"Ayah!!"
Risqi dan Irma berlari menghampiri ayahnya, terkejut melihat kondisi ayahnya sekarang, terutama Risqi.
Bagaimana tidak terkejut? Ia yang sedang menonton film thriller tiba-tiba ditelepon pihak rumah sakit yang mengatakan ayahnya masuk rumah sakit. Setelah sampai sini, ia melihat keadaan Haidar sekarang benar-benar mengenaskan seperti film tadi.
Pipi kiri memakai perban sedikit besar, rambut yang botak, alis dan bulu mata yang juga botak, ditambah lengan kirinya yang menampakkan luka yang mengering.
"Ayah kenapa gak obatin luka tangannya? Pasti sakit 'kan?" Risqi berlari mencari suster, meninggalkan Irma dan Haidar berdua.
"Ayah, ini Ayah?" Irma mengamati Haidar dari atas sampai bawah. Betulkah ini ayahnya versi botak?
Haidar mengangguk pelan. Wajahnya susah digerakkan apalagi pipinya semenjak ada luka tiga goresan itu. Walau lukanya tidak terlalu parah, tetap saja sakit.
"Ayah kok bisa kayak gini? Siapa yang lakuin gini ke Ayah? Aku telepon ibu ya biar ibu tau?" Irma mengeluarkan ponsel bersiap menelepon ibunya, namun tangannya dicekal tangan kanan Haidar.
Haidar menggeleng pelan.
Daripada telepon dia lebih baik telepon Areta, batin Haidar.
Haidar seketika teringat kondisi Areta yang juga tidak baik. Ingin sekali ia menjenguk ke sana, tetapi sepertinya nyali Haidar menciut mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
"Ayah mau apa? Ayah, ibu harus tau ini wal–"
"Misi Dek, saya mau periksa dulu," potong seorang dokter muda yang baru saja masuk diikuti Risqi.
Setelah beberapa menit akhirnya dokter itu selesai memeriksa. "Ada istri Anda? Saya perlu bicara."
"Ti–"
"Ayah sama ibu udah pisah, Dok. Sama saya saja bisa?" potong Risqi mengetahui Haidar juga susah bicara.
Dokter muda itu terlihat menimbang ucapan Risqi. Sebenarnya ia ingin menolak, namun melihat Haidar yang sepertinya hanya memiliki kedua anak tersebut pun akhirnya dia mengiyakan. "Ikut ke ruangan saya."
Risqi berpamitan dan mengikuti dokter ke luar. Sebelum itu, Risqi melihat seorang suster masuk. Sepertinya ingin mengobati luka lengan Haidar.
Risqi membuka mulutnya saat di depan ruangan dokter. Tak menyangka ruangan dokter ini serba anime. "Kenapa di situ? Masuk."
Risqi berjalan dan duduk di bangku depan meja dokter itu. "Saya Hugo, dokter yang akan merawat ayahmu. Perban di luka pipi dan tangannya harus diganti dua kali sehari. Jika kamu tak bisa melakukannya, kamu dapat memanggil suster. Melihat kondisi ayahmu sekarang, mungkin dia dapat pulang seminggu ke depan. Btw, kamu cantik."
Risqi lagi-lagi terperangah, namun ia segera menetralkan kembali raut wajahnya. "Oke, makasih, Dok."
"Boleh minta nomor teleponmu?"
"Bu–"
"Jika ayahmu atau keluargamu sakit, kamu dapat memanggilku."
Risqi mengangguk, mengambil pulpen di atas meja dan menuliskan nomornya di tangan Hugo.
Kok jantung gue marathon gini? Gak, gak! Masa gue suka sama anak pasien sih, batin Hugo mencoba menghempaskan pikiran itu.
"E–em, saya kembali ke kamar inap dulu. Makasih, Dok." Risqi tersenyum canggung dan meninggalkan ruangan membuat Hugo tersadar dari lamunannya.
Hugo menatap tangannya yang berisi tulisan Risqi. "Tunggu, kok bisa-bisanya gue minta no telepon dia tapi gak tau nama dia?"
****
"Nyonya, ih Nyonya kok bisa kayak gini? Nyonya ada yang sakit gak?"
Sejak Rizka dan Najwa kembali, Najwa terus menanyakan seperti itu. "Bi Wawa, berisik."
Najwa menyengir menutup mulutnya. "Maaf, Non. Saya terlalu khawatir."
"Nyonya mau saya buatin teh gak? Tuan juga mau? Nona Rizka juga mau? Nona Siti? No–"
"Buat aja semuanya, Wa."
Najwa mengangkat telapak tangannya seperti hormat. Oke, kali ini Najwa semakin lucu. Najwa tiba-tiba memutar musik yang cocok untuk dance.
Najwa membuat teh sambil dance. Tak jarang ia memutar tubuhnya bersamaan dengan mengaduk teh. Tak jarang juga membuat kelima orang di ruangan itu waspada teh yang dibuat Najwa tumpah. Nyatanya, Najwa sangat lihai!
"Nih, ini buat Nyonya."
"Ini buat Nona Rizka."
Rizka menerima gelas yang berisi teh dari Najwa. "Panggil Ika aja, Bi."
Najwa mengangguk dan memberikan gelas lain pada Siti. "Ini buat Nona Siti."
"Ini buat Nona Una." Najwa memberikan gelas terakhir pada Una.
Prakoso mendelik. "Buat saya?"
Najwa menepuk keningnya pelan. Saking asik dance ia melupakan Prakoso. "Maaf Tuan, lupa. Saya capek dance."
Areta tertawa. "Nasibmu jelek."
Prakoso mendekat dan mengusap kepala Areta. "Ih, sayang. Kamu masih sakit, jangan minum teh dulu. Minum air putih aja. Itu teh buat aku, ya?"
Areta menyentil bahu Prakoso menggunakan tangan kanannya yang tidak diinfus. "Gak! Bilang aja kamu haus pengen minum teh."
Prakoso lebih mendekat, Areta kaget merasakan suatu yang tajam di saku Prakoso. "Di sakumu ada apa? Kok tajam?"
Prakoso seketika ingat dia belum mengembalikan pisau itu ke kantin. Tadi setelah dari kamar Haidar, Prakoso hanya memanggil dokter dan langsung ke kamar inap Areta. "E–em, gak ada. Aku ke kantin bentar, ya."
"Eh Tuan mau ngapain? Mau makan? Ini saya ada bawa kok. Tuan mau teh? Nih, saya bikinin nih."
Prakoso menggeleng. "Gak usah, saya ke kantin mau …."
Prakoso terdiam sebentar mencari alasan. "Mau ketemu teman."
Prakoso mengusap pipi Areta, tersenyum, dan berlalu ke kantin.
Mencurigakan. Tajam? Gak mungkin garpu, ayah selalu simpan di saku kirinya sedangkan tadi di saku kanan. Pisau? batin Una menebak-nebak. Ia rasa ada yang tak beres di sini.
"Itu Tuan kenapa, ya? Apa marah karena saya lupa buatin teh?" gumam Najwa masih dapat didengar.
"Bukan, Prakoso enggak kayak gitu," sahut Areta yang sama bingungnya dengan sikap Prakoso.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prata Story
Romance(END dan belum revisi) Definisi keluarga harmonis adalah keluarga mereka. Namun suatu ketika, banyak masalah melanda membuat mereka berubah dan ada sekat. Dimulai datangnya masa lalu, rahasia yang terbongkar, dan keposesifan membuat semuanya bertamb...