"Setelah semua yang terjadi, aku masih sering ngerasa nggak berharga," kataku saat akhirnya Dokter Dona selesai membaca buku harianku. "Aku memang jadi lebih dekat dengan Ayah. Aku mulai membalas hampir semua pesan singkatnya dengan suka rela. Tapi, perasaan tidak diinginkan itu masih membebaniku."
"Pasti sangat sulit, Prisa."
Aku mengangguk. Awalnya, aku kira kondisiku akan membaik setelah bisa sedikit memaklumi sikap Ayah dan mulai banyak berinteraksi dengannya. Aku juga sudah berhasil mengalahkan ego dan mengakui jika aku memang merindukan Ibu. Tapi, masih ada sesuatu yang memberatkan langkahku. "Aku ingin sekali tahu apa alasan Ibu meninggalkan kami."
Dokter Dona tersenyum. "Apa kamu sudah siap bertemu lagi dengannya?"
"Aku nggak tahu," jawabku jujur. Dengan kondisiku saat ini, aku tidak tahu respon apa yang akan kuberikan saat benar-benar bisa bertemu dengannya. Aku memang merindukannya. Tapi, ada rasa penasaran yang sepertinya harus dituntaskan lebih dulu.
"Apakah kamu sudah mempersiapkan diri jika seandainya tiba-tiba bertemu dengannya?"
Aku menunduk dalam. Aku juga tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Dulu sewaktu masih kecil, aku sering sekali berharap tiba-tiba bertemu dengan Ibu. Di mana saja. Asalkan aku bisa bertemu dengannya. Seperti setiap kali Ayah mengajakku ke Pasar Bring Harjo. Atau saat kami mengunjungi rumah Bi Supi–adik Ayah–yang tinggal di Temanggung sejak menikah.
Dulu, aku selalu menganggap jika Ibu masih ada di sekitar kami. Dan sekarang aku tahu jika itu terlalu naïf. Pikiran anak-anakku itu menghilang seiring waktu berlalu. Dunia ini luas. Aku tidak mungkin bisa menjangkau semua tempat di dunia ini dan berharap kebetulan bertemu dengan Ibu.
Keinginan yang awalnya begitu menggebu itu berubah jadi rasa takut. Aku takut Ibu tidak mengenaliku. Aku takut Ibu tidak ingin bertemu denganku. Aku takut Ibu memang tidak menginginkanku. Bisa saja selama ini kami sering bertemu. Bisa saja Ibu sengaja menghindariku.
Aku mengulang pertanyaan Dokter Dona dalam hati. Apakah aku sudah siap bertemu dengannya?
Dokter Dona meraih jemariku dan tersenyum. "Kamu sudah memulai langkah yang tepat, Prisa. Ingatan baik kamu tentang Ibu perlahan akan membuat kamu merasa lebih baik. Tidak ada manusia yang sempurna. Dan dari ingatan yang berhasil kamu kumpulkan, aku yakin ibumu orang baik."
Aku mencoba kembali mengingat. Kemarin, aku menuliskan semua kenangan tentang Ibu yang berhasil kuingat di beberapa halaman terakhir buku harian itu. Aku juga menuliskan tentang semua yang terjadi belakangan; konseling Alika, sosok bernama Karenina, juga kedekatan Dokter Dona dan putrinya yang membuatku merasa sama sekali tidak berharga.
Aku tahu Ibu orang baik. Ibu dalam ingatanku begitu sabar dan lembut. Tidak ada satu pun ingatanku yang menunjukkan sosoknya tengah membentakku. Dia bahkan tidak marah saat aku memukul teman sekelasku. Ibu hanya memastikan jika bukan aku duluan yang memulai perkelahian. Lalu, dengan lembut dia berkata, "Kamu udah ngelakuin sesuatu yang benar, Prisa. Kalau kamu nggak ngerasa salah, lawan. Jangan pernah biarkan seorang pun menyakitimu. Tapi, kamu tidak boleh menyakiti orang lain duluan."
Saat itu, Aku tidak mengerti maksud kalimat yang Ibu ucapkan. Maksud yang berhasil kutangkap saat itu hanyalah: Ibu membelaku.
Aku tidak bisa menahan sesak di dadaku. Penyangkalan akan sebab kepergian Ibu terus saja memenuhiku. Ibu berbeda dengan apa yang keluarga Ayah katakan. Ibu tidak mungkin meninggalkan kami tanpa alasan. "Apakah aku akan baik-baik saja kalau ketemu Ibu, Dokter?"
Dokter Dona tersenyum. "Bukankah semuanya baik-baik saja sampai sekarang, Prisa?"
Aku kembali mengangguk. Dokter Dona benar. Aku bahkan sudah bisa berjalan sejauh ini. Lalu, apa lagi yang membuatku ragu?
"Bagaimana aku memulainya?"
Tanpa diduga, Dokter Dona mengambil ponselku yang sejak tadi tergeletak di atas meja kerjanya. Dia membuka aplikasi sosial mediaku dan bertanya siapa nama Ibu. "Kita bisa mencobanya dari sini. Kemungkinannya sangat kecil. Tapi, kita harus mencobanya."
"Sumartini," jawabku sedikit ragu. Entah kapan terakhir kali aku menyebut nama Ibu. Rasanya sudah lama sekali.
Tidak lama kemudian, Facebook berhasil menemukan sederet akun dengan nama yang sama. Dengan sedikit gemetar, aku mengambil ponsel dari tangan Dokter Dona. "Nanti saja."
Dokter Dona mengangguk. "Kapan pun saat kamu sudah merasa siap. Aku senang melihat perkembangan kamu, Prisa. Terima kasih sudah berusaha yang terbaik."
Aku menggeleng. "Dokter Dona sudah banyak membantuku. Yuda juga. Terima kasih karena sudah menopangku berjalan sejauh ini, Dok."
Aku masih ingat betapa berantakannya perasaanku saat pertama kali memutuskan pergi ke tempat ini. Hari-hariku dipenuhi dengan perasaan tidak berdaya, sedih, dan bingung. Aku terus mempertanyakan arti keberadaanku di dunia ini. Belum lagi pertanyaan tentang bagaimana rasanya mati terus saja menghantui.
Namun, Dokter Dona dan Yuda terus menemaniku tanpa bosan. Pelan-pelan, mereka membantuku berproses dengan cara mereka. Ah, Dokter Damara juga terus membujukku untuk pergi ke tempat ini. Kalau aku tidak mendengarkan sarannya saat itu, aku tidak tahu bagaimana kondisiku saat ini.
Perasaan gamang dan kosong itu belum sepenuhnya pergi dari dalam diriku. Tapi, tidak seburuk empat bulan lalu. Nafsu makanku juga sudah lebih terkontrol sekarang.
"Bukan kami, Prisa. Kekuatan itu ada di dalam diri kamu. Tuhan memberi kita keistimewaan itu. Hanya saja, kadang kita perlu waktu untuk menemukannya."
Dokter Dona bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku. Dia memelukku erat sambil terus menepuk-nepuk punggungku. Ah, aku jadi ingat tentang pertemuan pertama kami di ruangan ini. Sejak saat itu, dia memperlakukanku selayaknya teman. Dia membuat semua proses ini menjadi lebih mudah. Aku bahkan hampir lupa hubungan macam apa yang kami miliki. Senyum keibuan Dokter Dona yang pernah kubenci berubah menjadi penguat langkahku. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih untuknya.
Setelah membicarakan jadwal pertemuan kami berikutnya, aku berpamitan. Aku mencoba berdiri, tapi lututku terasa lemas. Aku lelah sekali hari ini. Setelah menulis cerita di buku harian, juga berbincang tentang Ibu dengan dokter Dona, aku hanya ingin segera pulang dan tidur.
Dokter Dona menatapku dengan sorot mata khawatir. "Kamu baik-baik saja, Prisa?"
Aku mengangguk. "Aku hanya merasa sedikit lelah, Dok."
Dokter Dona meminta salah seorang perawatnya untuk mengantarku pulang. Tapi, aku buru-buru menolaknya dengan halus. Aku masih bisa berkendara sendiri. Kondisiku tidak seburuk itu. Lagi pula, jarak dari tempat ini ke rumah tidak seberapa jauh.
Aku baru saja melangkah hingga pintu saat sebuah pesan singkat masuk. Bukan dari dua nama yang belakangan sering mengisi kolom kotak masuk pesanku. Bukan juga pesan darurat dari Metamorfosis Psycare. Pesan itu dikirim oleh seseorang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Ibu.
Apa kabar anakku, Prisa? Maaf butuh waktu begitu lama untuk Ibu bisa menghubungimu.
Kakiku kembali lemas. Kali ini, aku tidak akan bisa berkendara sendiri sampai kosan. Aku menoleh ke arah dokter Dona. "Dokter, bolehkah aku meminta tolong seseorang mengantarku sampai kos?"
***
Hipotimia adalah suasana perasaan yang secara perpasif diwarnai dengan kesedihan dan kemurungan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisa's Mental Journey (BWC 2020)
RomanceKepergian sang ibu yang begitu tiba-tiba, berdampak serius terhadap kondisi psikis Prisa. Setelah bertahun-tahun berhasil melalui itu, Prisa kembali tiba di titik yang sama. Boderline Personality Disorder (BDP) yang pernah Prisa derita, kembali meng...