34. Penuh Haru (End)

46 11 8
                                    

"G-gue hamil?"

Areta memegang test pack itu dengan gemetar. Ia tak menyangka kejadian malam itu membuatnya seperti sekarang, ia juga tak mau.

Apa daya saat itu Areta diculik dan tak sadarkan diri. Panah penuh racun seperti menimpanya bertubi-tubi. Tubuhnya serasa kaku, tangannya serasa mati, Areta menunduk menatap perutnya datar, ia ... masih tak terima dengan kenyataan ini.

"Apa gu-gue harus kasih tau ini semua? Te-terus nasib pernikahan gue gimana? Apa nanti ...." Areta tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Mulutnya kelu.

Banyak pertanyaan menghantui pikiran Areta. Bagaimana jika Prakoso mengetahui ini? Bagaimana reaksi Prakoso?

Apa Prakoso kecewa? Apakah Prakoso akan menceraikan Areta? Apa dia mau menganggap anak dalam kandungannya adalah anak dia? Dan masih banyak apa lainnya.

*****
"Firasat gue enggak enak," ujar 3I4A tiba-tiba.

"lo beneran yakin itu anak BPS?" ND mencoba memastikan. Ia takut 3I4A salah liat, bisa habis mereka.

"Yakin."

Dari kejauhan, terlihat HO berlari menghampiri mereka. Napasnya terengah-engah. "Eh, eh, tadi istrinya BPS baru keluar dari kamar mandi, tapi matanya bengkak gitu. Kayaknya habis nangis deh."

"Sekarang waktunya," jelas 3I4A langsung berlari meninggalkan mereka semua.

5I yang tersadar langsung berdiri dan menyusul 3I4A. "Ayo, buruan ikut," teriak 5I.

ND dan HO pun berlari menyamakan langkah mereka dengan 3I4A dan 5I.

Mereka berhenti di depan kamar inap Prakoso, berusaha menguping apa yang sedang Prakoso dan Areta bicarakan.

"Beb, anak-anak lagi sama Meizy, ya. Bi Wawa sama Bi Erlinda lagi di kantin, tadi izin sebentar," papar Prakoso memberitahu.

Areta mengangguk kecil. "Prak," panggil Areta pelan.

Prakoso menoleh. "Kenapa? Mau apa? Eh-"

Areta menggeleng pelan. Ia tidak yakin mengatakan yang sejujurnya pada Prakoso.

Tanpa sadar setetes air mata turun dari mata Areta, ia mengerjapkan mata pelan menahan tetesan air mata lainnya yang siap turun.

"Sayang, kenapa nangis?"

"A–aku hamil–"

"Bagus dong. Una jadi bukan anak bungsu lagi, Siti sama Rizka juga jadi nambah adik," potong Prakoso antusias, ia sangat bahagia mengetahui dirinya akan nambah anak. Menurut Prakoso, banyak anak banyak rezeki.

Berbeda dengan Areta, dirinya tampak semakin pucat. Badannya dingin, ia tak tau lagi harus mengucapkan apa.

Areta ingin jujur, tetapi Areta takut dengan segala konsekuensinya. Areta mencoba menetralkan semua yang dirasakannya. "Ta–tapi Prak, ini bukan anakmu. Ini ...."

Bukannya marah, Prakoso justru tertawa. Tawanya seperti mengejek, terdengar tidak terlalu nyaring. "Gak mungkin. Itu pasti anakku."

"Enggak, Prak. Ini ... Haidar ... anak Ha-"

Prakoso menggeleng. "Itu anakku. Kejadian malam itu-"

Areta mendongak, memandang Prakoso takut-takut. Ia tak menyangka Prakoso tau kejadian malam itu, namun tak menyelematkannya,

Areta tak menyangka Prakoso membiarkannya begitu saja. Areta beralih mengelus-elus perutnya pelan. "Jadi kamu tau semuanya? Kenapa kamu diam aja saat tau aku dalam bahaya? Saat tau ...."

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang