Part 1

85 4 3
                                    

"Kriing... Kriing.. Kriing"

Bunyi alarm menggema memenuhi seisi kamar seorang gadis berusia 17 yang tengah terlelap dalam tidurnya. Gadis itu bernama Tania Calista Putri. Seorang gadis yang memiliki sifat baik, humble terhadap semua orang, dan murah senyum, dan memiliki bakat yang luar biasa dalam bidang nyanyi dan tari itu. Namun, sayang semua sifat itu seakan menghilang setelah kejadian yang menimpanya 9 tahun yang lalu.

5 menit setelah alarm berbunyi Nia pun mulai mengerjapkan matanya bersiap bangun.

"Pukul 4 pagi yaa", ucapnya ketika melihat jam yang terpasang di dinding kamarnya.

# Nia POV

Setelah beberapa menit aku menyiapkan diri untuk bangun dari tidur ku aku pun bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku dan bersiap menunaikan ibadah.

Satu jam lamanya aku menyiapkan diriku di kamar dan lengkap sudah dengan seragam SMA ku saat ini. Ya aku sekarang sudah berada di bangku SMA kelas 12. Sebelum membuka pintu kamar aku pun menghembuskan nafas tenang terlebih dahulu untuk menghadapi pagi yang cerah ini dan aku harap hari ku ini pun ikut secerah cuaca saat ini. Semoga saja.

Aku pun melangkahkan kaki ku untuk menuruni tangga rumah. Suasana rumah masih sangat sepi karena sekarang masih sekitar jam 5 pagi. Aku memutuskan menuju dapur untuk melakukan rutinitas ku pagi hari yaitu memasak. Ya aku memang cukup ahli dalam hal memasak. Namun, setiap pagi aku selalu memasak tanpa bisa merasakan makanan yang kubuat sendiri. Kalian pasti bingung kan? Tenang saja jawabannya akan kalian temui sebentar lagi.

Selama 30 menit aku berkutat dengan segala masakanku, aku pun segera menghidangkan makananku di meja makan. Ketika aku sedang fokus dengan kegiatan yang aku lakukan tiba-tiba saja ada seseorang yang datang menghampiriku.

"Bagus deh kamu dah bangun jadi saya gak perlu repot-repot menghabiskan suara saya untuk menyuruh kamu masak",ucap seorang wanita paruh baya.

"Iya mah. Aku udah selesai masaknya kok jadi mamah sama yang lainnya bisa langsung sarapan aja", ucapku.

Ya dia adalah Ibu Kandung ku yang bernama Erlina Damayanti. Seseorang yang sudah melahirkan ku ke dunia yang indah ini. Sayangnya, hidupku tak seindah yang kubayangkan ketika kecil.

"Pagi mamah ku yang cantik", sapa seorang laki-laki yang umurnya terpaut 3 tahun di bawahku. Dia melangkah menuruni anak tangga diikuti dengan seorang pria paruh baya dan seorang pasangan wanita dan pria yang nampaknya masih terasa aroma pengantin baru.

Ya mereka adalah keluarga ku. Keluarga inti kandung ku. Bramastya Erlangga, pria paruh baya yang umur nya tidak jauh beda dengan Ibu ku dan menjabat sebagai Ayah kandung ku. Evelyn Kirana Putri, kakak kandung ku yang terpaut 6 tahun dengan ku. Kenzo Wijaya, pria yang resmi menjadi kakak iparku sebulan yang lalu. Dan laki-laki yang menyapa mamah ku tadi bernama Dewangga Putra, adik laki-laki ku dan sosok yang menjadi awal mula aku selalu berada di situasi yang sulit ini.

"Pagi anak mamah yang tampan", sapa balik mamah ku.

"Pagi juga mah", sapa papah, Kak Evel, dan Kak Ken secara serentak.

"Pagi juga sayang-sayang nya mamah", balas mamah ku dengan penuh kasih sayang.

Oh Tuhan, kapan aku dipanggil dengan nada selembut itu lagi oleh orang-orang yang ada di sekitar ku ini. Rasanya aku ingin menangis saja ketika melihat mereka saling menyapa dengan sayang tanpa memperdulikan keberadaan ku. Aku selalu berpikir apakah kesalahan ku di kejadian yang lalu segitu fatalnya sampai aku sebegitu dibenci dan tidak diharapkannya disini. Padahal aku pun tak pernah ingin dengan sengaja melakukan kejadian di masa lampau itu tapi mereka selalu memandang aku seperti seorang penjahat yang tidak akan pernah dimaafkan sedikit pun.

"Ayo, semuanya kita lekas sarapan bareng dulu", ucap mamahku. Mereka pun langsung menduduki kursi masing-masing yang ada di meja makan.

"Eeh lu ngapain masih berdiri disitu. Cepet pergi sana ganggu pemandangan banget lu disitu", sentak Kak Evel pada ku.

"Aku boleh ikut sarapan bareng gak? " tanyaku mencoba keberuntungan meski aku pun sudah tau jawaban apa yang akan terlontar dari mereka. Jujur aku sangat merindukan momen bersama keluarga ku dimana aku selalu dimanja dan diperlakukan layaknya seorang putri keluarga.

"Jangan mimpi deh lu mau makan bareng kita. Yang ada kita bisa hilang nafsu kalo makan bareng orang kek lu gitu. Mending lu kl mau makan di blkng aja bareng Bi Surti atau kl perlu gak usah makan sekalian biar gak ngabisin makanan juga", jawab kak Ken. Ya meski kak Ken orang yang terbilang baru di keluarga ku tapi dia sudah ikut membenci ku akibat semua cerita kejadian yang diceritakan oleh kak Evel. Tentu saja cerita yang diceritakan dengan sudut pandang dan kebencian seorang kak Evel pada ku.

"Kamu gak lupa kan posisi kamu tuh gimana disini? Masih mending kita masih mau menampung kamu disini ya. Jadi jangan ngelunjak dengan minta hal-hal yang aneh dan buat kita makin muak sama kamu", balas mamah.

"Tapi mah aku pengen banget ikut makan bareng lagi sama kalian. Aku kangen sama kalian", ucap ku dengan memelankan suara di kalimat akhir.

"UDAH DIBILANGIN GAK YA GAK. TELINGA KAMU MASIH NORMAL KAN? JANGAN SAMPE KAMU SAYA KATAIN JUGA SEBAGAI ANAK TULI YA", murka mamah. Aku pun hanya bisa menunduk dan menahan rasa sakit di hati ku mendengar bentakan mamah ku untuk kesekian kalinya.

"Udah mah jangan marah-marah gitu masih pagi juga. Biarin ajaa dia gak usah ditanggepin gitu", ucap Dewa adikku.

"Orang itu yg menjabat sbg kakak gadunganmu yang gak tau diri itu yang mulai duluan dek. Pagi-pagi dah bikin emosi aja", balas mamah.

"Sudah jangan pada ribut. Apalagi ribut di depan makanan gini. Mending kita segera sarapan", lerai papah. "Dan untuk kamu.. ", lanjut papah padaku. "Jangan pernah berharap untuk bisa jadi bagian dari keluarga ini lagi meski kamu tinggal disini. Dan jangan harap kita masih sayang sama kamu seperti sebelum kejadian itu terjadi", kata papah yang sangat menyakitkan di hatiku.

"Udah deh mending lu pergi aja daripada buat ribut pagi-pagi gini", ucap Dewa padaku.

Lagi dan lagi aku hanya bisa menahan segala perih yang ada di hidupku dan entah sampai kapan aku harus bertahan dalam situasi ini. Aku pun mulai melangkahkan kaki untuk pergi dari hadapan mereka dengan menahan air mata yang siap meluncur sebentar lagi.

"Ya udah aku pamit berangkat sekolah dulu semua", pamitku pada mereka. Dan saat aku melewati papahku, air mata ku pun langsung turun begitu saja tanpa bisa kutahan setelah mendengar ucapan papah.

"Menyusahkan sekali. Dasar anak pembawa sial", gumamnya yang masih terdengar di telinga ku.

"Seberapa banyak luka yang kalian berikan padaku,tak mengurangi rasa sayang ku pada kalian. Karena kalian tetap segalanya bagiku."

*Part 1 finish.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang