Budayakan vote terlebih dahulu sebelum membaca. Happy reading.
=======================
Setelah menyelesaikan soal ujian matematika dalam waktu singkat, Rafa bergegas meninggalkan ruang kelas dengan mengumpul lembar jawaban terlebih dahulu.
Ben, Sean, dan Nial sudah tidak heran dengan Rafa yang sangat mudah menyelesaikan soal-soal yang memiliki kadar kesulitan tinggi. Hari ini adalah hari terakhir mereka menjalani ujian tengah semester ganjil.
Keluar dari ruang kelas, Rafa sedikit berlari menuju parkiran. Seperti biasa, dia akan menjenguk Raysha. Gadis itu dirawat di rumah sakit selama seminggu, dan kenyataan yang menyesakkan, bahwa keadaan Raysha semakin hari semakin buruk.
Menempuh perjalanan selama setengah jam lebih, Rafa menuju ruang rawat Raysha. Sesampainya di depan ruang rawat Raysha, laki-laki itu tidak langsung masuk, melainkan mengintip sedikit ke dalam ruangan Raysha. Di dalam sudah ada Bagas, kedua orang tua Raysha, dan Bara.
Rafa langsung masuk, lalu kembali menutup itu. Pandangannya langsung tertuju pada Raysha yang menangis. Ada apa dengan Raysha? Itu pertanyaan yang menghinggapi pikiran Rafa.
Rafa berdiri di samping Bara, menatap tertegun Raysha yang menangis-membuat hatinya terenyuh seketika.
"Nak, ini semua demi kebaikan kamu. Ray mau sembuh, kan?" Panji bertanya, kembali membujuk putri bungsunya agar menuruti permintaan mereka.
"Sampai kapan pun, Ray nggak mau menjalani kemoterapi," tolaknya mentah-mentah.
Sekarang Rafa tahu apa yang membuat Raysha menangis, gadis itu menolak untuk menjalani kemoterapi. Ingin Rasanya Rafa memeluk Raysha, menenangkan Raysha dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Ray, tolong turuti kemauan kami!" Bara meninggikan nada bicaranya satu oktaf lebih tinggi.
Hal itu membuat Raysha semakin tertekan. Demi Tuhan, Raysha ikhlas jika hidupnya diambang hidup dan mati asalkan dia tidak menjalani pengobatan yang begitu menyakitkan seperti kemoterapi. Raysha tidak siap menanggung rasa sakit itu.
"Kemoterapi nggak bisa menjamin Ray tetap hidup, kan?" tanya Raysha lirih disertai air mata yang mengalir.
Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam. Nyatanya, pengobatan apa pun yang dilakukan untuk Raysha tidak menjamin segalanya.
"Ray capek ...," ucap Raysha penuh keputusasaan. "Kalau dikasih opsi, Ray pengin pergi aja. Ray capek ...."
Raysha mengutarakan betapa dia lelah akan hidupnya. Bisa dihitung kapan-kapan saja Raysha merasakan kebahagiaan juga tertawa lepas menikmati hidup dengan normal.
Belum lagi masa remaja yang suram. Di saat anak seumuran Raysha menikmati masa remaja dengan berbagai momen, Raysha malah terjebak di rumah sakit antara hidup dan mati. Antara bertahan atau menyerah. Namun, opsi menyerah ingin dia gunakan untuk sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love or Pity | JAEROSÉ ✔
Ficção AdolescenteRafa Malven Narendra, hanya dengan pertemuan pertamanya dengan Raysha Samira, membuat hati dan perasaannya berubah secepat itu. Raysha dengan kekurangan yang dimilikinya menjadi bentuk kekaguman bagi Rafa. Pertemuan yang tidak disengaja antara Rafa...