Chapter 28.

595 72 2
                                    

Sepanjang lorong sekolahan, Minara dan Neera terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Di gerbang depan sudah dikepung geng Ramirez, masing-masing murid bersembunyi di kelas. Guru-guru masih ikat, bahkan Ayah Minara sendiri.

Minara melihat semuanya, Ayahnya bukan hanya diikat tetapi di siksa. Di pisahkan dari guru-guru lain.

"Ayah!" Histeris, tentu saja.

"Udah Min, keburu kita ketahuan!"

Benar saja, anggota geng Ramirez yang sedang mengepung ayahnya gini berganti menatap ke arah Minara.

Dengan sigap, Neera langsung menuntun Minara untuk tetap berlari.

"Woi Minara! El udah gue bunuh!" Saddam berteriak dari kejauhan.

"Jangan noleh ke belakang, Min." Minara mengangguk, menyetujui Neera.

Mereka berdua terus berlari mencari cara untuk keluar sekolah tanpa ketahuan. Mengendap-ngendap dari anggota geng Ramirez.

Sedangkan seseorang sedang tersenyum puas melihat Minara dari layar komputer. Saddam—laki-laki itu langsung merogoh ponselnya, menghubungi Minara.

Saddam
Kalau lo nggak nyerahin diri, Ayah lo bakal gue bunuh!

Setelah mengirim pesan ke Minara, Saddam langsung menyuruh semua anggotanya untuk kabur membawa Ayah Minara ke markas Ramirez.

Setelah Saddam kabur, polisi baru saja datang setelah dihubungi Minara. Warga-warga ikut berkerumunan, orang tua murid langsung berteriak histeris.

Namun nyatanya, tidak ada satupun murid yang meninggal. Mereka hanya luka-luka, tidak terkecuali orang yang dekat dengan Minara.

El dan Arkan langsung dibawa ke rumah sakit. Neera memilih untuk menyusul mereka. Minara sendiri hanya bisa duduk di luar sekolahannya yang kini bergaris kuning polisi.

"Ini terakhir kali Saddam menghubungi saya." Minara menyerahkan ponselnya kepada salah satu polisi.

Tidak lama kemudian, polisi tersebut langsung menghampirinya.

"Setelah dilacak, sepertinya pelaku sengaja meninggalkan ponselnya di sekolahan ini."

Mendengar jawaban tersebut membuat Minara mengacak rambutnya. Karena bagaimanapun, Ayahnya sama sekali tidak ada. Yang pasti, sedang dibawa Saddam.

"Ah! Saya ingat markas geng itu di mana, bisa antar kan saya pak?"

Di sepanjang perjalanan, Minara hanya bisa menatap jendela mobil. Meratapi nasibnya yang sungguh amat menyedihkan, hidupnya terlalu rumit.

Mengapa bukan ia saja yang mati?

Melihat ia masih bernafas dengan keadaan tubuh yang tidak terluka sedikitpun, membuatnya merasa tidak adil. Bukan kah ia yang berhubungan dengan Saddam? Mengapa semuanya jadi terlibat?

Namun, begitulah cara Saddam menghukum penghianat seperti dirinya.

"Sudah sampai, kamu bisa masuk duluan."

Minara langsung berlari mendengar tawa-tawa Saddam dan teman-temannya terdengar begitu keras. Benar saja, setelah membuka pintu dengan keras, Minara mendapati ayahnya sedang berbaring lemas dengan darah bercucuran di jantung.

"Kenapa elo hancurin semuanya, Saddam?! Lo bisa ngehancurin gue. Gue yang salah." Minara menangis, memeluk Ayahnya.

Saddam dan yang lain-lainnya langsung diborgol polisi.

"Gue cuman bunuh orang yang Lo benci, Lo benci Arkan udah gue bunuh juga."

"Lo juga ngelukain El!"

"Ah El, cowok cupu itu selalu nge halangin gue. Padahal gue mau bunuh Neera!"

"Cowok gila! Pak cepetan bawa Ayah saya ke rumah sakit!"

Minara langsung menghampiri Polisi yang sedang mengecek nadi Ayahnya.

"Maaf dek, tapi Ayah kamu sudah meninggal."

Mata Minara langsung melotot. "Nggak! Nggak mungkin! Makanya cepetan bawa Ayah saya ke rumah sakit!"

"Saudara Dimas Falendito sudah meninggal di tempat. Innalilahi wa innailaihi raji'un."

Mendengar itu semua, Saddam langsung tertawa puas. Minara lemas seketika, pandangannya mengabur sampai pandangannya terpejam.













Minara [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang