Part 2. Du

51 8 2
                                    

Part 2. Du
By Adelia Yulianti

Bismillah ....

Hallo Gaes, ketemu lagi nih sama cerita Areumdaun Duo. Cerita duetku bersama puspakirana55

Nah, ini lanjutan cerita dari part 1 kemarin. Makin greget banget antara Fey dan Dey. Gimana kelanjutannya. Yuk simaak kisah serunya 😍

Ini part 2 Pov Fey ya 😍
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

"Jadi, Kak Fey enggak setuju? Kenapa, sih? Waralaba itu bagus banget, Kak! Kata Pak Rinaldi...." Terlihat dahinya mengernyit.

"Dey, dengar ya! Kamu pikir gampang pantau orang lain jalankan bisnis kita? Belum lagi kalau jaraknya jauh. Kita enggak bisa percaya gitu aja sama orang lain. Kelihatannya baik-baik aja, ternyata salon kita di sana bobrok. Atau salon kita dibuat tempat enggak benar misalnya. Nama kita bisa jadi jelek! Apa yang sudah kita bangun tiga tahun ini bisa hancur! Kamu mau kayak gitu?"

"Ya, enggak maulah, Kak." Dey merengut. "Tapi Kakak dengar dulu penjelasanku, dong!" tatapannya terasa sinis.

"Enggak Dey! waralaba bukan untuk kita. Udahlah, enggak usah punya pikiran yang aneh-aneh kayak gitu! Kita kan sudah sampai di titik ini. Jangan sampai mundur lagi, Dey!"

"Dey enggak maksud bikin AD mundur. Justru biar salon kita makin maju, makin besar, Kak!" Terlihat Dey begitu meyakinkanku.

Beberapa detik, aku dan Dey diam sejenak. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdapat di atas dinding kantor AD.

Aku segera mengambil segelas air putih yang berada di atas meja berbahan kayu. Lalu menenggaknya perlahan. Tenggorokan ini rasanya kering sekali, karena harus berulang-ulang menjelaskan ketidaksetujuanku untuk mewaralabakan salon AD kepada Dey yang begitu kukuh.

"Kamu lihat 'kan? Selama tiga tahun belakangan ini, salon AD tidak pernah sepi pelanggan. Sudah banyak pelanggan tetap di salon AD. Bahkan sudah banyak pula media yang meliput! Jadi untuk apa lagi salon ini diwaralabakan? Setidaknya, banyak cara yang bisa dilakukan selain waralaba, Dey!"

"Dengan cara apa? Katanya enggak mau AD kayak gini terus!" Terdengar ucapan Dey dengan nada meninggi.

Aku mengernyit heran. Tak habis pikir dengan pola pemikirannya itu yang mudah percaya dengan orang lain. Apa dia tidak tahu bahwa mewaralabakan bisnis itu tidak mudah? Bagaimana jika nanti disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab? Taruhan reputasi dan tentunya nanti akan memiliki potensi konflik karena tidak bisa satu persatu terpantau. Kalau sudah begitu, hancur sudah nama AD yang sudah dibangun bertahun-tahun ini dengan kerja keras kami berdua.

"Kita kan bisa buka cabang sendiri. Gak perlu sampai melibatkan orang luar. Kalau kita buka cabang, 100% kita memiliki kebebasan dalam segala hal dan tentunya bisa terpantau oleh kita, Dey!"

"Dari mana uangnya, Kak? Buka cabang itu butuh dana enggak sedikit. Ngutang? Aku enggak mau! Dan kita kan udah sepakat enggak akan pernah ngutang!"

"Kan kita punya deviden. Sudah dua tahun lho kita dapat deviden. Kalau itu ditabung, lalu digabung dengan uang Kakak, kita akan bisa buka cabang lagi. Lha, uang kamu kemanain?" Suaraku meninggi.

"Itu kan Kakak! Dan bagianku lebih sedikit, Kak. Lagian aku kerja, perlu baju buat ngantor dan ongkos yang lumayan. Kakak cuma geser pantat doang dari rumah ke sini!"

"Sudahlah Dey! Kamu memang terlalu boros. Kamu kan bekerja sudah tahunan di sana. Bukan satu, dua bulan. Harusnya kamu bisa menabung dari penghasilanmu."

Aku masih bersandar pada dinding dekat meja kerjaku. Sedangkan Dey duduk di kursi meja kerjanya. Sorot matanya tajam. Gadis berambut lurus berwarna hitam di-highlight cokelat keemasan itu begitu menyiratkan ketegasan bahwa ingin mewaralabakan AD. Sedangkan aku betul-betul tak menyetujuinya.

"Kalau mau pakai sistem waralaba, kita enggak ...." Dey mencoba menjelaskan lagi.

"Cukup, Dey! Enggak usah bahas waralaba lagi. Kakak enggak setuju! Titik! Udah ah, Kakak mau cek kerjaan kapster!"

Aku segera meninggalkan Dey di ruang kerja kami. Walaupun kutahu, pembicaraan ini belum selesai. Namun,  aku tak mau terus-terusan berselisih dengan adikku itu. Kututup pintu ruang kerja AD tanpa menoleh lagi.

Aku berjalan menuju ruang perawatan dengan perasaan kesal dan sedikit menyesali karena intonasiku meninggi kepada Dey, adikku satu-satunya. Tetapi, kalau ingat lagi ia kukuh ingin mewaralabakan salon AD, aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Dey harus tahu. Ini demi kebaikannya juga.

Ketika sampai di ruang perawatan rambut, kulihat  tidak ada satu pun tempat duduk yang kosong. Wangi buah-buahan dan bunga menusuk indera penciumanku. Membuat perlahan kekesalan kepada Dey berkurang.
Salon AD memang didesain unik dan berbeda dari salon pada umumnya. Dinding dipenuhi dengan foto-foto wajah K-Pop seperti Exo, Stray Kids, Super Junior yang memanjakan mata penggemar K-Pop. Itu lah sebabnya beberapa media datang meliput.

Selain itu, fasilitasnya juga lengkap, daeinperawatan wajah, rambut, hingga tubuh. AD memiliki kapster yang ramah dan juga lucu membuat pelanggan nyaman berada di sini. Aku dan Dey selalu mengingatkan kepada para karyawan bahwa salon AD mengutamakan kepuasan pelanggan dimulai dari sapaan yang ramah. Apalagi salon AD mempunyai kapster seperti Joice, bencong primadona AD yang selalu dapat memecah suasana.

Semenjak mendirikan salon AD, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Setelah sebelumnya bekerja sebagai Akuntan di perusahaan kontraktor. Aku dipercaya menjadi akuntan ketika baru saja menyelesaikan Kuliah S1 Kuliah S1 kala itu pun ditanggung biayanya oleh Papa. Jadi, aku bisa lebih leluasa mengatur keuanganku sendiri. Beberapa persen dari penghasilanku, tak pernah luput untuk ditabung. Sampai akhirnya, hasil tabunganku cukup untuk membangun salon AD bersama Dey dan juga Papa.

Sejak bekerja dahulu, aku memang jarang sekali membeli baju. Aku lebih suka menabung dan memprioritaskan hal-hal yang lebih paling penting.
Walau tak bisa dipungkiri, kecintaan pada K-Pop membuatku selalu ingin ikut menonton konser dan membeli asesorisnya.

Aku mendatangi satu per satu kapster dan menyapa para pelanggan. Memastikan tidak ada masalah yang terjadi.

"Mbak Fey!" panggil Joice.

Aku menoleh. Kapster kemayu itu menghampiriku. Rasa-rasanya aku jauh lebih gagah ketika berjalan dibandingkan kapster primadona salon AD ini.
Tiba-tiba, ia terjatuh karena tersangkut kabel pengering rambut.

"Eh bencong, eh bencong." kata Bencong  bertubuh tinggi dengan bulu mata lentik itu.

Semua yang ada di ruang perawatan terbahak-bahak melihat tingkah Joice. Aku ikut tertawa dan menghampiri Joice yang sedang mengaduh.

"Lho, kok bencong latah bencong sih?"candaku sembari mengulurkan tangan membantu membangunkan Joice.

"Duh, pantat akika sakit nih, Cyiinn." Ia mulai berdiri walau masih mengaduh.

"Jangan manja deh, Joice!" ledekku.

"Ih, akika serius, Mbak Fey. Sakitnya tuh di sini." Sembari menunjukkan pantatnya yang besar itu.

Aku hanya tertawa dan menepuk dahiku sendiri melihat kelakuannya. "Oh, iya tadi kamu mau bilang apa?"

"Duh, apa ya? Kenapa akika jadi lupa begindang,"ucap Joice sambil menepuk-nepuk tangan ke dahinya.

"Oh, iya akika ingat! Gawat Mbak! Gawat!"

"Gawat kenapa? Kamu tenang dulu. Jangan panik!" Aku memegang pundaknya.

"Itu, i-itu!" ucapnya terbata-bata.

"Itu, itu apa?"

* * * *

Ih, cucok deh ada Joice si bencong salon yang latah. Menambah keseruan di salon. Btw, Joice bilang gawat? Kira-kira gawat kenapa ya??

Di simak kisah selanjutnya yaa🤩

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang