8. Berakhir Ribut

34 9 0
                                        

Areta menekan layar ponselnya.

"Halo?"  Suara dari seberang sana mengawali.

"Kenapa, Haidar?"

"Lo masih di mall, Ret?"

Prakoso yang mendengar Areta menyebut nama Haidar pun segera mengambil ponsel Areta. Areta terdiam saat ponselnya sudah beralih di Prakoso. Sekelumit rasa takut ada di pikirannya, namun berusaha Areta hilangkan.

"Yoi, bro. Kenapa nelpon istri gue?"

"E–eh, gak ada. Bye." Haidar mematikan sambungan sepihak.

"Aneh," gumam Prakoso yang masih dapat didengar Areta.

Areta berkacak pinggang, kesal ponselnya diambil begitu saja. "Mana ponselku?!"

Prakoso mendelik, terkejut Areta membentaknya. Namun, Prakoso tetap mengembalikan ponsel Areta. "Kok kamu ngebentak aku cuma karena Haidar?"

Areta menjauh satu langkah dari Prakoso. "Cuma? Bukan masalah Haidar! Ga sopan ngambil ponsel orang seenaknya."

Padahal Areta kan istri gue bukan orang lain, batin Prakoso.

"Maaf deh, sayang," lirih Prakoso maju mendekati Areta.

Siti dan Una yang melihat hanya bisa diam, ingin ikut berbicara namun takut salah.

Ting!

Notifikasi ponsel Siti berbunyi, ternyata ada pesan dari Rizka. Siti pun segera membuka ponselnya dan membaca pesan Rizka.

Ka Rizka : Lagi di mana? Aku udah sampe nih

Siti ragu menjawab pesan itu, suasana di sini sedang tidak baik. Dengan keraguan, Siti pun memilih membalas pesan Rizka.

Siti : Di bioskop

Siti menoleh pada Una, Una menaikkan sebelah alis seolah bertanya 'kenapa?'. Siti menunjukkan ponselnya, Una mengangguk memberanikan diri membuka suara pada Prakoso dan Areta.

"Kamu posesif ban–"

"Ayah, Ibu. Ka Rizka udah sampai sini," potong Una dengan suara pelan. Sungguh, ia takut. Jarang sekali Una melihat orang tuanya ribut apalagi di tempat umum seperti ini.

Prakoso dan Areta menoleh, memandang satu sama lain hingga Areta memutuskan kontak mata duluan. "Minta Rizka langsung datang ke sini aja, Ibu mau pulang. Kalian nonton sama Ayah aja."

Prakoso menatap Areta dengan tatapan bersalah. Bukan maksud Prakoso untuk tidak sopan dengan istrinya, Prakoso hanya takut istrinya diambil oleh mantan saingannya dahulu. "Maafin aku, sayang," lirih Prakoso memegang tangan Areta.

Areta menghempas pelan tangan Prakoso. Entah kenapa mood Areta hari ini tak menentu. Mungkin karena Areta sedang PMS hari pertama.

Areta berlari meninggalkan Prakoso dan kedua anaknya. Mata Prakoso berkaca-kaca, tak menyangka akan seperti ini. "Ayo kita susul Ibu."

"Tapi, Yah. Ka Ika lagi mau ke sini."

Siti mengernyit bingung dengan ucapan Una. "Ka Ika? Maksudnya ka Rizka?"

Una mengangguk. "Iya, enakan manggilnya ka Ika."

Prakoso bagai simalakama sekarang, serba salah. "Oke, kita tunggu Ika."

Siti dan Una mengangguk. Sambil menunggu Rizka, Prakoso mencoba menelepon Areta.

Pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini

Prakoso berdecak kesal. Kenapa bisa-bisanya dia lupa mengisi pulsa. Ingin memakai whatsapp pun kuotanya baru saja habis.

"Sit, Na. Coba telepon Ibu," perintah Prakoso bolak-balik berjalan, ia sangat resah.

Bahkan mereka tak sadar diperhatikan beberapa pengunjung lainnya. Yang ada di pikiran Prakoso hanya satu nama, Areta.

"Ayah, Siti, Una," panggil Rizka dari kejauhan. Prakoso mengusap matanya yang berkaca-kaca, menarik Siti dan Una menyusul ibunya.

Rizka yang baru datang pun kebingungan. Baru saja sampai sudah ditarik-tarik bagai tali.

Sampai di tempat parkir, Prakoso segera menyalakan mobil dan melaju kembali ke rumahnya. Ia berharap Areta ada di rumah bukan di tempat lain apalagi di rumah Haidar.

Rizka menoleh pada Siti, berbisik, "Ini kenapa?"

Siti menjelaskan, "Tadi mau nonton bioskop, terus ibu ditelepon om Haidar. Pas lagi teleponan, Ayah ambil ponsel ibu dan ngejawab 'yoi, bro. Kenapa nelpon istri gue?' terus, ya gitu."

Rizka manggut-manggut tak bertanya lagi.

Di sisi lain, Areta baru sampai rumahnya dengan penampilan yang sedikit berantakan dan tersedu-sedu. Riska yang melihatnya mengernyit, sesaat kemudian ia tersenyum.

Bahan gosip baru, batin Riska.

Kebetulan sekali Riska sedang berada di tukang sayur keliling dengan ibu-ibu lain yang ingin membeli sayur. Riska pun memulai gosipnya. "Eh, ibu-ibu tau gak?"

"Gak tau atuh, Ris. Kamu aja belum bilang apa-apa."

"Nah, betul tuh. Mana kita tau."

Riska terkekeh. "Itu, loh. Tadi saya liat jeng Areta masuk ke rumah dengan penampilan yang berantakan banget, ditambah lagi wajahnya bengkak. Kenapa tuh ya? Jangan-jangan lagi berantem sama pak Prakoso kali."

Salah satu ibu-ibu menyahut, "Ah ga mungkin! Mereka itu keluarga yang harmonis banget."

Salah satu ibu-ibu lainnya menyanggah, "Tapi, kalau bukan itu apa dong? Masa dia berantem sama temannya jadi kayak gitu? Jeng Areta ga pernah mau cari masalah, jeng."

Riska mengangguk menyetujui. "Nah, setuju saya tuh."

Acara gibah mereka pun terus berlanjut, Riska makin antusias. Ia memang selalu antusias soal gibah. Penjual sayur hanya geleng-geleng kepala, kenapa tempat jualannya jadi tempat gibah?

Seseorang yang tak sengaja mendengar gibahan itu segera ke rumah Areta. Mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Ia tak menyerah, ia terus mengetuk pintu hingga Areta membukakan pintunya. "Najwa?"

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang