Chapter 29.

625 72 4
                                    

Satu-satunya orang yang dimiliki Minara, kini pergi meninggalkannya. Ayahnya—Dimas Falendito. Ayahnya yang rela merawatnya hingga sekarang, alih-alih ibunya.

Masih banyak harapan Minara, berharap Ayahnya berubah menjadi lebih baik. Walaupun ia akui, ia sama sekali bukan anak yang baik.

"Ini sama sekali tidak adil," lirih Minara yang sedang menangis memeluk erat nisan yang bertulisan nama ayahnya.

Tanpa ia sadari, payung hitam berhenti di atasnya. Kana dan Neera ikut berjongkok di sampingnya.

"Mengapa kalian kesini?"

"Gue baru aja ke makan Arkan," jawab Neera.

"Hah?"

"Arkan meninggal, Min."

Tangis Minara makin deras, ia langsung meminta Neera untuk mengajaknya ke makam Arkan yang terletak tidak jauh dari makam ayahnya.

Di makam Arkan sudah banyak anggota geng Altair berkumpul. Ketika melihat Minara datang, mereka langsung menatap sinis ke arahnya.

"Arkan nggak pernah cerita lo berhubungan dengan Ramirez."

"Jadi kalian bakal nyerang lagi?" tanya Minara.

Mereka semua menggeleng. "Nyerang kemana? Ke kantor polisi? Bajingan itu bakal membusuk di penjara!"

Selesai mendoakan Arkan, Minara langsung pulang. Tidak ingin lebih lama lagi di sana, karena sepertinya mereka sama sekali tidak menerima kehadirannya.

Neera dan ibunya sedari tadi mengikutinya dari belakang membuatnya jengah.

"Gue nggak nyangka kita saudaraan." Neera membuka suara.

Minara terkekeh sinis. "Lo dan gue sama sekali bukan saudara."

"Min, kamu bisa ikut Ibu mulai sekarang."

Minara membalikkan badannya ke belakang, menatap Ibunya. "Nggak akan! Mengapa Anda melakukan semuanya tapi tidak berani menanggung?"

"Karena saat itu saya masih kecil! Saya punya cita-cita untuk menjadi seorang aktris!"

Tanpa mendengarkan ucapan Ibunya lagi, Minara langsung berlari. Air matanya terus menerus membahasi pipi, di sepanjang jalan.

Sesampainya di depan SMA Aksara, tempat yang menjadi saksi bisu hancurnya.

Minara langsung berlari ke roof top, tidak peduli pada garis kuning, ia langsung menerobos.

Menumpahkan segala tangisannya di atas roof top, terduduk sambil mendongak ke atas langit yang mendung.

Setelah perasaanya sedikit lega, ia melangkahkan kakinya di ujung pembatas. Menatap ke bawah, reporter mulai berdatangan.

"Mengapa bukan gue saja hah yang mati?!"

Angin terus memberantakan rambutnya, ia menghirup nafas dengan dalam. Kemudian menaiki pembatas.

Sejujurnya Minara masih ragu, tapi sedari dulu ia sudah ingin melakukan ini.

"Min! Jangan gilakk!" Neera datang langsung memeluknya, membawanya menjauh ketengah-tengah roof top.

"Pergi! Tinggalin gue, Neera!"

"Tenangin diri lo! Gue tau lo cewek kuat, Min. Lo dari kecil udah gue bully, nggak ada tuh lo bunuh diri."

"Tap-"

Neera langsung mengeratkan pelukannya, Minara terdiam sejenak.

"Terima kasih, ini memang murni salah gue sama Saddam."

Neera melepaskan pelukan. "Tapi awalnya ini salah gue, kita sama-sama salah."

Minara menatap ke atas, langit bewarna jingga. Sebentar lagi matahari akan tenggelam.

"Gue bakal nebus kesalahan gue, ayo kita mulai hidup baru bersama mama." Neera menatap Minara dengan tatapan memohon.

Belum sempat Minara menjawab, ponselnya sedang bergetar. Dengan cepat ia mengangkatnya.

"Kami dari pihak rumah sakit mengabarkan bahwa pasien bernama Rafael Rajendra sudah siuman."

"Ok-oke, saya segera kesana!"

Minara menatap ponselnya tidak percaya, ia telah melupakan El karena masalah ini semua. El masih ada.

Harapannya untuk tetap di dunia sekarang, adalah El.

Minara langsung berlari, meninggalkan Neera yang kebingungan.

Sesampainya di rumah sakit, Minara mendapati El sedang terbaring lemah dengan alat-alat menopang hidupnya.

"Min-nara!"

Minara menghapus air matanya kasar, langsung memeluk El.


(Vote+comen jangan lupa)

Minara [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang