Bantuan

1.2K 180 2
                                    

"Dasar tak berguna!"

Dengan kasar Buckland menendang badan kerdil Frank dan membuat Frank terlempar jauh mencium lantai.

"Apa susahnya membawa anak manusia itu?" Tatapan tajam mengarah pada Frank yang kini sedang berusaha untuk bangun. Aura kegelapan milik tuannya sangat kuat. Terlebih lagi kini tuannya sedang marah, aura kegelapannya menjadi sangat terasa kuat berkali-kali lipat.

"Ampun, tuanku. Aku telah berusaha semampuku, tapi nihil. Mereka dilindungi--"

"Tutup mulutmu!" Lagi-lagi Frank tumbang. "Sekarang pergi! Jangan pernah muncul di hadapanku sebelum kau membawakan anak manusia padaku!"

Frank berdiri dengan susah lantas menunduk memberi hormat dan menghilang dalam sekejap.

***

Lucy bergegas kembali ke kastil, menemui Caspian.

Beberapa saat lalu...

Suara auman singa menggema di hutan. Hal itu membuat bayangan hitam yang mendekati Lucy menghilang. Disaat bersamaan, Lucy kembali bisa menggerakkan tubuhnya. Senyum Lucy merekah di wajahnya.

"Aslan."

Lucy turun dari kuda dan berlari memeluk Aslan.

"Kami sangat merindukanmu." Ucap Lucy.

"Begitu pun dengan diriku."

"Lantas, mengapa kau tidak pernah muncul dan berkumpul bersama kami?"

"Kau tau, dear? Aku selalu bersama kalian." Ucap Aslan di sertai dengan angin sepoi malam yang menangkan hati. Lucy tersenyum, menatap Aslan dengan penuh rindu.

"Kami membutuhkanmu, Aslan."

"Aku telah mengutus seseorang untuk selalu membantu kalian. Dia selalu bersama kalian sejak kalian datang ke sini."

"Benarkah? Siapa?"

"Kau akan tau itu, dear."

Saat itu juga Aslan menghilang.

Tiba di kastil, Lucy dengan segera berlari mencari Caspian. Di jalan menuju ruangan Caspian, Lucy bertemu dengan Edmund yang berjalan dengan tatapan kosong.

"Ed!" Teriak Lucy, bersemangat ingin menceritakan tentang apa yang telah dia temui di hutan. Edmund menghentikan langkahnya, menatap Lucy. Lucy sadar dengan tatapan aneh dari saudaranya itu pun menatap nya dengan kebingungan.

"Ed? Are you fine?"

Edmund hanya diam tidak merespon.

"Ed!" Bentak Lucy. Kesal dengan saudaranya itu.

"Lucy, help me." Tatapan Edmund kini sendu. "Please.."

"Ada apa?" Kekesalan Lucy berubah menjadi khawatir.

"Tolong bantu aku..."

***

"Zen."

Zen yang merasa dipanggil pun menoleh.

"Kau ingin kemana?"

"Aku ingin ke taman."

"Taman? Malam malam begini?"

Zen mengangguk. "Kau ingin ikut, Lucy?"

"Sure."

Ditaman...

Zen tak henti-hentinya memandang kagum bunga-bunga yang tumbuh mekar. Sesekali tangannya menyentuh kelopak bunga yang menurutnya menarik. Bibirnya menyunggingkan senyum, tak mampu mengungkapkan rasa kagumnya pada keindahan bunga-bunga yang di lihatnya.

Lucy hanya diam melihat Zen yang tersenyum. Cahaya rembulan membuat Zen sangat cantik yang tersenyum.

Sesekali Lucy menghela nafas. Lucy bingung bagaimana cara membuka percakapan. Lucy takut Zen akan merasa sedih lagi. Disisi lain dia juga tak mau saudaranya itu juga larut dalam kesedihan karena kelakuan bodohnya.

"Dasar Ed bodoh!" Guman Lucy kesal. Dia reflek menyilangkan kedua tangannya.

"Kau tak apa, Lucy?" Zen menatap Lucy yang kini sedikit salah tingkah.

"Ya-- aku tak apa." Lucy tersenyum kecil.

"Benarkah?" Zen menatap Lucy dengan penuh selidik. Lucy menatap Zen dan berusaha menahan senyumnya agar tidak luntur. Zen mendekati Lucy. Tangannya dia letakkan di kening Lucy. "Kau tak sakit, kan?" Zen kini menatap Lucy dengan khawatir.

"Aku tak sakit." Lucy menggenggam tangan Zen. Tangan Zen yang awalnya berada di kening Lucy kini beralih di genggaman Lucy.

"Benarkah? Kau yakin kau tak apa?"

Lucy mengangguk pelan dan menatap Zen. "Seharusnya itu adalah pertanyaanku."

Zen bingung. "Pertanyaan apa?"

"Kau tak apa, Zen?"

Zen terdiam. Mulutnya berat mengatakan 'tidak apa-apa'. Hah, sulit sekali berbohong batin Zen.

"Tak ingin menceritakannya padaku?" Lucy meletakkan tangan satunya di atas tangannya yang menggenggam tangan Zen. "Jangan memendam masalahmu sendiri, Zen. Ceritakanlah padaku. Ingatlah, aku selalu ada untukmu."

Mata Zen kini berkaca-kaca. "Lucy.."

Lucy pun dengan segara mengambil tindakan memeluk Zen. Tangan Lucy dengan lembut menepuk punggungnya, berharap bisa menenangkan Zen.

"Menangislah, tak apa."

Suara tangis Zen pun pecah. Seketika Lucy merasa bersalah karena telah membuat Zen mengingat hal buruk untuknya. Sungguh keterlaluan perbuatan saudaranya, ketika bertemu dengannya nanti, sudah dipastikan dia akan tergeletak tak berdaya.

Zen In NarniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang