27. Di Pantri

24 5 3
                                    

"Ret, lo udah selesain yang disuruh bos kemarin?"

Areta menoleh. "Belum nih. Yang mana sih, Del?"

Adel menggeleng-gelengkan kepalanya. Areta terlihat sangat tidak fokus. "Lo ada masalah apa, sih, Ret?"

"Gue kepikiran anak-anak sama suami gue." Areta melirik ponselnya, berharap anaknya menelepon memberi kabar baik tentang Prakoso.

"Gue emang enggak tahu apa pun soal masalah lo, Ret. Tapi, gue saranin, lo jangan gagal fokus gini. Lo tau sendiri Bu Sherina orangnya gimana," saran Adel. Ia tak mau Areta kena marah Sherina, bos mereka.

Adel memberikan beberapa berkas dan menaruhnya di sisi ujung meja Areta. "Ini rekap, kalau udah jangan lupa minta tanda tangan Bu Sherina."

Areta menyatukan berkas-berkas yang diberi Adel dengan berkas lainnya. "Iya. Gue ambil minum ke pantri dulu, ya," pamit Areta mengambil botol minumnya dan ponselnya.

Adel hanya mengangguk singkat. Areta berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pantri. Berulang kali ia melirik ponselnya, hingga tak sadar ada seorang office girl yang berhenti dengan membawa tong sampah roda di depannya. Areta menabrak tong sampah roda tersebut.

"Aduh …." Areta mengaduh kesakitan.

"Lo bisa enggak kalau naruh ini," Areta menendang pelan tong sampah roda itu, "ga sembarangan?"

"Iya. Maaf, Mbak," dengus office girl itu tanpa menoleh Areta.

"Kalau enggak tulus mending gak usah!" seru Areta menghentakkan kakinya melanjutkan langkahnya ke pantri.

"Mbaknya depresi kali, ya. Dia yang nabrak, dia yang marah."

Areta sayup-sayup mendengar itu, namun Areta menghiraukannya. Sepanjang jalan, ia juga mencerna perilakunya tadi. Entah kenapa tiba-tiba Areta sensitif, mungkin benar. Raganya ada di kantor, namun jiwa dan pikiran Areta bersama suami juga anak-anaknya.

Sampai di pantri, Areta mengisi air dalam botol minumnya hingga penuh. Ia bersiap untuk meneguk air itu, tapi Areta teringat sesuatu kala melihat bagian bawah botol minum. Ini kado untuknya dari Prakoso saat Una lahir.

Unik dan kreatif. Bahkan, Areta saja tidak sama sekali terpikirkan akan diberikan ini oleh Prakoso. Botol minum Areta yang ini punya makna sendiri.

Flashback on

"Sayang? Udah sadar?" Prakoso yang awalnya duduk di sofa dekat brankar seraya menimang-nimang anak ketiganya yang baru beberapa jam lahir, langsung berdiri mendekati Areta.

Areta mengangguk pelan. "Itu yang kamu gendong anak kita, 'kan?"

Prakoso mengecup dahi Areta sekilas dan mengangguk. Areta merentangkan tangannya, mengisyaratkan ia ingin menggendong anaknya. Prakoso yang mengetahui itu pun memindahkan anak tersebut ke gendongan Areta.

Selepasnya, Prakoso mengambil satu kotak ukuran sedang di bawah sofa dan memberikannya ke Areta.

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang