12. Prakoso Seperti Psikopat

35 9 5
                                    

"Ini semua berawal dari Ibumu yang tak sengaja bertemu Haidar, lalu--"

"Eunghh." Areta mulai membuka matanya perlahan. Prakoso, Siti, dan Una segera mendekati Areta.

Prakoso menggenggam tangan Areta yang bebas dari infusan. "Sayang udah bangun? Apa yang sakit? Mau aku panggil dokter?"

Areta menggeleng lemah. "Cu-cuma kepa-kepalaku."

Siti meringis, sungguh ia tak tahan melihat Areta seperti ini. Una memandang Areta dengan tatapan yang tak bisa diartikan, cemas, sedih, takut, marah dengan pelaku ini semua, semuanya bercampur aduk.

Di pikiran Una tiba-tiba terlintas, ke mana kakak tertuanya? Kenapa hanya dia yang tidak ada di sini?

"Kakak jaga Ibu dulu. Ada yang harus aku tanyain sama Ayah," bisik Una di telinga Siti.

Siti mengangguk pelan, Una pun menarik tangan Prakoso pelan. Prakoso mengikuti Una saja, ia tau anaknya satu ini. Polos, tetapi akan menjadi bijak jika menyangkut keluarganya. Una menarik tangan Prakoso ke luar kamar. "Ayah, kenapa ka Ika gak datang?"

"Dia sama Najwa di rumah lagi kemas pakaian-pakaian ibu sama Ayah. Ayah bakal nginep di sini. Kalian nanti malam pulang aja, besok kalian sekolah," jelas Prakoso.

"Terus gimana ceritanya sampe ibu bisa kecelakaan?"

"Kamu tau dari mana ibu kecelakaan?" tanya Prakoso balik.

Una memutar bola mata malas. "Resepsionis."

Prakoso mengangguk saja, anak-anaknya memang pintar. Bahkan, mereka sudah tahu tanpa diberi tahu duluan. "Awalnya ibumu tak sengaja bertemu Haidar di mini market. Saat menyebrang, Haidar gak ngeliat jalan dulu. Ada satu mobil yang mendekat ke arah Haidar, ibumu yang tau hal tersebut pun mendorong Haidar ke tepi jalan dan berakhir ...."

Una mengangguk mengerti, ia mengusap punggung Prakoso. "Aku ngerti, gak perlu dilanjut. Sekarang om Haidar di mana?"

Prakoso terdiam seketika, mengingat apa yang dilakukannya pada Haidar. "Tadi Ayah emosi jadi ... jadi Ayah nusuk pipi Haidar pake garpu yang selalu Ayah bawa sampai berdarah."

Una mundur satu langkah, cukup terkejut mengetahui perilaku Prakoso. Ayahnya benar-benar tak segan melakukan apa saja untuk"Te-terus sekarang om Haidar di mana?"

"Jangan takut, dia masih hidup kok. Lagi diobatin di dokter umum sini juga," kekeh Prakoso membuat Una semakin takut.

"A-ayah seperti psikopat."

Prakoso merangkul Una, mengusap pucuk kepala Una penuh sayang. "Ayah akan melakukan apa saja untuk keluarga Ayah. Ayah gak terima siapa pun membuat keluarga Ayah menderita atau mengambilnya dari Ayah."

"Tapi, om Haidar ga sepenuhnya salah, Ayah!"

Kenapa anak gue juga bela Haidar sih? batin Prakoso tak suka.

Prakoso memilih mengalah, ia mengangguk saja dan membawa Una kembali ke dalam ruangan istrinya. Terlihat Siti berusaha menghibur Areta walau Areta sama sekali tidak terhibur. Areta menatap kosong ke depan. Suatu rencana terlintas di pikiran Prakoso. Prakoso memilih izin pergi sebentar. "Ayah mau ke mana?"

"E--eh it–itu, panggil dokter."

Una mengernyit, sepertinya Prakoso tidak mengatakannya dengan jujur.

Yakin Ayah cuma mau panggil dokter? Atau ... yang lain? Ah udahlah nethink terus, batin Una mencoba menghilangkan pikiran aneh-anehnya.

Setelah keluar, Prakoso menyempatkan ke kantin meminjam pisau. Ia beralasan lagi pisau itu untuk memotong buah di ruang rawat inap istrinya, padahal Prakoso menggunakan pisau untuk hal lain.

Prakoso mencari Haidar. Ah, dia melihatnya, baru saja Haidar akan dibawa ke rawat inap. Tunggu, luka Haidar apakah separah itu? "Lebih baik gue ngikutin dia."

Prakoso mengikuti Haidar menuju kamar inapnya, untungnya Haidar hanya sendiri. Anak-anaknya tidak mengetahui hal ini. Selepas suster meninggalkan Haidar sendirian, Prakoso memanfaatkan kesempatan. Ia segera masuk ke dalam.

"Nga-ngapain?" tanya Haidar terbata karena tulang pipinya yang masih sakit.

Prakoso hanya diam dan mengeluarkan pisau serta garpu yang ia bawa. Haidar membelalak, apa lagi ini?

"A-ampun Prak."

Prakoso memotong rambut Haidar hingga botak, tak cukup di situ ia juga meratakan alis serta bulu mata Haidar. Tangan Haidar sedikit Prakoso tusuk dan gores, sehabis itu Prakoso langsung pergi. "Ra-rambut gue, gue ... botak," lirih Haidar memandang rambutnya yang tadi terjatuh ke pangkuannya.

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang