Part 7. Ilgop

17 7 1
                                    

Part 7. Ilgop
By: Puspa Kirana

Pagi sobat semuaaaaa 😍

Long wekeend gini enaknya jalan-jalan. Tapi kalau kondisi lagi begini kayanya gak memungkinkan.

Mending baca lanjutan cerita Areumdaun Duo yang ditulis sama partner ketcehpuspakirana55

Hari ini Dey yang akan bercerita. Yuk simaak

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Aku membanting pintu mobil begitu kendaraan yang kutumpangi berhenti di carport rumah dan segera meninggalkan Kak Fey yang sedang mematikan mesin mobil. Hasil pijitan Wina, pemijat favorit di AD, tidak bersisa. Tubuh kembali kaku dan dada bergolak. Bahu memberat dan kepala membara. Semua itu karena pertengkaran kami terjadi lagi di perjalanan pulang.

Namun, bagaimana bisa aku menahan emosi, Kak Fey terus-terusan menyudutkanku! Aku katanya tidak menghargai dia, tidak menganggap dia ada, sekarang berbeda (kalau yang ini bukan pertama kali Kak Fey mengatakannya) dan makin susah dikasih tahu! Semua hal yang berhubungan dengan keterlibatannya di AD diungkit-ungkit, mulai dari kekhasan salon, pelayanan prima para karyawan kepada pelanggan, hingga kesetiaan dan kekompakan karyawan. Katanya hal-hal itulah yang membuat AD laris dan bisa memberikan deviden yang lumayan selama dua tahun terakhir ini.

Lantas, usahaku selama ini untuk AD dianggap apa? Perjuanganku berdesakan di commuter line setiap hari kerja untuk mengejar lebih banyak waktu berada di salon, mempromosikan AD melalui berbagai media online maupun offline, aktif di beberapa komunitas bisnis walaupun hanya sebagai anggota, bertemu dan “merayu” para supplier agar mau memberi harga lebih ekonomis, berusaha tampil bagus dan meyakinkan saat wawancara maupun menjadi narasumber di berbagai seminar dan acara, serta berusaha menjadi yang terbaik saat ikut kompetisi bisnis. Semua itu juga kubayar dengan keringat dan waktuku. Aku sampai dijuluki “Miss Tenggo” di kantor jika tidak ada tugas lembur. Acara kantor di luar jam kerja? Ah, lupakan saja!

“Baru sampai, Dey? Enggak bareng Kak Fey?” suara lembut Mama menghentikan langkahku yang hampir sampai di ujung tangga.

Rupanya aku begitu larut dalam kekesalan hingga tidak menyadari keberadaan Mama dan Papa yang sedang duduk di sofa ruang tengah merangkap ruang makan ini. Aku mengarahkan langkah mendekati mereka.

“Iya, Ma. Bareng, kok.” Aku mencium tangan keduanya.

“Tapi udah pada makan malam, kan?”

“Udah, Ma.” Aku membalikkan badan seusai bersapa pendek itu karena mendengar langkah kaki mendekat. Pasti itu Kak Fey. Aku sedang tak ingin berdekatan dengannya saat ini. Jadi, kuputuskan segera melanjutkan niat tadi, naik ke lantai II dan mengurung diri di kamar.

Aku hanya melirik dan tersenyum tipis ketika Papa dengan nada menggoda mengatakan, “Lho kok buru-buru amat, Dey. Apa enggak kangen sama Papa? Tadi pagi kamu enggak sempat ketemu Papa, kan? Jangan-jangan Papa udah punya saingan yang lebih kamu kangenin, nih.”

Mana sempat aku memikirkan itu? Waktu 24 jam rasanya kurang dengan dua tempat kerja yang jaraknya berjauhan. Bahu ini makin berat membuatku memutuskan untuk langsung tidur saja. Tugas membuat desain spanduk dari Pak Ardi bisa kukerjakan sebelum subuh nanti setetlah badan dan pikiran lebih segar. Pasti lebih cepat dan bagus hasilnya.

Aku hampir sampai di depan kamar ketika mendengar Papa bertanya, “Dey kenapa, Fey? Mukanya ditekuk gitu. Kalian bertengkar?”

Entah apa jawaban Kak Fey karena aku sudah menutup pintu kamar sebelum mendengarnya.

* * *

Ketukan pelan di pintu berbarengan dengan panggilan Mama membuatku mengalihkan pandangan dari layar laptop. Perempuan dengan rambut mulai memutih itu mendekat membawa nampan. Aroma cappuccino ala-ala Mama dan sepiring pisang goreng berada di nampan tersebut.

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang