Part 10. Yeol

15 7 1
                                    

Part 10. Yeol
By Puspa Kirana

Selamat malam Sobat semuaaa😍😍Sesuai janjiku ini lanjutan part yaa masih ditulis sama partner setiakuuh Mbak puspakirana55

Yuukkk disimak kisah Dey bercerita🤩
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

"Hai, Dey!" Pak Ardi masuk sendirian. "Tugas luar?"

Aku tersenyum dan baru hendak menjawab ketika ia berkata lagi.

"Kamu pucat. Lagi enggak enak badan?"

Kebetulan, jadi aku tidak perlu capek-capek menjelaskan. Aku pun mengangguk.

"Jangan-jangan gara-gara revisi desain tadi malam, ya? Kenapa enggak bilang kalau lagi enggak enak badan?"

Nanti ada yang tambah mengamuk karena menganggap aku manja, Pak! Sepertinya Pak Ardi tidak enak hati. Terlihat dari tatapan dan nada suaranya.

"Enggak apa-apa kok, Pak. Saya masih bisa ngerjain."

"Kok masih tugas luar?"

"Enggak, Pak. Saya izin pulang."

"Berarti serius sakitnya?" Pandangannya menyelidik. "Pulang pakai apa?"

"Biasalah, KRL."

"Lagi sakit gini, naik KRL? Dari sini ke stasiun pakai apa?"

Aku merasa nada suara Pak Ardi berganti jadi khawatir.

"Saya baru mau pesan taksi online." Aku mengambil ponsel dari tote bag karena merasa diingatkan.

"Diantar aja sama sopir kantor, ya?”

"Eh, enggak usah, Pak. Udah biasa, kok." Walaupun sebenarnya aku mau, tetapi tidak enak hati. Apa kata karyawan lain kalau tahu? Tidak enak badan sedikit saja, diantar mobil kantor segala. Padahal terbayang nyamannya, aku bisa istirahat selama perjalanan.

"Yakin kamu bisa? Lemas kayak gitu."

"Bisa, Pak. Insyaallah."

"Oke. Tapi, kalau ada apa-apa di jalan, kabari saya, ya."

Lah, kenapa saya perlu kasih kabar ke Bapak segala? Saya masih punya keluarga, Pak. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya dan berusaha terlihat lebih ceria.

Tiga perempat jam kemudian, aku sudah berada di taksi online menuju rumah. Aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi begitu duduk di taksi. Badan terasa lebih berat dan kepala mulai berdenyut-denyut ringan. Tiba-tiba terdengar nada pesan masuk dari ponsel yang kugenggam sejak turun dari commuter line. Aku melirik layarnya berharap balasan dari Hara atas pesan yang kukirim beberapa saat lalu mengabari  aku izin pulang.

Lazuardi Dewandaru: Sudah sampai mana, Dey?

Aku mengembuskan napas. Ini bukan pesan Whatsapp pertama darinya. Sejak berpisah karena ia turun di lantai I, tiap seperempat jam sekali pesan itu masuk.

* * *

Mataku membulat menatap Papa dan napasku tertahan sejenak. Apa aku salah dengar? Atau sedang berhalusinasi karena kurang enak badan?

"Maksud Papa gimana?" Agak terbata-bata aku melontar tanya.

"Dey, Papa dan Mama tahu kamu pasti kecewa. Tapi ini buat kebaikanmu juga. Mengelola AD sambil kerja di tempat yang berjauhan bukan hal yang baik. Apa lagi dengan tugas-tugas dari tempat kerjamu yang makin banyak. Kamu sampai enggak punya waktu untuk Papa Mama. Dan terutama buat kesehatanmu," kata Papa tetap pelan dengan suara rendah.

"Tapi, selama ini Dey sehat-sehat aja, Pa. Dey bisa kok jaga diri. Tahu kapan harus melambat buat istirahat!" Intonasiku mulai naik. Dada memanas.

"Papa enggak mau kamu sakit dulu baru kita sadar kalau kamu kecapekan. Tuh, seperti sekarang. Kamu pucat, lemas, katanya meriang dan sakit kepala juga. Kalau dibiarkan aktivitas kamu sebanyak ini terus, bisa-bisa kamu sakitmu serius. Lebih baik dari sekarang kamu pilih salah satu saja untuk mencegah itu. Dan Papa pikir melepaskan AD lebih baik dibandingkan berhenti bekerja. Kamu jadi bisa fokus di tempat kerja dan pencapaian kariermu pasti lebih baik."

Lah, memang siapa yang boleh menentukan aku memilih atau tidak? Kalau seperti ini namanya memaksa bukan membiarkan aku memilih, Pa!

"Tapi Dey enggak mau keluar dari AD, Pa! AD lahir karena ide Dey! Dia anak buat Dey, Pa! Gimana coba rasanya kalau Papa disuruh ninggalin anak sendiri? Papa mau?!" Makin tinggi suaraku. Panas di dada mendesak naik ke kepala.

"Dey! Papa Mama sayang kalian, enggak ada yang dibedakan! Justru Papa melakukan ini karena ingin yang terbaik buat anak-anak Papa!"

"Terbaik buat siapa?! Buat Kak Fey iya kali, tapi buat Dey?! Namanya apa kalau seperti ini?! Bedain, kan?!" Aku sudah berteriak sekarang. Kepala tidak hanya panas tetapi juga mulai berdenyut-denyut. Papa benar-benar tidak adil! Bukti baru dan paling kuat bahwa Kak Fey kesayangan Papa!

"Dey! Jaga sopan santun kamu! Jangan pernah membentak orangtua!" Suara berat Papa meninggi. Kemudian dengan tegas ia melanjutkan, "Keputusan ini sudah final, tidak bisa diganggu gugat! Mulai bulan depan, Dey tidak terlibat lagi di AD. Dey! Kamu bantu Fey untuk mempersiapkan itu! Fey. Papa percaya kamu bisa menjalankan AD sendirian. Kamu pasti tahu apa yang perlu dilakukan."

Saat berkata kepada Kak Fey, suara Papa terdengar lebih lembut. Tuh kan! Bukti baru lagi! Membuat aku tak tahan berlama-lama lagi seruangan dengan mereka.

"Baik!" Aku berdiri. "Mulai besok Dey enggak akan pernah lagi injakkan kaki di AD! Silakan Kak Fey urus sendiri aja semua!"

Kakiku mengentak saat melangkah meninggalkan sofa di ruang tengah. Tidak kugubriskan Papa yang memanggilku untuk tetap tinggal, aku malah berusaha secepat mungkin naik ke lantai atas dan mengunci diri di kamar.

Badan yang terasa berat dan kepala berdenyut-denyut membuatku langsung membaringkan tubuh di ranjang begitu sampai di kamar. Dada bukan hanya panas tetapi juga terasa penuh. Aku menarik napas dalam untuk mengurangi sesaknya. Aku butuh mengeluarkan sebagian massa yang bertumpuk di sana.

Kuraih ponsel yang tergeletak tidak jauh dari badan dan membuka aplikasi Whatsapp. Nada sambung berhenti tepat beberapa denyutan berturut-turut terasa di kepala. Aku mendesis sebelum mengatakan, "Ra! Hara! Hallo, Ra!" Suaraku pelan, khawatir terdengar dari luar, tetapi jadi agak serak.

Belum terdengar apa-apa dari seberang. Mungkin sinyal di sana sedang kurang bersahabat. Sayangnya, aku sudah tak tahan. Tanpa menunggu jawaban dari Hara kukeluarkan semua kekesalan yang membuat dada sesak. Sesekali aku mendesis saat kepala berdenyut-denyut.

"Pokoknya gue enggak mau tahu lagi urusan AD! Biar aja mereka kelimpungan sendiri! Dikira gampang apa ngurusin pemasaran dan external relationship? Gue aja yang udah tahunan ngurusin itu masih suka keteteran!" Aku mengakhiri cerita panjang lebar dengan mendesis kemudian menarik napas dalam.

Sepi beberapa saat membuatku mengerutkan kening. Biasanya Hara langsung merespons entah membujukku untuk bersabar atau mengusulkan solusi. Jangan-jangan WA call-nya terputus. Aku hampir mengecek hal tersebut dengan memanggil Hara ketika terdengar suara dari seberang.

"Dey, kamu baik-baik saja, kan?"

Aku membelalak dan tubuhku mendadak kaku. Kujauhkan ponsel dari telinga untuk melihat layarnya. Nama Lazuardi Dewandaru beserta foto profilnya terpampang di sana.

* * *

Kok aku ikutan baper ya ketika Pak Ardi nanya apakah Dey baik-baik saja. Jangan-jangan ... Ah pokoknya tunggu kisah selanjutnya ya😍

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang