AMBIVALEN

39 13 7
                                    

"Kapan kembali, Yud?"

Dokter Dona mewakili satu dari sekian banyak pertanyaanku sejak beberapa hari lalu.

Sejak mengetahui jika menderita BDP, aku merasa tidak pantas mengharapkan apa pun kepada orang lain. Bahkan, setelah Yuda mendekrlarasikan dirinya sebagai temanku. Ada batasan yang harus kujaga dalam hubungan ini. Aku tidak ingin menaruh harapan lebih atas kebaikan Yuda. Pun dengan yang lain. Dan sepertinya, keputusanku untuk tidak bertanya apa pun soal liburannya kemarin adalah yang paling benar.

Aku tahu Yuda mengambil cuti seminggu penuh untuk berlibur. Aku tahu dia mendaki Gunung Sindoro bersama teman-temannya. Aku bahkan tahu kalau ada sesuatu yang tidak ingin Yuda beritahukan. Tapi, itu bukan masalah. Toh, aku memang bukan siapa-siapa baginya.

Aku hanya Prisa Yudita, bawahan yang kebetulan dulu satu angkatan dengannya. Mahasiswa yang dulu langsung meremas dan membuang brosus pendaftaran MAPAGAMA. Rekan satu angkatan yang hanya menganggapnya anak pecinta alam biasa–yang kerjaannya hanya sibuk di ruang sekertariat dan jalan-jalan, hidup dengan alam.

Namun, tetap saja. Bagaimana dia bisa meninggalkan kantor tanpa mengatakan apa pun setelah memberiku tugas untuk membantu Darial? Bukannya kekesalanku beralasan?

Sejak Yuda menjemputku di kosan sore tadi, kami hanya membicarakan soal perkembangan psikis Yunita dan Darial. Itu pun tidak semuanya. Meskipun Yuda atasanku, privasi klien harus tetap kujaga. Dan setelah itu, kami lebih banyak diam.

"Ini untuk kalian," kata Dokter Dona sambil meletakkan sebuah kotak kecil di depan kami.

Dokter Dona mengambil posisi duduk di bangku kosong sebelahku. Sementara, Yuda yang barusan sibuk membaca buku menu langsung tersenyum. Kalau tidak buru-buru mengalihkan pandangan, sudah pasti senyuman itu akan segera menular padaku. Untung saja perhatian Yuda teralihkan oleh bingkisan kecil yang dibawakan Dokter Dona untuk kami.

Yuda mengambil kotak kecil yang diberikan Dokter Dona, lalu mulai mengamatinya. "Turun dari pesawat jam delapan malam tadi, Dok. Ngomong-ngomong apa ini?"

Aku yang juga merasa penasaran mulai menunggu penjelasan Dokter Dona.

"Tiket," jawab Dokter Dona enteng.

Meskipun tidak begitu jelas, aku melihat sorot mata penuh kebahagiaan terlukis di wajah cantiknya. Mata sipit Bu Dona sempurna menutup saat dia mulai tertawa. Alih-alih bertanya, aku lebih senang menikmati sensasi menunggu ini. Dan sepertinya, Yuda juga melakukan hal yang sama. Apa yang membuat Dokter Dona terlihat begitu bahagia saat memberikan tiket kepada kami?

Kini, mata Dokter Dona mulai berkaca-kaca. "Ini tiket untuk pertunjukan pertama Nadira, sulungku. Kalian harus datang."

Yuda membuka kotak kecil itu dan terpekik kaget. "Nadira sudah sebesar ini? Dia pasti cantik banget sekarang. Aku sering bayangin gimana dia main biola di atas panggung yang megah. Dan kayaknya bakal segera terwujud."

Aku mengambil tiket itu dari tangan Yuda. Lalu, aku melihat wajah gadis belia yang hampir serupa dengan Dokter Dona tercetak di sana. Hidung lancip, rambut setengah pirang, dan kulit putih pucat itu persis seperti milik Dokter Dona. Bedanya, gadis itu tidak memegang stetoskop, tapi biola.

Aku masih sibuk membaca tanggal dan waktu yang tertera di lembar tiket saat Yuda mulai membicarakan Nadira. Cerita demi cerita tentang gadis itu mengalir begitu saja dari mulut keduanya. Mereka tampak bahagia membicarakan impian Nadira. Sementara aku hanya bisa menyimak. Dari dulu, aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk mewujudkan impian-impian semacam itu.

"Jadi, kamu sudah bertemu lagi dengannya?" tanya Dokter Dona tepat saat pramusaji meletakkan menu pesanan kami ke atas meja.

Yuda mengangguk. Binar di matanya mendadak redup. Entah untuk alasan apa, aku sempat melihat Yuda menatapku sekilas sebelum menjawab pertanyaan Dokter Dona. "Dia terlihat lebih baik dari pertemuan kami sebelumnya."

Meskipun mereka tidak menyebutkan nama, aku tahu jika topik pembicaraan mereka sudah berpindah. Bukan Nadira yang sedang mereka bicarakan. Tapi, sosok lain yang Yuda temui di sela liburannya. Bisa jadi pasiennya. Atau kemungkinan paling buruk adalah pacarnya.

Apakah aku baru saja menyebut itu kemungkinan terburuk?

Lalu, tiba-tiba saja aku mengingat foto yang diunggah Yuda di Instagram pribadinya dua hari lalu. Ada lima foto yang diunggah bersamaan. Memang tidak ada yang istimewa dari foto itu. Kelimanya hanya gambar hitam putih berlatar puncak Gunung Sindoro. Tapi, foto di slide terakhir berhasil mencuri perhatianku.

Jika keempat foto sebelumnya menampilkan beberapa orang sekaligus dalam satu frame, tidak yang terakhir. Aku melihat Yuda dengan atribut gunungnya tengah merangkul seorang wanita. Foto itu, terlalu bagus untuk dikatakan candid. Mereka tampak akrab dan hangat. Senyuman yang Yuda tampilkan di sana sangat lepas dan apa adanya.

Perasaan asing itu memenuhiku setiap kali mengingatnya. Berkali-kali aku mengingatkan diri sendiri untuk membuat benteng bagi perasaan ini. Tapi, nyatanya aku terluka hanya karena sebuah unggahan di sosial media.

"Aku sudah membaca buku harianmu, Prisa. Dan sepertinya, kamu sudah jauh lebih baik," kata Dokter Dona setelah menyelesaikan perbincangan mereka tentang 'wanita itu'.

Aku mendongak. Baru sadar jika sejak tadi aku sibuk menmisahkan biji jagung pada rosemary chicken pesananku. "Tapi, aku masih belum bisa mengendalikan nafsu makanku."

Mendengar itu, Yuda dan Dokter Dona tertawa. Anehnya, aku sama sekali tidak tersinggung dengan sikap mereka.

"Pelan-pelan saja, Prisa. Sekarang, kamu sudah tahu bagaimana mengatasi itu. "

Aku mengangguk. Kasus Darial dan Yunita memberiku pemahaman baru. Aku mulai mempelajari bagaimana kondisi Ayah pada saat Ibu pergi dan mencoba memahaminya. Perlahan, aku bisa menerima jika Ayah mungkin terluka. "Aku banyak belajar dari kasus yang baru saja kami tangani, Dok. Oh, iya. Thank you so much untuk pembelajarannya, Pak Yuda."

Yuda tersenyum. "Everything don't work unless you do, Sa. Eh, sejak kapan ada yang kesenengen dilimpahin kerjaan dadakan?"

Aku tertawa. Tapi, aku tidak berdusta. Aku benar-benar merasa lega setelah menyelesaikan misi yang Yuda berikan.

"Kasus yang kemarin berimbas besar ke kondisi psikis kamu, ya?" tanya Dokter Dona lagi.

"Banget, Dok. Banyak banget hal yang selama ini aku sangkal jadi lebih terbuka. Hubunganku sama Ayah juga jadi lebih baik."

Aku sudah menceritakan ini dengan cukup rinci di dalam buku harian. Tapi sepertinya Dokter Dona ingin mendengar langsung dariku.

"Aku bahagia dengernya," kata Yuda tanpa mengalihkan fokusnya dari garden veggie chickpea pesanannya.

Dokter Dona membelai punggung tanganku dengan lembut. "Lalu, bolehkah aku bertanya sesuatu, Prisa?"

Aku mengangguk yakin. Aku sudah siap dengan apa pun yang akan Dokter Dona tanyakan. Bukankah aku memang harus siap dengan segala kemungkinan?

"Apakah kamu ingin bertemu dengan ibumu?"


MAPAGAMA (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada) merupakan unit kegiatan mahasiswa di tingkat universitas yang mewadahi minat dan bakat mahasiswa di lingkungan UGM dalam kegiatan yang bersifat kepencintaalaman.

Prisa's Mental Journey (BWC 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang