Part 34. Seoreun Net

18 5 0
                                    

Pagi sobat. Maafkan hari ini aku baru update cerita Dey yaa puspakirana55
Dey lagi kenapa ya? Kayanya banyak hal yang dipikirin. Apa Dey masih cemburu sama Kak Fey dan Ardi? Yaudah kita langsung simak yaa😉

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Part 34. Seoreun Net
By: Puspa Kirana

Nada suara pemberitahuan pesan masuk terdengar. Cepat kuambil ponsel di sebelah laptop. Beberapa pesan dari Hara menanyakan keberadaanku. Aku menarik napas panjang perlahan dan tertegun. Kenapa ada rasa ini?

Setelah peristiwa di restoran dua bulan lalu, aku tidak pernah mau menerima teleponnya.  Pesan Whatsapp hanya kubalas jika itu berhubungan dengan pekerjaan. Untung saja ia sedang sering ditugaskan ke Bandung sehingga tidak ada pertemuan fisik di antara kami. Setiap akhir minggu, saat ia kembali ke Jakarta, aku menginap di rumah Hara dan memantau Kireina dari sana. Sehingga aku bisa menghindari kehadirannya. Ini berlangsung selama dua minggu.

Aku ingat ketika pertama kali bertemu lagi dengannya di kantor. Saat itu aku sedang menyelesaikan satu pekerjaan rutin menjelang makan siang ketika ia datang dengan wajah terlihat agak kusut dan lelah tetapi tetap ramah menyapa kami, timnya. Mungkin ia kecapekan bertugas di Bandung selama sebulan. Ia makin sibuk keliling cabang di luar kota karena Bu Meutia naik jabatan dan posisi yang ditinggalkan masih belum ada penggantinya. Biasanya Bu Meutia yang keliling cabang di luar kota.

Walaupun sudah mempersiapkan diri, karena aku tahu akan bertemu dengannya di kantor, tetapi tetap khawatir ia tiba-tiba memanggilku ke ruangannya atau mengajakku makan siang. Padahal aku sama sekali tak ingin berdekatan dengannya. Masih terasa remasan di hati setiap mengingat peristiwa di restoran itu. Sampai-sampai sempat terpikirkan untuk mengundurkan diri dari kantor ini. Sayang, aku masih membutuhkan gajinya untuk membantu biaya operasional Kireina. Kalaupun mengundurkan diri, aku perlu mendapatkan pekerjaan lain dulu, agar bantuan untuk Kireina tidak terputus.

Konsentrasiku terganggu selama sisa waktu menuju istirahat makan siang. Aku jadi sering melirik ke arah pintu ruangannya dan layar ponsel. Aku menarik napas lega ketika apa yang kukhawatirkan tidak terjadi. Begitu waktu di laptop sampai di angka 12, aku langsung berdiri meninggalkan kubikel menuju ruangan Hana dan makan siang di salah satu warteg sekitar kantor. Sisa jam kantor hari itu kulalui lagi dengan harap-harap cemas dan kembali menarik napas lega. Kali ini diikuti dengan rasa heran.

Bagaimana tidak heran, sehari sebelumnya ia masih intens menghubungiku melalui WA call dan pesan-pesan Whatsapp. Namun, hari itu seolah semuanya berhenti begitu saja. Memang tidak semuanya. Ia tetap menghubungiku, tetapi hanya urusan pekerjaan melalui pesan Whatsapp. Ia juga tetap mengucapkan selamat istirahat pada malam hari dan selamat pagi pada keesokan hari.

Awalnya aku senang karena tidak perlu bersusah payah lagi menghindarinya. Namun, dua minggu lalu, saat ia makin sibuk dan kami, timnya untuk sementara diambil alih oleh Bu Trias, aku mulai merasakan itu. Rasa yang sekarang datang lagi karena membaca nama Aulia Maharani melakukan WA call.

“Lo di mana, sih Dey? WA gue enggak dibalas-balas.” Suara Hara terdengar kesal begitu aku menerima WA call-nya.

“Di kantor Kireina. Iya, sorry kelupaan.”

“Udah makan malam? Gue di jalan dekat situ, mau makan malam.” Suaranya kembali normal.

“Belum, sih. Tapi Gofood aja, deh. Belum beres, nih.”

“Ya, udah. Kalau gitu gue ke situ. Pesenin ya, Dey.” Hara menyebutkan makanan yang diinginkan.

Aku mengiyakan sebelum mengakhiri percakapan. Hari ini aku bisa pulang kantor tepat waktu karena Helen dan Siska membantu membuatkan laporan kunjungan cabang. Sejak sering kuberi bonus dan diskon setiap memesan Kireina, mereka lebih rajin membantuku.

Seperti biasa, sejak Kireina berkantor di ruko daerah Pasar Minggu, aku selalu menyempatkan diri mampir ke sana setiap pulang kantor jika tidak lembur. Dua karyawan baru, Fitra dan Lika, tidur di sana. Jadi, walaupun kantor sudah tutup dan Vinka sudah pulang, mereka tetap bisa menemaniku mengecek perkembangan Kireina pada hari bersangkutan. Setengah jam kemudian, aku dan Hara sudah berhadapan menyantap makan malam masing-masing.

“Dey, gue lihat barusan, perkembangan Kireina makin oke aja. Nambah terus resellernya.”

“Iya, gue juga enggak nyangka. Hari ini udah kehabisan stok dua produk lagi. Padahal yang kehabisan beberapa hari lalu belum datang stok barunya.” Hatiku yang tadi sempat agak mendung tiba-tiba lebih terang. “Happy problem, sih.”

“Maksud lo?” Kedua alis Hara hampir menyatu.

“Ya, daripada banyak stok tapi enggak ada yang beli. Itu namanya benar-benar problem.”

“Benar juga. Problem karena enggak ada stok dan bisa bikin pelanggan kecewa, tapi bikin happy karena artinya produk kita laris manis alias banyak yang suka.” Hara tertawa kecil.

“Jadi, gue lagi mikir mau kasih apa buat mereka sebagai compliment karena sering kehabisan stok.”

“Kasih diskon buat produk yang kurang laku.”

“Hmm … bisa juga, sih.” Tiba-tiba berkelebat di pikiran acara setahun lalu mengudang para pelanggan setia … nama yang tak ingin kusebut! Gathering bagi para pelanggan setianya sekitar setahun lalu. “Ra, kalau Kireina bikin acara gathering buat para reseller, gimana?”

“Wah, bagus tuh! Gue setuju.” Suara Hara terdengar bersemangat. “Terus kasih penghargaan buat tiga reseller atau pelanggan terbesar, Dey.”

“Iya, itu juga bagus! Setuju!” Mendung yang tadi masih tersisa di hati, menyingkir seluruhnya. “Makasih ya, Ra!”

Kami langsung membahas rencana mengundang para reseller itu. Begitu sudah jelas, aku segera mengirimkan rencana gathering itu kepada Vinka dan memintanya melakukan persiapan. Kami masih membahas gathering tersebut sambil bersiap-siap untuk pulang saat terdengar nada pemberitahuan pesan masuk. Aku agak terlonjak dan segera meraih ponsel. Aku menarik napas dalam ketika membaca pesan dari Helen. Ia mengingatkan agar aku tidak lupa membawa pesanannya besok ke kantor. Tidak sadar aku menatap layar ponsel untuk beberapa lama.

“Kenapa sih, Dey?’

Kembali aku menarik napas dalam. Bahkan sudah dua hari sapaan malam dan paginya tidak kuterima. Mungkin Kak Fey sudah menerima cintanya. Mungkin selama ini ia hanya menganggap aku calon adik iparnya. Jadi cukup sekian berbaik-baik padaku. Apa yang ia inginkan sudah didapat. Tidak hanya mendung yang sekarang hadir tetapi juga gerimis membuat hati ini basah.

“Dey, ada apa?”

Sepertinya aku perlu belajar memasang poker face. Pasti saat ini Hara dengan mudah tahu aku sedang gelisah. Aku mengalihkan pandangan kepada Hara. Perlukah aku menceritakan perasaan yang baru-baru ini mengganggu hati? Tapi, kalaupun aku tidak bercerita, Hara pasti akan terus bertanya-tanya selama aku belum bisa memasang poker face. Akhirnya aku menceritakan apa yang sedang kurasa.

“Udah gue duga.” Setelah beberapa lama kami terdiam seusai aku bercerita, Hara angkat bicara. “Dey, enggak perlu malu. Wajar kok lo jatuh cinta sama seseorang. Bahkan kalau orang itu enggak cinta sama lo atau nyuekin lo. Tapi setelah itu kita perlu nerima kalau hanya bertepuk sebelah tangan. Jadi, kita pasti mencari cara gimana supaya bisa menganggap dia biasa-biasa lagi.”

Apa aku bisa? Ia jadi kakak iparku dan pasti ada waktu-waktu tertentu yang aku sulit menghindar untuk bertemu. Ah, entahlah.

* * *

Hihi Dey sampai punya pemikiran kalau Ardi jadi kakak ipar Kak Fey🤣 Duh Dey🤭 kita simak kisah selanjutnya yaa😉

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang