Mahen melangkah ke dapur dengan gontai karena tuntutan dari perutnya yang sudah meronta sejak dini hari, bagaimana tidak cowok itu begadang untuk mengerjakan tugas tanpa menyentuh makan malam sedikitpun. Dan sekarang disinilah ia, menatap kulkasㅡyang berisi banyak bahan makanan, karena kemarin para bujang iuran untuk belanja bulananㅡdengan nanar. Mahen tidak bisa memasak dan semua bujang tau akan hal itu. Bahkan berulang kali Daffaㅡsang guru kunci dapurㅡmemperingatkan para bujang untuk tidak membiarkan Mahen memasak di dapur seorang diri, bahaya katanya. Sekarang cowok berambut hitam itu memikirkan bagaimana caranya ia dapat makan tanpa menyentuh kompor dan alat dapur lainnya tanpa meminta tolong dari bujang yang lain? Ini masih sangat pagiㅡmalah dini hari karena jam menunjukkan pukul 3ㅡuntuk para bujang bangun dari tidur, terlebih lagi hari ini libur karena tanggal merah.
"Ngapain lo?"
Suara tadi membuat Mahen berbalik untuk menatap sumber suara, rupanya Jiran. Sudah biasa bagi cowok setinggi 180 cm itu untuk memanggil Mahen tanpa embel-embel 'Bang' katanya lebih enak kalau langsung memanggil nama.
"Laper."
"Gue tanya ngapain, bukan kenapa.."
Jiran berjalan, menggeser Mahen dari depan kulkas kemudian mengambil sekotak susu ultramimi coklat lantas duduk di kursi meja makan.
"Jangan buka kulkas lama-lama, ntar ga dingin." Katanya.
"Kata siapa?"
"Bang Daffa."
Mahen langsung menutup kulkas, kemudian duduk di hadapan Jiran yang tengah bertaruh nyawa menyedot tetesan susu coklat terakhirnya hingga berbunyi 'sroot sroot' karena sedotannya ia paksa untuk meraih susu yang tertinggal.
"Mau gue masakin mi?" Tanya Jiran akhirnya, tidak tega juga ia lama-lama melihat wajah Mahen yang sedang kelaparan seperti sekarang ini.
Mahen mengangguk antusias. "Mau banget, sekalian ajarin gue masak juga ya.."
"Ntar gue di marahin Bang Daffa, gimana?"
"Engga lah. Kan gue cuma di ajarin doang, ga praktek." Mahen menjawab sambil menyusul Jiran yang sudah siap untuk merebus air.
"Bener?"
"Iya, bener." Mahen mengangguk lagi. "Daripada setiap gue laper gue minta masakin lo, hayo pilih mana?"
"Iya deh iya, sini deketan." Jiran akhirnya mengalah juga.
Memang ada di dunia ini yang bisa menolak rayuan maut Mahen? Hm, mana ada. Mahen itu hampir sama dengan Wildan, apapun yang ia lakukan selalu terlihat menggemaskan. Jadi bisa dibilang, pesona Mahen dan Wildan itu tidak dapat dicegah. Tidak usah memberi contoh dari hal yang susah, Wildan bernafas saja Hanan sudah kelimpungan menahan diri untuk tidak mencubit pipi cowok yang lebih tua 3 tahun darinya itu. Atau kadang, wajah senang Mahen saat diberi semangka saja sudah cukup menjadi alasan Nana dan Lele untuk menerjangnya. Sangat menggemaskan memang.
"Ini kan kalo udah mendidih dimasukin mi nya, habis itu tungguin lagi sampe agak mateng." Jelas Jiran diikuti anggukan paham Mahen.
"Kalo ini sih agak gampang, yang paling susah tuh goreng telor sumpah.." Mahen berkata, mengingat sepak terjangnya saat menggoreng telur memang selalu gagal maning.
"Ya makanya gue bikinin mi langsung campur sama telornya, biar lo ga perlu ribet goreng-goreng lagi."
"Tapi pecahin telor juga susah.."
"Pake sisi tumpulnya pisau." Jiran mempraktekkan. "Begini."
Dengan telaten Jiran menaruh telur pada mi yang hampir mendidih, kemudian mengaduk dengan garpu yang tadi telah ia siapkan. Tak biasanya juga tangan Jiran tidak ceroboh. Mahen yang melihatnya berulang kali dibuat takjub.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUJANG 23✓
Fanfiction23 orang laki-laki dalam satu kosan. Apa yang akan terjadi?