Chapter 09.

567 82 12
                                    

***

Hari semakin hari, sifat El berubah drastis semenjak berteman dengan Neera. Bahkan, El jarang memakai kacamatanya lagi. Entah apa yang dilakukan Neera membuat El luluh dengan segala perintahnya. El juga jarang membaca buku di perpustakaan, padahal setiap istirahat Minara selalu menunggunya di perpustakaan.

Dengan begitu, Minara pun menunggu El di koridor utama sekolah. Karena hanya ini satu-satunya cara tidak ada El yang selalu menggenggam tangan Neera. Seperti sepatu yang tidak dapat dipisahkan. Eh?

"Neera cuman manfaatin lo, Rafael!"

"Dia baik kok, Min." El sepertinya tidak ingin berbicara lebih lama dengan Minara, bersiap-siap melangkahkan kakinya.

"Lo itu bodoh El, langsung percaya dengan orang baru!" teriak Minara membuat langkah El terhenti.

El menoleh. "Lalu apa bedanya? kamu gak suka sama orang yang bahkan belum kamu kenal." El kembali melangkahkan kakinya menjauh dari Minara.

Minara menatap nanar punggung El yang kini sudah tak terlihat ketika belok menuju kelas.

Dia kesepian, bahkan bolehkah Minara jujur? Dia sedang rindu bercanda dengan El, makan bersama ketika istirahat. Hanya ada El dan juga Ziva. Memang Neera tidak melukainya, tetapi Neera mengambil semua yang ia punya. Sahabat dan juga ibunya.

Dengan hati yang gundah gulana, Minara memutuskan untuk bolos.

Berjalan kaki tak tentu arah dengan seragamnya dia tutupi dengan Hoodie yang sangat kebesaran. Sedangkan tas nya? Apa pernah Minara memakai tas? Bahkan buku pelajarannya semua ada di laci.

Hujan mengguyur ibu kota tanpa tanda-tanda sedikitpun, hari yang cerah mendadak kelabu. Refleks Minara menutupi kepalanya dengan hoodienya itu.

Sampai dia menemukan sebuah warteg, Minara pun berhenti dan memesan makanan karena sedari pagi tidak sarapan. Memang Minara pernah sarapan? Ohh tentu tidak pernah. Apalagi sarapan bersama orang tua berbagi cerita tak lupa mencium punggung tangan ketika ingin pergi sekolah.

Atau paling tidak, hujan-hujan begini duduk di teras bersama ayah ditemani teh hangat serta camilan. Hanya sederhana itu yang Minara inginkan, tetapi hanyalah harapan angan belaka.

"Selamat siang, permisa. Saya Tiara, akan mengupas tajam akar masalah yang sedang viral. Contohnya adalah video anak model yang sempat naik daun sebelum menikah itu, anak sambungnya dibully di sekolah barunya yang ada di Jakarta, nampak di video bahwa murid perempuan SMA yang wajahnya disensor sedang menabrak korban dengan sengaja." Suara seorang pembawa berita dari sebuah stasiun televisi yang membuat Minara menoleh ke arah suara tersebut.

Viral ya? Apa pernah waktu SMP Minara dibully dan masuk berita televisi? Dengan umur yang masih belia harus menerima siksaan itu. Padahal dia juga anak seorang model-model itu juga loh, kenyataannya anak yang tidak dianggap.

"Cuman gara-gara cowok balas dendam. Miris yah, anak jaman sekarang."

"Sok kecantikan ceweknya."

Komentar bapak-bapak yang sedang mengisap kopi itu sembari main catur. Minara tertawa dalam hati, terdiam kemudian melanjutkan acara makannya. Bersyukur wajah nya disensor, jika tidak mungkin dia tidak dibolehkan makan di sini.

Selesai menghabiskan makanan nya, Minara pun pulang ke rumah yang pasti akan ada sambutan tamparan keras dari pipinya. Menarik nafas dalam-dalam ketika memasuki rumahnya. Tetapi ketika memasuki, tak ada ayahnya, bahkan sudah Minara cari disepanjang rumahnya. Minara bersyukur, dia tidak usah menghadapi cercaan dan hinaan itu.

Minara [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang