Areta mengangguk-ngangguk. "Oh gitu, ini rumah punya sendiri?"
"Iya, Bu. Kebetulan ini dibeli dari hasil penjualan buku saya," terang Sofia tersenyum.
"Jangan panggil saya ibu, ah. Panggil kakak aja," kekeh Areta.
Sofia mengangkat telapak tangannya ke samping dahi, seperti menghormat. "Siap, Kak."
Tok tok tok
"Eh siapa tuh?" celetuk Siti yang dari tadi diam.
"Bentar, ya. Aku buka dulu." Sofia berjalan membuka pintu.
"Halo Jeng. Tetangga baru, ya? Kenalin saya Riska. Hati-hati di sini, ya. Pasangan seberang rumah kamu tuh romantis banget. Saya kadang iri, suami saya ga bisa seromantis pak Prakoso. Eh, maaf jadi curhat." Riska menjulurkan tangannya semangat.
"Iya, Tan. Nama saya Sofia." Sofia membalas juluran tangan Riska.
"Ya ampun, amsyong deh. Masa aku muda gini dibilang tante, nggak banget keleus. Panggil aku kakak aja dong," gerundel Riska tertawa.
"Siap, Kak. Mau masuk?" tawar Sofia ramah.
"Boleh nih? Ga enak sih, cuma ayo deh kalau dipaksa," canda Riska yang langsung memasuki rumah Sofia.
"Eh, ada Bundanya Una sama Siti," sapa Riska.
Areta menoleh. "Wah, iya nih Bun."
"Ibu, laper," bisik Una di telinga Areta.
"Saya sama anak-anak pulang dulu, ya. Sofia, Bunda Riska. Anak-anak belum makan soalnya," pamit Areta diangguki Sofia dan Riska.
Areta dan anak-anaknya pun kembali ke rumahnya. Di depan rumah terlihat anak perempuan seumuran Siti sedang menunggu. "Maaf, nyari si–"
Saat anak perempuan itu berbalik badan, Areta langsung memeluknya. "Rizka. Ibu kangen banget sama kamu. Kamu di rumah teman lama banget nginapnya."
Rizka merenggangkan pelukan. "Namanya juga kerja kelompok, Bu. Supaya gak bolak-balik."
Setelah pelukan Rizka dan Areta terlepas, Una dan Siti langsung bergantian memeluk Rizka. "Kakak, Una kangen sama Kakak."
"Yuk, masuk dulu." Areta membantu Rizka membawa tasnya ke dalam.
Saat naik tangga, Areta berucap, "Rizka mandi dulu, ya."
"Siap laksanakan, Ibu negara."
Areta tertawa, mengusap pucuk kepala Rizka penuh sayang. "Bisa aja anak Ibu."
Setelah di depan kamar Rizka, Siti dan Una pun balik ke kamarnya begitu juga Areta.
Fyi, kamar Rizka sendiri karena dia paling tua. Sedangkan Una dan Siti hanya beda setahun. Sebenarnya sama-sama beda setahun, sih. Hanya karena Rizka anak tertua saja.
Areta mengecek ponselnya. Ada pesan dan dua panggilan tak terjawab dari Haidar.Haidar : Prakoso sekarang ke mana-mana bawa pisau? Gila juga
Areta mengernyit, ia pun segera ke atas menanyakan langsung pada Prakoso. "Prak, kamu ke mana-mana bawa pisau? Buat apa?"
Prakoso yang sedang menonton menoleh. "Takut ada apa-apa, jadi jaga-jaga aja. Kenapa, hm?"
"Jangan bawa pisau deh, ya. Bawa garpu aja," usul Areta.
Prakoso menggeleng. "Kenapa ga boleh? Kamu takut aku nyakitin kamu? Atau takut aku kenapa-kenapa sama pisau itu sendiri?"
"E–em bukan. Pisaunya mending buat aku motong bahan makanan di dapur, iya 'kan? Kalau garpu banyak, jadi bebas deh kamu mau bawa selusin juga," kata Areta membaringkan tubuh di kamar.
Prakoso mengerutkan dahi. "Pisau di dapur kurang? Biar aku beliin lagi deh."
"Nggak kok. Pokoknya bawa garpu aja jangan pisau atau yang lain. Aku ga nerima alasan atau penolakan," putus Areta.
Prakoso tersenyum. "Iya. Apa sih yang nggak buat istri tersayangku."
Areta menutup wajahnya dengan bantal. Prakoso tertawa. "Masih aja malu-malu, hm?"
Areta hanya diam. Sepuluh detik kemudian, Areta tidak lagi menutup wajahnya. Ia memainkan ponsel, membalas chat Haidar.
Areta : Iya. Tp dh dblgin kok spy ga bwa lg
Haidar : Oh, bagus deh
Haidar : Lo tau gakAreta : Tau ap?
Haidar : Tau dulu ga?
Areta : Ya mn tau. Blm diksih tau
Areta : Lo gmn sihHaidar : Gjdi deh
Areta hanya membaca pesan itu. Areta terkekeh, apa-apaan Haidar itu membuat orang penasaran aja.
Riska : Jeng
Aku mau kasih liat sesuatu deh
Dijamin ngakakRiska sent a photo
Areta melihat foto itu, setelah melihat Areta menaruh ponselnya sembarang. Humor Areta lagi-lagi anjlok. Areta langsung tertawa tak karuan.
"Kenapa kamu ketawanya gitu banget, sayang?" tanya Prakoso mendekati Areta. Merebahkan dirinya di samping Areta.
"Ga ada kok. Ini loh tetangga kita, Riska. Masa ngasih foto anak dari pernikahan silang semut sama kucing." Areta mengambil ponselnya lagi, melihat foto itu lagi, dan berakhir dengan ketawa lagi.
*****
"Eh, Kak Siti. Tuh, Ka Imam." Una menyenggol pelan bahu Siti.
Akibat senggolan Una, coklat di roti Siti menjadi berlepotan di mulutnya. "Apa sih, Na?"
Una terbahak. "Kak Siti mulutnya banyak coklat."
Siti buru-buru menyekanya. "Masih ada gak, Na?"
"Nggak ada. Cie Ka Siti salting," goda Una.
Imam dan Fikri tiba-tiba lewat depan Siti dan Una. "Fikri, adek gue suka, nih."
Una membelalak. "Bohong Kak. Ka Imam, Ka Siti suka sama Kakak. Cinta mati."
Fikri tertawa. "Cie, Imam. Sit, Imam juga suka, nih."
"Ga usah sok tau. Gue udah ada cewe." Imam berjalan begitu saja meninggalkan semuanya.
"Huh! Ka Imam belagu," gumam Una pelan.
"Jangan dipikirin, Sit. Emang gitu anaknya, maklum lah trauma percintaan," papar Fikri mendekati Siti, menepuk bahunya seperti memberi semangat.
"Lah, siapa juga yang suka sama dia." Siti membuang bungkus rotinya.
"Gue juga gak mau cinta-cintaan apalah itu. Kalau mau ngeliat momen romantis, noh Ibu-Ayah gue romantis banget," sambung Siti lagi.
Fikri mengacungkan jempol. "Good."
"Una," panggil Irma dari jauh. Irma menghampiri Una dan duduk di sampingnya.
"Btw, Fik. Kemarin lo dibilang cogan loh sama Irma," beber Siti membuat Irma memalingkan wajah.
Fikri tertawa kecil. "Beneran? Makasih loh, Irma."
Irma terkejut karena tadi ia sedang melamun. "Eh? Iya, Kak."
"Ehem."
![](https://img.wattpad.com/cover/245301062-288-k431044.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Prata Story
Romance(END dan belum revisi) Definisi keluarga harmonis adalah keluarga mereka. Namun suatu ketika, banyak masalah melanda membuat mereka berubah dan ada sekat. Dimulai datangnya masa lalu, rahasia yang terbongkar, dan keposesifan membuat semuanya bertamb...