Makan

679 129 10
                                    

Kedua cowok berdarah AB itu saling bertatapan, menunggu salah satu dari mereka untuk menyerah. Ya, Junda dan Nana sedang bermain tahan kedip berdua di ruang tengah demi memperebutkan remote TV. Hingga satu menit berjalan belum ada juga yang menyerah, hingga akhirnya Jiran datang kemudian mengganti channel TV dengan kartun kesukaannya, We Bare Bears membuat Junda dan Nana menatap kearahnya dengan mata kemerahan dan berair.

"Kenapa pada liatin gue? Gue ada salah?" Tanya Jiran santai, masih sibuk memerhatikan TV dengan mata sipitnya.

Nana akhirnya menangis karena rasa pedih yang menyerang matanya setelah semenit tidak berkedip. Jiran langsung menoleh dengan wajah merasa bersalah, setelah itu disusul Junda yang juga mengeluarkan airmata.

"Eh? Pada kenapa nih? Gue salah ya?" Jiran bertanya sambil mengapit kedua laki-laki itu dengan posisi ia berada di tengah.

"Pedih Ji..." Keluh Junda sambil sesekali menyedot ingusnya yang siap tumpah kapan saja di bahu Jiran.

"Maaf ya Bang, gue ga tau kalo lo langsung melankolis tiap liat We Bare Bears.."

Belum sempat Junda menjelaskan kesalah pahaman Jiran, suara lain kemudian menginterupsi.

"Lo apain nih, Ji?"

Jiran menoleh, mendapati Luke sedang menatapnya penuh tanya. Jiran kemudian sadar, dalam beberapa detik lagi ia akan berada dalam masalah.

"WEY GAIS!!!!! JIRAN NANGISIN NANA SAMA BANG JUNDA NIH!!"

Sudah Jiran duga.

•••

Kun melangkah malas menuju parkiran. Setelah siang tadi menyaksikan Jiran di sidang besar-besaran di ruang tengah, ia ternyata mendapat telepon dari atasannya di kantor terkait pekerjaan. Harusnya hari ini libur, tapi mau protes pun Kun tidak bisa karena sudah menjadi tugasnya untuk selalu patuh pada atasan.

"Bang Kun mau kemana?" Suara pagar ditutup terdengar, tak lama setelahnya muncul Hendri dengan setelan ngampus nya.

"Kantor."

"Bukannya libur?"

"Ga tau nih, tiba-tiba di telpon tadi." Kun mengedikkan bahu, kemudian mengeluarkan motornya. "Lo darimana? Pacaran?"

"Sembarangan." Hendri melotot. "Habis latihan drama tadi di kampus."

"Gimana sama Nini?"

"G-gimana apanya.."

"Hubungan lo sama Nini udah sampe mana?"

"Ga maju, ga mundur. Jalan di tempat deh kayanya."

"Oh.." Kun mengangguk. "Good luck kalo gitu."

Setelah mengatakan beberapa patah kata, Kun akhirnya melajukan motornya meninggalkan Hendri yang termenung menatap kepergiannya. Bukan, Hendri bukan sedang terharu atau apapun itu. Cowok berhidung mancung itu hanya kesal karena Kun tidak menutup kembali pagar kosan. Hendri akhirnya menutup pagar kemudian berjalan menuju kamarnya.

Dari ekspresi yang Kun tunjukkan tadi, nampaknya ia tengah lelah bercampur kesal pada atasannya. Hendri saja dapat langsung membaca ekspresi itu dengan mudah. Seolah-olah di jidat Kun terdapat tulisan 'I'm so done with this life.'

Baru saja ia hendak memutar kunci kamarnya, telinga Hendri tiba-tiba saja menangkap bunyi yang agak asing. Ia diam sebentar, lantas mengikuti kemana suara asing tersebut membawanya. Dan alangkah terkejutnya Hendri saat ia mendapati pohon cabai hasil kawin silang milik Jehan telah terkapar dalam posisi tanahnya yang tersebar ke segala arah, belum lagi jemuran milik Tedi yang sudah tak lagi pada posisinya. Ia kemudian melirik ke sudut loteng, ternyata benar dugaannya si Jago tengah bertengger disana.

BUJANG 23✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang