Part 38

1.2K 153 10
                                    

*** 

Elina sedikit gelisah melihat iparnya yang beberapa kali memijit keningnya dengan mata tertutup, menghela nafas ia kembali akan mengajukan pertanyaan yang sama seperti 15 menit yang lalu. "Mba beneran baik-baik aja? Kita pulang aja ya, tugasnya bisa dikerjain kapan-kapan" lalu lagi-lagi ia kembali menghela nafas pasrah saat ajakannya mendapatkan gelengan pertanda ketidaksetujuan.

"Aku kemarin telat makan Lin, mungkin ini efek maag aja" Prilly membuka matanya setelah tangannya tak lagi memijit keningnya. "Aku mau ini cepat kelar"

"Ya tapi kalau sampai kesehatan mbak drop kan enggak bagus juga mbak," kembali Elina melanjutkan "pokoknya kalau pusing lagi aku telfon mas Ali"

Prilly mengangguk lalu sesaat kemudian ia bangkit berdiri. "Mbak ke toilet dulu" lalu kemudian ia bangkit menuju tempat yang telah disebutkan.

Melihat suasana toilet yang sepi membuat Prilly dengan leluasa mengeluarkan sesuatu yang menganggu dadanya sejak tadi, 3 kali ia berusaha mengeluarkan segala yang ada di perut lewat mulutnya. Setelah dirasa sedikit lega, ia kemudian mengkumur mulutnya menggunakan air lalu mengoleskan sedikit minyak angin ke kening dan leher. Prilly yakin setelah ini ia akan merasa lebih baik dari sebelumnya.

Selesai merapikan penampilan ia mulai beranjak keluar dan berjalan menghampiri Elina yang sedang fokus pada laptop di atas meja.

"Ganteng kan boss gue?"

"Ya, tapi kan udah punya istri"

"Seharusnya tuh dia sama gue, di kampung kan cewek paling cantik itu gue"

Sedikit jelas Prilly mendengar percakapan antara kedua teman yang tak ia ketahui siapa, menggeleng pelan ia hendak melanjutkan langkahnya namun isi percakapan mereka selanjutnya menahan langkahnya.

"Oh pasti kayak di sinetron nih, lu berdua pacaran terus dia merantau lalu tiba-tiba pulang bawa cewek lain, ya kan?"

Gadis yang ditanya ini mengangguk meski tak dilihat oleh Prilly. "Tapi gue yakin pernikahan mereka enggak akan tahan lama soalnya yang gue lihat istrinya tuh lebih dominan"

"Mana sih muka istrinya pengen lihat gue"

"Nih"

"Lah itu kan Aprillia Rudinson, anaknya pak Budiman yang saudaranya baru nikah sama om-om tajir itu loh"

Mata Prilly membulat mendengar namanya disebut, sudah jelas itu dia. Berarti sedari tadi ia sedang mendengarkan orang lain membicarakan tentang rumah tangannya. Tanpa ragu Prilly memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri meja yang sangat diyakini sebagai tempat dari pemilik suara kedua orang itu.

"Aprillia Rudinson di sini"

Kedua perempuan itu menoleh dengan ekspresi kaget mereka, tentu tak disangka mereka akan bertemu dengan orang yang bersangkutan di saat mereka sedang membicarakan tentang orang itu.

"A...Aprillia" sang lawan bicara perempuan tadi tersenyum kikuk dan menatap gelisah ke temannya.

"Ferra?" Prilly sedikit tak menyangka saat satu lagi perempuan yang terlibat obrolan itu berbalik menatapnya, merasa gemas akan situasi ini ia melipat kedua tangannya ke dada. "Jadi lo ngomongin gue gini di belakang? Gue biarin lo kerja di tempat Ali bukan berarti lo bisa ngelunjak gini!"

"Mbak_"

"Diam lo! Mau ngelak? Lo siap-siap aja buat lamar kerja di tempat lain"

"Mbak tunggu mbak" Ferra bangkit dan menahan pergelangan tangan Prilly, menatap istri boss-nya itu dengan tatapan memohon. "Please mbak jangan kayak gini, duduk dulu ya"

Dengan kasar Prilly menepis tangan Ferra yang menahan langkahnya. "Lo kira lo siapa? Gue enggak sudi berbincang-bincang sama lo"

"Mbak mbak mbak kenapa?" Dengan tergesa Elina menghampiri meja yang kini menjadi pusat perhatian seluruh manusia di café ini. "Ada apa mbak?" Mendekat ke arah Prilly, ia mengelus kecil lengang iparnya itu.

"Perempuan enggak tahu malu ini, udah dikasih tempat kerja tapi malah ngomongin orang di belakang" jawab Prilly dengan tegas sambil tetap menatap tajam ke arah Ferra yang tentu saja membuat perempuan itu menundukkan wajahnya dengan sejuta rasa malu.

"Ya udah mbak, mbak udah marahain dia kan ayo mbak" bukan bermaksud membela Ferra, hanya saja Elina merasa tidak ennak menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung dan pekerja di café ini, untuk itu dengan pelan ia membawa Prilly ke meja mereka. Mengemasi barang-barang dan segera pergi setelah membayar pesanan mereka.

***

Ali menghela nafas menatap perempuan di depannya yang duduk santai bagai tak terkena masalah sedikit pun, sedangkan satu perempuan lainnya juga duduk diam hanya menatapnya.

"Kamu yakin enggak salah dengar non?" Ali menahan nafas, tersadar kalau baru saja ia mengajukan pertanyaan yang memancing amarah istrinya.

Dan sang istri menatapnya dengan tatapan menusuk. "Kamu kira aku budek pak? Kalau dia enggak ngomong gitu kenapa dia diam aja waktu aku marah-marah? Kamu lagi enggak berusaha belain dia kan?"

Helaan nafas kecil dilakukan Ali, lantas berdiri dari single sofa yang tadi didudukinya. "Non istriku," kemudian ia mengambil tempat duduk di sebelah Prilly "jangan berpikiran negatif ya, aku percaya sama kamu"

Elina yang merasa situasi akan berubah menjadi moment romantis suami-istri segera beranjak keluar ruangan, tak ennak jika harus terus berada di tengah kemesraan kedua kakaknya.

"Jangan tanya kayak tadi, kamu seakan meragukan cerita aku gitu loh"

Ali mengangguk. "Ya, aku minta maaf ya non"

Mengalihkan pandangannya pada Ali, Prilly mengukir senyum tipis dan langsung melumat bibir suaminya itu.
Untung saja Elina sudah keluar.

***

Tepat pukul setengah tujuh pagi kedua kelopak mata Ali terbuka sempurna, meraba sampingnya dahinya menyerit kala tak mendapati sang istri. Bangung dengan sempurna ia segera menuju kamar mandi yang pintunya tertutup rapat, meski pintu kamar pembersih diri itu memang selalu tertutup ketika tak ada orang namun ia yakin istrinya sedang berada di dalam.

'Klek'

"Argh" sang istri terlihat kesal sambil memegang sebuah benda kecil di tangan kanan.

"Udah dong non, masa pagi-pagi udah bad mood" tangan kanannya terangkat terlebih dahulu membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan, lalu disusul tangan kanan yang ikut membungkus tubuh mungil itu.

Menghela nafas, Prilly mengangkat benda kecil itu lalu menunjukkannya sekilas pada Ali. Kemudian dengan gerakan malas ia membuang benda panjang itu ke tempat sampah yang terdapat di dalam kamar mandi.

Kulit dahi Ali terlipat, lalu dia menatap bergantian antara Prilly dan tempat sampah tersebut. "Kamu kenapa buang Test pack-nya non?"

"Ya terus harus aku apain? Negatif mulu"

"Masa sih?" Tanya Ali dengan mimik wajah tak yakin, lalu melepas pelukannya dan kembali mengambil benda yang tadi dibuang istrinya dari tempat sampah. Melihat pada benda itu ia menatap Prilly dengan sedikit kebingungan. "Ini 2 garis loh, negatif?"

"Ha?" Prilly membeo, diambilnya dengan cepat benda kecil yang dipegang Ali. Ia melongo lalu menatap suaminya sambil mengedipkan mata 2 kali. "Ini beneran enggak sih?"

Menggeleng kecil, Ali kembali memeluk istrinya dan berkata. "Yuk siap-siap kita ke rumah sakit"

To be Continued

Hallo, CMK up lagi gaesss...
Jangan lupa klik gambar bintang di pojok kiri ya 😀😀

Dili, 01 Desember 2020

CINTA MEMILIH KITA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang