pikiran dan penilaian.

Dari pengalaman Yuda, aku tahu dia sudah tidak asing dengan kejadian ini. Dia sudah sering bertemu dengan orang-orang sepertiku. Dan aku yakin, penilaiannya terhadapku sudah berbeda sekarang. Entah dia akan memandangku sebagai seorang pasien, atau justru akan mengambil keputusan yang sama dengan Pak Kuswoyo setelah ini.

"Apa kamu bakal mecat aku setelah melihat kejadian tadi?" tanyaku pada Yuda yang masih saja terdiam sejak dia membawaku ke tempat ini lima belas menit lalu. Aku memejamkan mata, membiarkan sapuan lembut angin membelai rambut dan wajahku. Perlahan-lahan, aku merasa sedikit lebih tenang.

Dari belakang, kudengar Yuda terkekeh pelan. "Beri alasan kenapa aku harus mecat kamu hanya karena kamu nangis, Sa?"

Aku tersenyum kecut. Setiap kesalahan yang aku lakukan akan ada ganjarannya. Tidak hanya Pak Kuswoyo. Dulu, Ayah juga sering melakukannya. Aku tidak akan mendapat uang jajan selama beberapa minggu kalau nilai raporku di bawah standard–menurut Ayah. Atau, aku tidak akan ikut makan ayam bersama yang lain jika tidak mau memakai baju yang dipilihkan Ayah untukku. Tidak menutup kemungkinan, Yuda akan memberi sanksi tegas setelah melihatku tidak professional dalam bekerja.

"Aku baru aja ninggalin klien dan melimpahkan pekerjaan kepada orang yang seharusnya nggak perlu bertanggung jawab atas kesalahanku," kataku mengakui kesalahan fatal selain membiarkan Yuda melihatku menangis pagi ini.

"Jadi sekarang kamu mau turun dan nemenin klien tadi konseling?"

Aku menoleh dan mendapati sosok jangkungnya tengah menatapku intens. Sejak tadi, aku sibuk mengendalikan emosi hingga tidak menyadari perubahan mencolok di rambutnya. Ya. Ada yang berbeda dengan sikap dan penampilannya pagi ini. "Tapi–"

"Kata tukang cukurnya ini model yang bakalan hits sampai dua tahun ke depan. Apalagi kalau yang pakai model ini adalah founder Metamorfosis Psycare. Jadi, nggak ada yang boleh protes," ujar Yuda saat lagi-lagiberhasil membaca ekspresiku. Pria random macam apa yang bisa mengubah haluan topik secepat ini?

Aku tersenyum. Secepat kilat, kualihkan pandangan dari rambutnya ke arah lain. Pria kasual dengan model rambut undercut yang sedang berdiri di depanku ini selalu punya hal-hal random untuk diceritakan. "Emang tukang cukurnya tahu kalau kamu founder Metamorfosis Psycare? Lagian siapa yang mau ngomentarin rambut kamu, sih?"

"Enggak, sih. Harusnya aku bilang ya, Sa. Siapa tahu bisa jadi brand ambassador salonnya, kan?"

Aku tertawa.Perasaanku menghangat dan rasa takut yang selama ini mengendap perlahan terangkat. "Kamu nggak mau nanya apa-apa sama aku, Yud?"

Bukannya menjawab, Yuda justru membalikkan badan. Dia melangkah menuju sebuah bangku yang ada di tengah rooftop dan duduk dengan santai di sana. "Nggak. Sebelum kamu jadiin aku temen kamu."

Tanpa diminta, aku mendekati Yuda dan duduk di sebelahnya. Aku mengerutkan kening tidak mengerti. "Bukannya kita udah temenan?"

"Berarti, aku nunggu kamu yang cerita duluan."

Aku terdiam, menimbang apakah akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Yuda atau bersikeras menutupinya. Tapi, bukankah menutupinya juga akan sia-sia?

"Akhir-akhir ini, angka timbanganku terus naik. Aku selalu gagal mengendalikan nafsu makan dan suasana hatiku berantakan," kataku mencoba memancing reaksi Yuda. Aku akan memutuskan apa yang akan kukatakan setelah tahu bagaimana reaksinya.

"Kamu tetap cantik kok, Sa."

Mendengar itu, pipiku memanas. Jawaban yang keluar dari mulutnya, tidak pernah bisa kuterka. Aku menatap Yuda dan berharap ekspresi jenaka itu tercetak di sana. Tapi, aku gagal menemukannya. Yuda terlihat serius dan menghadirkan seluruh dirinya untukku. Dan ini berhasil membuat pertahananku goyah. Yuda berbeda dengan pria kebanyakan. Setelah sekian lama, aku akhirnya bisa merasakan kehangatan sikapnya.

"Boderline Personality Disorder," kataku lirih. Sekali lagi, aku menatap Yuda tanpa berkedip, mencoba meneliti setiap detail kecil perubahan ekspresinya. Tapi, Yuda sama sekali tidak menunjukkan perubahan emosi yang kentara. Dia terlihat masih sama antusiasnya. "Sudah lama sejak terakhir kali penyakit ini muncul. Dan ini juga alasan kenapa Pak Kuswoyo memintaku mengundurkan diri."

Yuda menggeser posisi duduknya hingga kini sempurna menghadap ke arahku. "Siapa bilang kamu sakit?"

Aku menunduk, lalu menggeleng lemah. Tidak ada yang pernah mengatakaan jika aku sakit. Bahkan, Dokter Dona dan Dokter Damara. Lalu, tatapanku kembali ke wajahnya.

"Di sini," kataku sembari menunjuk kepala sendiri. Secara fisik, aku memang sehat. Tapi, tidak dengan mental dan pikiranku. "Aku sering merasa sedih hanya karena hal-hal yang menurut orang lain biasa saja."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Lagi-lagi, Yuda membiarkan suasananya tetap seperti itu. Dia sama sekali tidak memberondongku dengan pertanyaan yang biasa seorang psikiater lontarkan. Dia memperlakukanku sebagai seorang teman, bukan pasien yang tengah membutuhkan bantuan. Apakah seorang psikiater selalu bisa membuat pasiennya merasa sangat nyaman? Apakah Yuda memperlakukan semua kliennya dengan sikap sehangat ini?

Aku kembali menghela napas panjang. "Dan aku tidak tahu kenapa belakangan hal-hal kecil itu selalu berhasil mendistraksiku. Padahal, sudah lama sejak terakhir kali aku merasakan ini."

Yuda kembali tersenyum. "Kamu tidak pernah membagi ini dengan siapa pun?"

Aku menggeleng. "Hanya Dokter Damara dan Dokter Dona."

"Tapi sekarang ada aku. Kamu bisa membagi semuanya sama aku kalau kamu mau."

Aku ikut tersenyum. Percaya atau tidak, senyuman Yuda seperti memiliki daya magis tersendiri. "Kamu mau bantuin aku sembuh?"

Yuda menggeleng. Senyuman khas itu belum juga memudar dari wajahnya. "Aku bukan psikiater kamu, Prisa. Aku nggak bisa bantu kamu sembuh. Aku cuma bisa nemenin kamu ngelewatin masa-masa itu."

Yuda menarik pergelangan tangan kananku dan menangkupkan kedua tangannya di sana. Seketika, rasa hangat itu menjalar sampai ke hati. "Cause now you are a warrior, now you have got thicker skin. You are a warrior, you are stronger than you have ever been."

Yuda menyanyikan sepenggal lagu berjudul Warrior yang dibawakan oleh Demi Lovato dengan mengganti beberapa liriknya. Lagi-lagi, sikapnya membuatku tersenyum. Ah, sudah berapa kali aku tersenyum sejak sepuluh menit lalu?

"Sejak kapan?"

Aku terkesiap. Apanya yang sejak kapan? Sejak kapan jadi sering tersenyum? Sejak kapan mengidap BPD? Atau sejak kapan aku menjadi senyaman ini sama Yuda?


Acrophobia adalah ketakutan berlebihan atau ketakutan yang ekstrem terhadap ketinggian.

Vellichor adalah sebutan untuk seseorang ketika hanyut terbawa suasana atau ikut merasakan perasaan dari tulisan yang sedang dibacanya. Baik itu perasaan sedih, bahagia, atau lainnya.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang