16. Prakoso Dipenjara

27 8 2
                                        

****
Hari ini tepat seminggu Haidar dirawat di rumah sakit yang artinya Haidar diperbolehkan pulang. Sekarang Haidar bersama Risqi dan Irma sedang bersiap-siap untuk pulang.

"Risqi, cabut tuntutannya, ya. Kasihan Prakoso," pinta Haidar seraya memakai topi, menutupi kebotakannya.

Risqi menggeleng, matanya menatap Haidar tak suka. Risqi hanya ingin Prakoso jera dan tidak ada yang menyakiti ayahnya lagi. "Enggak mau. Biarin aja, biar om Prakoso jera."

"Jangan gitu, kasihan keluarganya. Risqi cabut tuntutannya, ya?" Haidar tetap mencoba membujuk Risqi.

"Tidak mau, Ayah. Lagian cuma empat tahun kok, gak lama," dengus Risqi bersikeras dengan keputusannya.

Haidar menghela napas. Susah memang jika anak tertuanya ikut campur. Haidar memilih ke kantin mencari cara lain membujuk anaknya. "Ayah ke kantin dulu, beli minum."

Risqi hanya mengangguk lesu. Haidar membuka pintu menimbulkan decitan dan keluar dari kamar inapnya. Saat berjalan, Haidar ditabrak salah satu gadis yang memakai seragam SMA. "Duh. Maaf Om."

Gadis itu mengulurkan tangan menawarkan bantuan, Haidar terima dengan senang hati seraya memandang lekat gadis itu.

Cantik juga, ga kalah cantik sama Areta, batin Haidar.

"Maaf sekali lagi ya, Om." Gadis itu berlalu pergi namun tangannya ditahan oleh Haidar.

"Namanya siapa? Jangan panggil saya om, panggil aja kak."

Gadis tersebut berusaha melepaskan tangannya dari Haidar. "Ri–Rizka biasa dipanggil Ika."

"Saya Haidar. Salam kenal, senang bertemu denganmu," tutur Haidar mengulurkan tangan.

Haidar, nama itu tidak asing di telinga Rizka. Ia berusaha mengingat siapa nama itu, terdiam beberapa detik hingga akhirnya Rizka ingat. Iya, itu teman lama orang tuanya. Areta pernah menceritakan Haidar pada Rizka.

Haidar melambai-lambaikan tangan di depan wajah Rizka. "Ika? Kok ngelamun?"

Rizka tersadar dari lamunannya. "E–em Om eh Kak Haidar teman lama ibu sama ayah?"

Haidar mengernyit. Teman lamanya yang mana?

"Ibu sama Ayahmu namanya siapa?"

"Areta sama Prakoso."

"Eh maksudnya ibu Areta sama ayah Prakoso," imbuh Rizka menutup mulutnya. Bisa-bisanya ia memanggil langsung nama orang tuanya.

Haidar tertegun. Haidar baru tahu kalau Areta punya tiga anak, mungkin karena Rizka jarang terlihat.

Kalau ibunya gak dapet anaknya juga boleh kali, lumayan biar ga duda lagi, batin Haidar menimbang-nimbang Rizka.

Rizka baru teringat suatu hal. Saat Prakoso ditangkap, polisi itu menyebut nama Haidar. Berarti, Haidar yang telah telah membuat ayahnya dipenjara.

"Om bener teman lamanya ayah sama ibu, 'kan? Om juga … yang membuat ayah dipenjara?"

Haidar menempelkan jari telunjuknya di mulut Rizka. "Kakak bukan om-om."

Rizka menghempas sedikit kasar jari Haidar. "Terserah! Om jahat buat ayah dipenjara, padahal ibu baru hampir sembuh."

Pikiran Haidar sekarang menjelajah ke mana-mana. Ia berpikir, bagaimana kondisi Areta? Lalu, bagaimana saat Areta mengetahui suaminya dipenjara? Bagaimana perasaan Areta? Apa dia tau kalau ini bukan Haidar yang melapor melainkan Risqi? Apa Areta akan membenci dirinya karena membuat Prakoso masuk penjara? Dan masih banyak lagi.

Rizka yang menyadari Haidar melamun langsung memanfaatkan kesempatan untuk kabur menjauh dari Haidar.

Beberapa detik hingga Haidar tersadar dari lamunannya, Haidar menengok kanan-kiri. "Kok udah enggak ada sih?"

****

"Kak, ayah di sana gimana ya? Apa ga kangen sama Una? Una kangen," lirih Una menunduk. Matanya sudah berkaca-kaca.

Siti mengelus punggung Una, sama-sama memberi semangat. "Ayah pasti kangen sama kita. Sabar, ya sampai empat tahun lagi."

Una menyesal waktu itu tidak mengikuti Prakoso saat ia curiga. Una takut hanya berburuk sangka, namun kenyataan mengatakan firasatnya benar. "Seandainya waktu itu …."

"Udah, jangan diingat-ingat lagi, Na. Sekarang fokus supaya ibu bisa benar-benar sehat lagi, ya."

Najwa yang baru saja kembali dari rumah mengambil beberapa barang, tak sengaja mendengar percakapan itu. Hatinya cukup terenyuh, keluarga yang ia kenal selalu ceria berubah dalam waktu yang singkat.

Siti menoleh pada Najwa, memberi kode untuk menemani Una. Siti mungkin akan mencoba melakukan sesuatu yang dapat menghibur Una.

Seakan mengerti, Najwa menggantikan Siti duduk di samping Una. "Keluar sebentar dulu, ya."

Siti keluar, langkahnya membawa ia menuju kantin. Siti membeli beberapa es krim lalu izin masuk ke dapur salah satu penjual makanan berat. Siti  menghias es krim agar tampak lucu. Dengan memberi bentuk kelinci gembul yang menggemaskan.

Setelah Siti selesai menghias, ia mengucap terima kasih pada sang penjual makanan pemilik dapur tersebut dan bergegas kembali ke Una

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah Siti selesai menghias, ia mengucap terima kasih pada sang penjual makanan pemilik dapur tersebut dan bergegas kembali ke Una.

Siti membuka pintu menggunakan sikunya, tangannya terlalu penuh dengan es krim. "Na, yakin gak mau?"

Una menoleh pada Siti, langsung mengangguk semangat mengambil satu es krim dari Siti.

"Bibi gak dikasih nih?"

Siti menarik ujung bibirnya. "Tangan aku cuma dua, jadi cuma bawa dua."

Najwa membuang muka, pura-pura ngambek. "Bibi bikin minuman sendiri aja, mau bikin es teh tawar manis hangat with honey."

Siti menggeleng-gelengkan kepalanya. Mana ada minuman seperti itu. Tetapi, ternyata Najwa benar-benar membuatnya.

Najwa menyeduh teh dengan air hangat lalu diberi es dan gula. Setelahnya gula diaduk dikit dan sisanya disimpan di gelas yang berbeda. Oke, teh model baru. Najwa memberikan madu di atasnya. Kira-kira bagaimana rasanya?

****

Sekarang Haidar, Risqi, dan Irma sedang dalam perjalanan menuju pulang. Haidar menoleh menatap banyaknya kendaraan berlalu lalang, Haidar tiba-tiba terfokus dengan satu orang yang sedang berboncengan dengan tukang ojek. Orang itu, orang yang pernah disayang Haidar. Mungkin, sampai sekarang. Orang itu, orang yang pernah menduakan Haidar di saat Haidar benar-benar setia, orang yang memberikan bekas luka tersendiri di hati Haidar.

Risqi tak sengaja menoleh dan menemukan sesuatu yang sama. Itu, orang yang melahirkannya.

"A–ayah, kalau gak kuat gak usah dilihat."

Haidar tertawa hambar. "Cuma sama tukang ojek. Nanti Ayah mah sama tukang taksi biar mahalan dikit."

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang