Pagi masih terlalu awal, bahkan mentari belum terlihat mengintip di ufuknya. Masih pukul setengah enam, masih terlalu dini untuk memulai hariku yang mungkin akan begitu panjang--seperti biasanya.
Aku tak tahu apakah naluri 'kepedulian' yang membawaku kemari.
Atau hanya sekedar rasa kasihan yang akhirnya membuatku terduduk di ruangan ini.
Jelasnya keberadaanku disini sekarang terjadi tanpa paksaan dan tanpa suruhan siapapun.
Kutatap lelaki yang kini terbaring tanpa daya di atas tempat tidur di hadapanku. Dimana satu-satunya tanda bahwa ia masih bernyawa hanyalah mesin Elektrokardiogaf yang menunjukkan bahwa jantungnya tetap berdetak.
Kalau ditanya apakah aku membencinya? Maka jawabanku adalah aku berusaha agar tak membencinya.
Karena jika aku membencinya, maka harusnya aku tak berada di sini. Jika aku membencinya, maka aku tak akan membiarkan rasa peduliku sebagai seorang manusia tetap ada untuknya.
Aku hanya marah atas perbuatannya, dengan sikapnya, dan dengan caranya menghancurkan hidup orang lain.
Dia. Park Jimin.
Aku pernah mendengar bahwa seseorang di masa sekarang adalah hasil dari bagaimana ia berproses di masa lalu.
Tapi aku tak pernah tahu jika masa lalu dapat mengubah seseorang menjadi sosok yang jauh lebih mengerikan dari monster.
Aku tahu bahwa rasa sakit yang disebabkan oleh keluarga itu jauh lebih sulit untuk diatasi. Aku pun pernah mengalaminya.Aku pernah merasa hancur saat pertama kali mengetahui bahwa aku bukanlah anak kandung dari kedua orang tuaku.
Rasanya seperti kau tengah dikhianati oleh dunia, oleh takdir.
Namun menjadi jahat karenanya tentunya bukan hal yang dapat dibenarkan dan dipahami. Menjadi kejam karena kau dikejami oleh dunia bukanlah jalan untuk membalaskan rasa sakit hati. Balas dendam tak akan mengubah segalanya.
"Ia kehilangan banyak darah, namun masa kritisnya sudah lewat. Sisa melihat perkembangannya saja."
Aku mengangguk mendengar ucapan dokter wanita yang ditunjuk secara khusus oleh pihak Kepolisian untuk merawat Jimin.
"Apa ayah Jimin sudah datang kemari?" tanyaku kemudian.
Dokter wanita dengan name tag bertuliskan Park Ji Yoon di jas dokternya itu menggeleng pelan. "Selain polisi dan pengacara Jo, kau adalah orang pertama yang menjenguknya."
Aku menghela napas samar sebelum akhirnya aku beranjak dari kursi yang kududuki.
Kuhampiri Jimin yang mungkin saja tak akan menyadari keberadaanku disini. Pun aku tak berharap ia tahu bahwa aku masih bersedia menjenguknya.
"Bangunlah, Jim," ucapku lirih.
Lalu aku berbisik pelan di telinganya. "Hiduplah, meski hanya untuk membayar kesalahanmu."
Aku memejamkan mata sejenak, kembali menarik oksigen untuk menguatkan diri. "Jangan buat pengorbanan Hana untukmu sia-sia."
Lantas kuletakkan buku diary Hana beserta surat yang Hana tulis untukku di atas meja nakas di sebelah tempat tidur Jimin.
"Kini aku tak akan menyembunyikannya lagi darimu," ucapku seraya mengulas senyum simpul.
Aku berusaha menguatkan keikhlasanku untuk melepas setengah dari rasa sakitku karena kehilangan yang kurasakan. Untuk mulai memaafkan, meski tak dapat kulakukan sepenuhnya.
"Lekas sembuh, Park Jimin," tukasku sebelum akhirnya beranjak keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang kini terasa sedikit lebih lega.
Saat akan menemui Jimin tempo hari, aku tahu ia pasti akan mencari apa yang Hana sembunyikan di buku diary-nya. Namun tak kuberikan karena surat Hana bagiku sangatlah berharga--dan aku tak ingin itu hancur sia-sia di tangan Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason (30 Days Project)
Adventure30 hari menjelang hari kelulusan, Jo Eun Mi harus mengakhiri hubungannya dengan si keras kepala Jeon Jungkook. Sayangnya mengakhiri hubungan palsu mereka ternyata tak semudah mematahkan sebatang lidi. Namun tak disangka putusnya ia dengan Jungkook j...