After that Day (Eun Mi)

517 99 75
                                    

"This rainy day won't seems to past."

Wanita berusia 27 tahun itu menghela napas usai bergumam seorang diri. Dari balik kaca jendela megah hotel yang ditempatinya, kini iris jelaganya tengah memandang keluar. Memandang pada air langit yang seakan tengah berlomba-lomba mencapai permukaan tanah lebih dulu.

Pagi yang tenang. Batinnya.

Sembari menyesap teh hangat dari cangkir yang digenggamnya, ia membiarkan senyumnya terulas dari bibir mungilnya.

Seoul telah banyak berubah.

Begitu pula dengan dirinya.

Mungkin, satu-satunya yang tak berubah darinya hanyalah ingatannya tentang segala kisah di kota besar ini.

Ingatannya tentang hari itu yang masih begitu mengakar kuat.

Ingatan tentang hari dimana ia meninggalkan Seoul.

Hari dimana ia sadar bahwa segala keegoisan yang tertanam dalam dirinya pada akhirnya membawa rasa bersalah yang tak kunjung reda. Bahkan hingga saat ini.

Tiap kali mengingat sosok itu, rasa bersalahnya kembali bangkit. Kembali menghantui.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Namun bayang-bayang tentang segala kenangan di masa lalunya seakan baru terjadi kemarin.

Mungkin benar kata ayahnya. Bahwa ratusan tahun yang telah berlalu tak berarti apa-apa jika kau masih berpijak pada masa lalumu.

Sepuluh tahun telah usai dan ia seakan masih berada di masa itu. Seolah baru kemarin ia menangis karena kehilangan sosok sahabat yang paling disayanginya. Seakan baru kemarin pula ia terjatuh karena cinta pertamanya yang kandas tanpa kejelasan.

Menyakitkan tapi semuanya membuatnya rindu.

Terlebih pada masa-masa SMA-nya.

Wanita itu menghembuskan napas pelan. Jemarinya kini bergerak pelan menyentuh kaca jendela dengan perasaan yang terasa seabu-abu langit di atas sana.

"Bagaimana kabarmu?" lirihnya.

Entah dalam sepuluh tahun terakhir berapa kali ia mengucapkan kalimat itu.

Mengucapkan kalimat untuk sosok yang tak pernah lagi terdengar kabarnya, pun tak pernah membalas satupun pesan yang ia kirimkan. Terlebih menjawab panggilan-panggilan teleponnya.

Sosok yang dulu berhasil mengajarkannya banyak hal. Terlebih tentang arti sebuah pengorbanan.

Ia tak berharap banyak. Namun dalam setiap doanya, rapalan akan permintaan agar mereka kembali dipertemukan nyaris selalu terucap dari bibirnya.

Ia rindu. Teramat rindu hingga rasa ini seakan telah menyatu dengan dirinya. Sepuluh tahun ia hidup bersama rasa kehilangan yang seolah tiada obatnya.

Getaran ponsel di dalam saku kemeja wanita itu akhirnya membuyarkan secuil nostalgianya.

Ia kemudian meletakkan cangkirnya di atas meja nakas lantas mendudukkan tubuhnya di sofa. Kedua kaki jenjangnya kini saling menyilang santai.

"Halo, Bu," jawabnya dengan suara yang hangat.

Tampak mendengarkan sejenak, ia kemudian berujar, "Siang ini aku akan ke rumah sakit dulu. Nanti malam aku baru bisa pulang ke rumah."

Tak lama ia lantas tertawa kecil. "Sekarang anak Ibu dan Ayah bertambah satu loh. Semoga saja kalian tidak pusing."

"Baik Bu, Dah. Sampai jumpa di rumah."

The Reason (30 Days Project) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang