Leslie mendesah pelan. Ia bisa merasakan tekanan di bagian bawah tubuhnya. Tentu saja itu terasa sangat sakit, tapi Leslie akan menahan semuanya. Leslie terus mengelus perutnya, berusaha berkomunikasi dengan anaknya yang tampaknya sudah tidak sabar ingin melihat dunia.
"Kenapa mereka tidak bisa mempercepat proses melahirkan?" keluh Lucius. Ia terus mengusap keringat yang mengalir dari dahi istrinya.
Leslie tertawa kecil. "Ada ibu yang bisa menahan sakit ini hingga tiga hari lamanya. Aku tidak sehebat mereka,"
Sudah beberapa jam Leslie berkutat dengan rasa sakit itu. Lucius tetap tidak meninggalkan istrinya itu. Leslie terus mendesah, menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Lucius menatap Leslie dengan tatapan sedih.
"Leslie, aku rasa satu anak saja sudah cukup," ucapnya.
Leslie mengernyit. "Tapi aku ingin memberikan L seorang adik,"
Lucius memegang kepalanya pusing. "L saja belum lahir, Leslie. Kau sudah memikirkan hal yang lain,"
"Aarin! Inilah alasan aku tidak mengizinkanmu menikah!" pekik Elyon.
"Ayah, tenanglah," ucap Leslie sambil mengatur napasnya.
Elyon menatap Lucius tajam. "Kau membuat anakku seperti ini!"
Lucius salah tingkah. "Tapi ayah, dia yang menetralkan obat itu sendiri,"
Leslie berteriak. Lucius dan Elyon langsung menoleh. Lucius segera memanggil bidan yang sudah siap siaga. Bidan itu mengecek pembukaan Leslie dan segera menyiapkan alat-alat untuk melahirkan.
Lucius mengenggam tangan Leslie. "Aku tahu kau bisa melakukan ini, Leslie. Kau adalah wanita yang sangat hebat,"
Elyon diam-diam terus mengalirkan kekuatan sucinya pada Leslie. Leslie menatap langit-langit dan terus mengikuti arahan sang bidan. Setelah beberapa jam perjuangan, bayi yang masih belum memiliki nama itu lahir. Leslie langsung memberikan satu-satunya makanan yang bisa dimakan bayi itu.
"Lucius, kita belum memberikannya nama, bukan?"
*
Lucius menatap bayi yang memiliki rambut perak sepertinya dan mata berwarna biru seperti Leslie. Bayi itu perempuan, dan Lucius bisa merasakan darahnya yang mendidih ketika membayangkan ada laki-laki yang mendekati anaknya itu.
"Aku rasa aku sudah menemukan nama yang pas untuknya," ucap Lucius.
"Oh ya? Siapa?" tanya Leslie.
Lucius memegang pipi tembam anaknya. "Leticia, Leticia Sullivan. Leticia berarti kebahagiaan, dan aku rasa tidak banyak orang yang memakai nama itu di sini,"
"Leticia ya? Bagus juga. Baiklah, kita akan memanggilnya Leticia mulai saat ini," sahut Leslie.
Leslie memegang telinga anaknya yang panjang. Leticia memang terlahir sebagai elf, dan kabar itu sudah tersebar di seluruh kerajaan Shidor. Leslie tertawa kecil ketika melihat Leticia yang menguap.
"Rasanya aku bisa berada di sini seharian hanya untuk melihat Leticia,"
Lucius mengangguk. "Aku tidak mengizinkanmu membantuku mengerjakan tugas, Leslie. Setelah Leticia berumur satu tahun aku akan mengizinkanmu kembali,"
"Baiklah. Ah, Leticia cantik sekali. Mama yakin ada banyak laki-laki yang akan mendekati Leticia nanti," Leslie mengecup dahi Leticia.
Lucius mengernyit. "Tidak boleh! Hanya aku satu-satunya laki-laki yang boleh mendekati Leticia. Aku akan bertindak tegas apa bila ada laki-laki yang mencoba mendekati Leticia,"
"Leticia masih berumur dua minggu, Lucius! Belum ada laki-laki yang tertarik padanya jika ia masih bayi!" pekik Leslie frustasi.
Ya, karena memiliki orang tua yang tidak kreatif, Leticia baru memiliki nama setelah dua minggu ia lahir. Itu pun Lucius sudah begadang pada malam hari hanya untuk mencari nama yang pas untuk Leticia.
Leticia yang terganggu mendengar kedua orang tuanya berbicara membuka matanya. Ia melihat Lucius dan Leslie dengan tatapan polos. Lucius langsung membawa tubuh Leticia ke dalam pelukannya.
"Leticia jangan cepat besar, oke? Nanti ada banyak laki-laki yang mendekati Leticia. Apalagi Leticia satu-satunya elf yang ada di tahun ini," ucap Lucius.
"Lucius, kau berpikir terlalu jauh. Lebih baik kau bersihkan popok Leticia," usir Leslie.
"Tuan, Nyonya, Marquis dan Marchioness Cawley sudah datang,"
Lucius mengangguk. "Siapkan makanan untuk mereka,"
"Ah, ayo kita pergi," Leslie membawa Leticia dan berjalan ke ruang pertemuan. Lucius mengikuti Leslie dari belakang.
"Hai, Lucius! Leslie!" sapa Arrie.
Leslie duduk di samping Arrie dan tersenyum. "Hai Arrie!"
Arrie menatap Leticia dengan tatapan takjub. "Wah, baru pertama kali aku melihat elf! Apakah kalian sudah memberinya nama?"
"Leticia Sullivan," jawab Lucius.
Zander, anak Arrie dan Felix, melihat Leticia dengan tatapan ragu. Leslie yang melihat anak itu menarik bahunya. "Zander tidak usah takut, Leticia tidak akan menggigitmu," tawanya.
Dengan tangan kecilnya, Zander memegang tangan Leticia. "Leticia cantik sekali,"
Tawa Leslie dan Arrie pecah mendengar pujian Zander. "Zander, Leticia itu masih kecil. Bagaimana bisa kamu bisa menilai bahwa Leticia cantik?" tanya Arrie.
"Tidak tahu, Leticia hanya terlihat cantik," tukas Zander.
"Lucius, tampaknya kita akan menjadi besan suatu hari nanti," celetuk Felix.
Lucius mendengus. "Aku tidak mau! Siapa juga yang mau menjadi besanmu?"
Mata Leticia terbuka dan menatap Zander. Anak laki-laki berusia dua tahun itu terhipnotis ketika melihat tatapan itu. Mata Leticia yang sama persis dengan mata Leslie terlihat menenangkan.
"Ayah, apakah aku boleh menikah dengan Leticia suatu hari nanti?" tanya Zander.
Lucius mendelik mendengar itu. "Tidak bo-"
Felix lantas menutup mulut Lucius. "Felix, kau masih sangat kecil. Butuh belasan tahun lagi agar kau bisa menikah dengan Leticia. Kau juga harus menjadi lebih kuat untuk menjaga Leticia karena Leticia adalah seorang elf. Apakah kau sanggup?"
"Aku sanggup, ayah."
Leslie dan Arrie tertawa sedangkan Lucius memandang Zander dengan tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucius's Poison [END]
Fantasy[Sudah terbit dengan alur cerita yang berbeda] 'Ada yang aneh,' Leslie membuka matanya yang terasa berat. Ia terus mengedipkan matanya hingga akhirnya ia tersadar sepenuhnya. Leslie menoleh dengan panik, ia menyadari bahwa dia sedang berada di sebua...