Frank

1K 166 2
                                    

Mata Zen melihat sekeliling. Mulutnya menganga terkagum akan isi menara.

"Kita memang tidak boleh menilai sesuatu dari covernya."

Edmund mengangguk setuju dengan sedikit rasa tidak aman berada di menara itu.

"Ed, bisa kah kau membantu mencari Rapunzel?" Zen melihat-lihat di atas, kiri, kanan, guna mencari Rapunzel. "Rapunzell... dimana kau?"

Edmund hanya tertawa kecil.

"Zennn!!!"

Zen mendongak, menatap Edmund.

"Ed! Kau dengar itu?"

Edmund menggeleng.

"Zenn! Go away!"

"Ed!!! Kau tidak dengar?"

"Mendengar apa?"

"Suara!" Zen terdiam sejenak. "Wait." Edmund juga ikut terdiam.

"Zen, pergi dari sini! Tempat ini tak aman untukmu!"

"Lucy?" Zen menatap Edmund. Edmund hanya bingung tak mengerti.

"LUCYYY!!" Zen kini berteriak memanggil Lucy.

***

Suara tawa sekali lagi terdengar di sisi lain dari menara.

"Gadis Azalea itu tidak sepintar yang aku kira."

Lucy menatap tajam pada orang yang duduk di depannya ini. Dalam hatinya berdoa agar Zen segera pergi, begitu juga dengan Edmund.

"Kau, makhluk kerdil."

"Ya, tuanku?"

"Bawakan anak adam itu padaku." Tangannya menunjuk Edmund yang tampak di (semacam layar proyeksi) udara.

"Baik, tuanku."

"Apa yang mau kau lakukan!" Teriak Lucy.

Tawa keluar dari mulutnya. "Aku hanya ingin Hydraku semakin kuat."

***

"Kenapa kau memanggil Lucy?" Edmund melihat Zen yang panik mencari Lucy. Padahal sebelumnya dia sangat bersemangat mencari keberadaan Rapunzel.

"Lucy dalam masalah, Ed..."

"Masalah apa?"

"Aku tak tau..." Lirih Zen.

"Sepertinya kau butuh istirahat, Zen." Edmund mendekati Zen dan membelai kepalanya.

"Tidak, sebelum aku menemukan Lucy."

"Zen, jangan keras kepala."

"Kepalaku memang keras."

"Keningmu saja kesakitan saat aku menjitakmu."

Zen melotot, Edmund terkekeh.

Pada saat itu juga sebuah asap hitam datang dari belakang Edmund. Anehnya, asap hitam itu hanya melewati Edmund. Tidak seperti saat asap itu mengelilingi Lucy.

"Ed, tetap didekatku."

"Aku selalu di dekatmu."

"Aku serius."

"Aku juga serius."

Zen melotot. Edmund hanya tersenyum.

"Hei kau! Keluar dari sana!" Zen menatap tajam ke arah pintu menara. Dan ngomong-ngomong soal rambut panjang, rambut panjang itu langsung menghilang tanpa sepengetahuan Zen dan Edmund.

"Kau berbicara dengan siapa?" Edmund ikut menatap pintu menara yang kosong.

"HEI KAU! KU SURUH KELUAR YA KELUAR!" Zen menggeram marah. Edmund terdiam, dia tidak mau menjadi korban pelampiasan kemarahan Zen yang tiba-tiba menggebu-gebu ini.

Tampak kurcaci dengan penampilan berantakan keluar dari sana.

"Siapa kau?" Tanya Zen dengan intonasi yang sedikit lembut.

"Frank." Jawah kurcaci itu dengan menatap tak bersahabat dengan Zen.

"Siapa yang mengutusmu?"

"Kau tak perlu tahu."

"Kau kah yang mengeluarkan asap hitam tadi?"

"Itu sihir." Kurcaci itu seakan-akan meremehkan. Memang benar kata tuannya, gadis Azalea ini tidak sepintar Azalea yang terdahulu.

Zen menghela nafas dan menatal Edmund dengan kecewa. "Ternyata itu bukan rambut Rapunzel."

Edmund menatap tidak mengerti. Sempat-sempatnya Zen memikirkan rambut Rapunzel yang membawa mereka ke menara ini.

"Rapunzel? Ceh, kau percaya dengan dongeng itu?" Kurcaci itu tertawa sinis.

"Well, Narnia juga sebuah dongeng dan dia nyata." Balas Zen tak mau kalah.

"Narnia bukanlah dongeng." Balas kurcaci itu.

"Terserah." Zen berjalan ke arah kurcaci itu. "Katakan padaku di mana Lucy."

"Lucy?" Kurcaci itu menatapnya. "Maksudmu gadis itu?" Kurcaci itu menunjuk di belakang Zen. Zen menoleh dan mendapati Lucy yang terikat dengan asap hitam dan juga...

"Edmund!"

Edmund juga ikut terikat bersama Lucy.

"KAU!" Zen menatap tajam pada kurcaci itu. "LEPASKAN MEREKA!"

"Aku tak menerima perintahmu, nona." Kurcaci itu seketika menghilang dan muncul di dekat Lucy dan Edmund berada.

"Zen! Pergilah! Tinggalkan tempat ini!" Lucy berteriak. Zen terdiam. Dia tak mau meninggalkan mereka.

"Well well, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan Azalea setelah aku memusnahkan mereka seratus tahun lalu."

Zen menoleh ke belakangnya dan mendapati sesosok laki-laki dengan sorot mata yang selalu tajam dan aura kegelapan yang sangat kuat.

"Tapi ternyata masih ada satu hama yang belum aku musnahkan." Lelaki itu menyeringai. "Kau tak sepintar yang aku kira, tapi..." Lelaki itu melihat Zen dari atas sampai kebawah. Tangan lelaki itu menyentuh wajah Zen. "Kau lumayan juga."

"JANGAN KAU SENTUH DIA!" Edmund meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari asap hitam yang mengikatnya dan pergi menghajar lelaki yang berani menyentuh Zen.

Lelaki itu hanya tertawa kejam. "Aku akan bermain denganmu, cantik. Setelah aku membangkitkan Hydraku." Lelaki itu menunjuk Zen dan seketika itu juga Zen menghilang. Edmund membelalakan matanya, begitu juga dengan Lucy.

"Kalian berdua akan menjadi pengawal setia Hydra setelah ini."

Zen In NarniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang