10. Guru Killer dan Murid Baru

40 11 0
                                    

"Stop! Pergi kamu," usir istri Haidar tanpa menengok Haidar. Padahal, Haidar pun masih di depan pintu.

Haidar tetap bersikeras masuk, Haidar lelah. Dia hanya ingin istirahat. Baru saja Haidar melangkahkan kaki, istrinya sudah menghampirinya. Istri Haidar mendorong Haidar keluar pintu, saking kuatnya tenaga istri Haidar membuat Haidar malah terjatuh.

Gubrak

Haidar jatuh dari tempat tidurnya, ia mengerjapkan matanya. Ternyata hanya mimpi. Sungguh, dirinya sangat kaget. "Istriku … kangen."

Irma dan Risqi yang mendengar sesuatu terjatuh segera berlari menghampiri Haidar. Mereka terkejut saat melihat Haidar ada di lantai dengan posisi sedikit menungging. "A–ayah ngapain?"

Haidar langsung bangun dan duduk di ranjang. Lumayan malu, untungnya ia bisa berkilah, "Nggak, kok. Tadi lagi senam."

Risqi mengernyit bingung. "Senam kok gak ada lagunya, Yah?"

Haidar menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, bingung harus cari alasan apa lagi. "It–itu senam versi ta–tahun ini."

Risqi semakin curiga. Haidar salah jika mencoba mencari alasan dengan Risqi karena anaknya yang satu ini sangat cerdas mengungkap sesuatu. Mungkin bakatnya menjadi detektif. "Kalau Ayah senam, kenapa bantalnya ikutan turun? Ayah …."

"Habis mimpi sesuatu?" sambung Risqi dan Irma bersamaan.

Haidar akhirnya pasrah, ia mengangguk. "I–iya."

Tuh 'kan. Tebakan Risqi benar. Lagi-lagi Risqi menebak, "Mimpiin ibu?"

Lagi-lagi pula Haidar mengangguk. Anaknya ini memang susah dibohongi. Risqi dan Irma mendekat pada Haidar, memeluknya seakan memberi kekuatan. "Lupain ibu, Yah. Ibu aja bisa lupain Ayah bahkan saat Ayah dan ibu masih bersama, masa Ayah ga bisa?"

Jleb

Sebenarnya Haidar sudah melupakan istrinya. Bahkan ia sekarang flashback dengan cinloknya dahulu, Areta. Namun, istrinya itu terkadang hadir di mimpinya membuat kenangan-kenangan lama teringat lagi.

****

Sekarang Siti berada dalam kelasnya. Siti menatap papan tulis penuh rumus-rumus fisika yang tiada habisnya. Siti mulai mengantuk, ia pun memilih izin untuk mencuci muka. "Bu Nadine. Saya izin ke kamar mandi."

Nadine yang terkenal killer pun tak langsung memberi izin. Ia bertanya, "Buat apa? Jangan alasan ke kamar mandi taunya malah ke kantin."

Siti menggeleng kepala, gurunya yang satu ini berburuk sangka sekali. "Enggak, Bu. Saya bukan anak yang kayak gitu. Beneran deh mau ke kamar mandi, Ibu mau ikut sekalian temanin saya?"

Nadine melotot, akhirnya Nadine memberikan izin. "Lima menit. Kalau lebih, ke lapangan sana hormat bendera."

Siti mengangguk, ia bergegas ke kamar mandi mencuci mukanya. Takut lima menitnya berlalu. "Ngantuk banget."

Setelah mencuci muka, Siti merasa lebih segar. Ia berlari menuju kelasnya. Baru saja Siti membuka pintu, Nadine sudah di depannya. "Kerjakan lima soal di papan tulis depan!"

Siti mengernyit, sesaat kemudian Siti mengambil spidol dan mengerjakan soal-soal tersebut.

Tok tok tok

Nadine menoleh ke arah pintu. "Masuk."

Terlihat seorang siswi berseragam beda dengan yang lainnya bersama seorang guru wanita masuk. "Maaf Bu menganggu waktunya. Ini ada anak baru."

Nadine mengangguk, mempersilahkan guru itu keluar dan menyisakan seorang siswi baru bersamanya. "Perkenalkan diri kamu sekarang, di sini."

Siswi baru itu mengangguk kaku. "Perkenalkan saya Dyah. Saya pindahan dari SMP Hoas, salam kenal semua."

"Duduk di sana," tunjuk Nadine ke kursi sebelah Siti karena hanya di situ yang kosong.

"Bu, udah." Siti mengembalikan spidolnya pada Nadine, namun Nadine tidak menerimanya. Nadine mengecek hasil jawaban Siti.

Nadine mengangguk dan mengambil spidolnya. "Pintar, sana duduk."

Siti tersenyum dan mengangguk kaku. Di antara semua teman sekelasnya, memang hanya Siti yang paling sabar menghadapi guru yang satu ini.

Bel istirahat berbunyi, suatu kesenangan bagi para siswa. Berbeda dengan kelas Siti, mereka malah diberi sajian tugas yang tak terkira. "Besok kumpulkan! Yang tidak mengerjakan maka akan tau sendiri akibatnya. Ibu permisi." Nadine berlalu keluar.

Suara gibahan-gibahan mulai terdengar. Tentunya menggibah guru terngeselin satu itu. Siti menoleh pada Dyah, ia baru sadar jika ada siswi baru. "Hai, kenalin aku Siti." Siti mengulurkan tangannya.

Dyah membalas uluran tangannya. "Namaku Dyah."

Siti mengangguk dan mengajak Dyah ke kantin. Dyah menyetujui ajakan Siti. Di perjalanan menuju kantin, Una berlari menghampiri Siti. "Kak! Ibu … ibu ada di rumah sakit."

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang