Extra Part

34 6 2
                                    

"Mau dinamakan apa anak kita?"

Areta menengadah ke atas, memikirkan nama apa yang cocok untuk anak kembarnya. Ah, dia jadi teringat dengan salah satu artis Korea. "Jeno dan Jaemin."

Prakoso menghela napas, susah sekali mempunyai istri yang kenal dan mengidolakan artis korea. Pasti ujung-ujungnya tidak jauh dari nama idola Areta. "Masa itu?"

"Gak apa-apa. Siapa tau suksesnya kayak Jeno dan Jaemin beneran," tutur Areta. Kalau ia tidak dapat Jeno dan Jaemin yang asli, bisa kali Areta membuat anaknya menjadi penerus.

"Jeno Layyina Parikesit dan Jaemin Layyina Parikesit, gimana?" tanya Areta seraya tersenyum manis. Mencoba membujuk Prakoso.

"Gimana kal-"

"Oke. Jeno Layyina Parikesit dan Jaemin Layyina Parikesit, valid no debat no kecot," potong Areta final mengambil keputusan.

Prakoso hanya berdeham pasrah. Ia mengusap pucuk kepala Areta, sungguh banyak hal yang membuatnya tak menyangka. Satu yang pasti, Prakoso sangat sayang Areta, istrinya.

"Prak, ambilin Jeno dong," pinta Areta membuyarkan lamunan Prakoso.

Prakoso menghentikan kegiatannya yang membelai rambut Areta dan beralih pada boks bayi. Terlihat si kembar sedang tertidur pulas, sekarang ia kebingungan membedakan Jaemin dan Jeno.

Areta yang seperti tau dari raut wajah bingung Prakoso pun terkekeh kecil. "Itu, si kakak yang namanya Jeno. Yang mukanya lebih datar."

Ah, akhirnya Prakoso dapat membedakannya sekarang. Jeno ini dari kecil saja mukanya lebih datar, beda dengan Jaemin yang terlihat ceria meski masih bayi. Prakoso mengambil Jeno dari boks, baru selangkah, suara Areta kembali terdengar.

"Ambilin dua-duanya aja deh, Prak."

"Iya, sayang." Prakoso kembali mendekati boks bayi yang berisi Jaemin dan membawa keduanya pada Areta.

" Prakoso kembali mendekati boks bayi yang berisi Jaemin dan membawa keduanya pada Areta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(anggap aja foto Jeno dan Jaemin, ceritanya Jaemin yang nindih Jeno)

Prakoso menaruh Jeno di sebelah kiri Areta dan tetap menggendong Jaemin. Sepertinya, Jeno akan lebih akrab dengan sang ibu dan Jaemin dengan sang ayah.

"Ga nyang-"

Haidar datang membuka pintu, di belakangnya ada Riordan dan Riska yang membawa Imam. Prakoso menatap sinis Haidar, ada aja yang memotong ucapannya. Mengganggu suasana!

"Gimana keadaan lo, Ret?"

"Gini-gini aja, Dar," jawab Areta sekenanya.

"Anak lo udah nambah lagi aja, nih. Bagi satu gitu ke gue atau lo mau jadi ibu dari anak gue yang selanjutnya?" kelakar Haidar berniat menggoda Prakoso. Ia jadi ketularan usil semenjak bertemu kembali dengan Riordan.

Prakoso mendelik mendengarnya. Apa-apaan, setelah membuat keluarganya ambyar saat itu, sekarang bisa-bisanya dia gombal. Prakoso menaruh Jaemin di sebelah kanan Areta dan menatap Haidar tajam.

Riordan melirik Prakoso. Tuh, bener dugaan Riordan. Hawa panas langsung menjelma!

Riordan mengambil kesempatan, kapan lagi menjahili Prakoso. "Hareudang, hareudang, hareudang ...."

Riska terkekeh. Sebelum gibah, ada baiknya pemanasan dengan memanasi Prakoso. "Panas, panas, panas ...."

Prakoso sudah tak tahan, ia menarik Haidar keluar. Baru sampai depan pintu, Areta kembali berucap, "Jangan diusir dong, Prak. Dia kan niatnya baik mau nengok aku sehabis lahiran. Lagian dia udah punya istri lagi."

"Tap--"

Melihat wajah Areta yang seperti mengisyaratkan Prakoso agar tak mencari masalah lagi membuat Prakoso mengalah. "Oke, aku yang pergi. Aku mau ke kantin."

Prakoso keluar dari kamar inap Areta dengan membanting pintu sedikit keras. Sepeninggalan Prakoso, semuanya tertawa, kecuali Areta tentunya.

"Prakoso posesif banget, ya, Ret."

Areta menganggukan kepalanya sambil menengok Jeno. "Masih sama kayak dulu, beda tipis deh."

"Nama si kembar siapa, Jeng?"

"Di kiri saya Jeno, kakaknya. Di kanan saya Jaemin, adiknya. Dari mukanya udah keliatan, Jeng. Jeno datar," jawab Areta melihat sisi kiri dan kanannya.

Riska menganggukkan kepalanya mengerti. Benar juga, si kembar ini mudah dibedakan.

Imam menyenggol Riska. Baru ingin dimarahi, Imam lebih dulu berbisik, "Mau ke kantin sebentar beli minum."

Riska menyipitkan mata dan akhirnya mengangguk. Imam pun keluar dari kamar inap Areta.

Haidar jadi merasakan kejanggalan, di sini tidak terlihat anak-anak Areta yang lain. "Anak lo yang lain pada ke mana, Ret?"

"Sekolah sama kuliahlah."

Oke, Haidar malu sekarang. Bisa-bisanya dia lupa, padahal ia juga punya anak yang satu sekolah dengan anak-anak Areta.

"Terus itu si Imam ngapa gak sekolah?"

"Bolos. Ajaran bapaknya emang sesat," sindir Riska tak suka.

"Beneran?" Areta tak percaya.

"Katanya gini, 'sekali-sekali bolos mah gak papa kali. Biar nambah pengalaman baru' emang sesat."

Riordan hanya cengengesan. "Kalau gue jadi kayak Prakoso gimana, ya?" celetuk Riordan tiba-tiba.

Riska menoyor kepala Riordan pelan. "Halah, sok-sokan. Lo sendiri aja masih suka kegenitan, beda sama Prakoso yang emang setia."

"Lah, lo kali itu mah. Gue kapan coba kegenitan?" balas Riordan tak terima. Sepertinya, setelah ini akan ada pertempuran.

Riska berkacak pinggang. "Waktu di cafe, masa lebih peduliin pelayannya daripada gue?!"

Masih aja diingat-ingat lagi. Padahal dianya aja yang waktu itu sensian banget, batin Riordan menggerutu.

Riordan memiting kepala Riska di ketiaknya lalu mengusap pucuk kepala Riska. "Suka gitu ah lo mah, diinget teros."

Riska memberontak berusaha melepas pitingan Riordan. "Bau ketiak!"

Suara pintu yang terbuka membuat perhatian semuanya teralih. Terlihat Prakoso kembali dengan langkah setengah niat yang membawa satu kopi panas. Prakoso mendekati Jaemin dan berniat menggendongnya lagi, namun Jaemin malah terbangun.

Suara tangisan tiba-tiba menggema di kamar inap Areta. Jaemin seperti tidak mau digendong Prakoso.

"Kamu coba jauhan dikit, kayaknya Jaemin nangis kalau dekat-dekat kamu," ungkap Areta dengan teganya.

Riordan, Riska, dan Haidar menahan tawanya melihat raut wajah Prakoso sekarang. Seperti orang kelaparan yang belum makan setahun.

"Jeng, kalau ngomong suka bener banget," celetuk Riska tersenyum geli.

Otak Haidar tiba-tiba seperti menyuruh Haidar untuk mencoba menggendong Jaemin. "Gue boleh gendong Jaemin, ga

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang