6. Di Mall

41 11 0
                                    

"Ehem."

Imam memandang sinis Fikri. "Siapa yang bilang gue trauma percintaan? Enak aja, gue beneran punya pacar tau."

"Siapa? Mana coba kenalin," tantang Fikri.

Imam menggeleng. "Gak mau. Nanti cewe gue direbut."

"Calon penerus ayah nih, Kak. Sama-sama sayang banget sama pasangannya," bisik Una di telinga Siti.

Siti terbahak. Sepertinya Siti menurunkan salah satu sifat ibunya, receh. "Kenapa lo ketawa kayak gitu? Ketawain gue?" tanya Imam bersedekap.

Una menatap Imam tak suka. "Huh! Ka Imam kegeeran."

Siti menahan tawanya. "Gue ketawa karena Una bilang ada anjing nikah sama burung. Jadi? Lo ngerasa diri lu salah satu dari anjing sama burung?"

Semuanya sontak tertawa sedangkan yang ditertawakan menunjukkan tatapan seperti ingin menerkam. "Lo pada emang parah! Lo juga, Fik. Bukannya dukung gue," dengus Imam.

"Gimana, ya? Lo gak mau ngasihtau juga sih siapa cewek lo."

Imam mencari cara, bagaimana caranya agar ia tak menjadi bahan candaan lagi. Kebetulan Arsa sedang lewat, Imam pun memanggil, "Arsa!"

Arsa yang tadinya berjalan lurus, menjadi berbelok karena merasa namanya dipanggil. "Kenapa lo?"

Imam merangkul Arsa. "Nih, cewek gue."

Arsa kaget. Imam yang di kelas terkenal sering ribut dengannya tiba-tiba merangkul ditambah mengklaim Arsa sebagai ceweknya. Imam mengerlingkan satu mata. Seperti mengerti, Arsa pun mengangguk.

Una mengusap-usap punggung Irma, seperti teman yang memberikan semangat saat temannya menangis. "Yah, Ir. Gagal deh kamu ngegebet Ka Imam. Sabar, ya. Padahal kata kamu Ka Imam cogan, ya 'kan?"

Irma menatap Una bingung sekaligus kaget. "A–aku ga suka sama Ka Imam. A–aku cuma bilang Ka Imam cogan."

"Kata lain suka itu," sahut Fikri.

"Dah ah. Males sama kalian. Ayo beb kita ke kantin," ajak Imam merangkul membawa Arsa pergi.

Siti berbisik pada Una, "Kita tinggal di lingkungan yang uwu banget, ya."

Una mengangguk menyetujui. Saat sudah hampir sampai kantin, Imam melepas rangkulannya. "Keenakan banget lo dirangkul gue."

Arsa mendelik. "Lah, yang ngerangkul siapa? Lo yang ngerangkul juga."

"Iya, tapi lo jadi keenakan ga mau ngelepas rangkulan gue."

"Geer banget. Udah dibantuin juga bukannya berterima kasih!" ketus Arsa pergi kembali ke kelas.

Imam terkekeh. "Makasih."

*****

Areta sekarang berada di mall dekat rumahnya, lebih tepatnya di store Matahati. Tempat yang sejuk tak seperti saat melihat mantan dengan yang baru. Berada di tiga lantai dengan tiap lantai berisi beda-beda bagian. Lantai pertama berisi baju-baju, peralatan make up, dan souvenir. Lantai kedua berisi peralatan masak dan perabot rumah tangga. Lantai tiga berisi sepatu, buku-buku dan peralatan sekolah.

Sekarang Areta berada di lantai satu store Matahari lebih tepatnya di lorong peralatan make up. "Beli yang ini aja kali, ya? Ah ga cocok." Sudah berkali-kali kalimat itu keluar dari mulut Areta.

Areta mengambil spoolie brush. "Ini apaan lagi? Kurang gede ini mah, kalau gede 'kan enak bisa buat nyikat kamar mandi."

"Itu spoolie brush, Bu. Kalau buat sikat kamar mandi, ada di lantai dua sebelah kanan," ucap salah satu pramuniaga yang menghampiri Areta.

Areta cengengesan. "Saya tau kok, Mbak. Saya cuma bercanda aja tadi."

Pramuniaga itu geleng-geleng kepala meninggalkan Areta. Areta menaruh spoolie brush di tangannya ke tempat semula.

Kenapa mbak mbak tadi segala nongol sih, malu gue, batin Areta.

Areta kembali melihat barang lain dan memilih-milih.

"Punten, Kak. Ada yang bisa saya bantu?"

Areta menoleh. "Gue pikir siapa. Ga ada, Dar."

"Yakin? Tadi perasaan ada yang gerutu sendiri," sindir Haidar terkekeh.

Areta menunjuk wajah Haidar. "Lo ngikutin gue dari tadi, ya?"

Haidar mengedikkan bahu. "Gak sengaja lihat."

Areta kembali fokus memilih peralatan make up. Areta mengambil Eyebrow kits. "Ini buat apa, ya?"

"Lo ga make make up juga udah cantik, Ret," ujar Haidar berdiri di belakang Areta.

"Sa ae lo. Dah ah mending cari souvenir," pungkas Areta ke lorong souvenir meninggalkan Haidar yang masih diam di tempat.

Haidar menunjuk dirinya sendiri. "Lah gue ditinggal sendiri? Nasib banget."

Haidar menyusul Areta. "Lo jangan ninggalin gue dong."

"Bodo, gue laper," kata Areta pergi meninggalkan Haidar lagi.

"Lo udah milih dan milik Prakoso, kalian ninggalin gue sendirian dulu. Masa gue ditinggal lagi?" lirih Haidar.

Haidar mengejar Areta. "Jangan main ninggalin aja dong."

Areta menoleh. "Laper."

"Yuk makan di sana. Gue traktir," ajak Haidar menunjuk salah satu restoran bernuansa KPop.

Areta memandang Haidar dan restoran bergantian. "Tumben."

"Tapi, ayo deh. Kapan lagi ditraktir." Areta menarik tangan Haidar ke restoran itu.

Sesampainya di sana, Areta langsung memesan empat menu. Haidar tercengang melihatnya. "Lo … apa habis makanan sebanyak itu?"

Areta mengangguk. "Namanya juga laper."

"Serah deh asal lo senang. Lo kok ke sini sendiri ga ditemanin Prakoso?" tanya Haidar membuka topik lain.

"Prakoso 'kan kerja."

"Terus ke sini ngapain?" tanya Haidar lagi.

"Pengen beli alat make up. Habis di rumah."

"Terus tadi kenapa ga tau nama alat-alat make up?" tanya Haidar lagi dan lagi.

Areta menarik napas panjang. "Karena gue bukan cenayang yang tau semua hal. Gue juga ada bagian ga taunya."

"Terus ken–"

"Banyak nanya, ya, Dar," potong Areta cepat.

Tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat mereka dengan tatapan aneh dan tak suka.

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang