ILY

1.3K 155 56
                                    

Di balkon kamar.

Edmund berdiri menatap langit malam.

Wajah gadis itu, yang tak lain adalah Zen, terlukis dengan jelas di pikirannya.

Edmund menoleh ke balkon kamar Zen yang hanya berjarak dengan dua balkon lainnya.

Bibir Edmund menyunggingkan senyum ketika mengingat Zen berteriak memanggilnya dari sana.

Namun senyum itu harus pudar.

Dada Edmund berdeyut.

Sakit.

Kecewa.

Mungkin ini memang salahnya. Mengingat hampir semua perlakuannya pada Zen selama ini membuat hati Zen tergores. Tak ada salahnya jika Zen meragukannya.

"Aku tidak boleh diam seperti ini. Aku harus menyakinkan dia."

Edmund pun melangkahkan kakinya keluar. Saat itu juga dia bertemu Lucy.

"Kau mau kemana, Ed?" Tanya Lucy menghentikan langkahnya.

"Apa Zen ada di kamarnya?" Edmund berbalik bertanya, namun pertanyaannya menjawab pertanyaan Lucy.

"Oh Zen.. Apa kalian berdua ada masalah?" Bukannya menjawab, Lucy malah bertanya.

"Jangan berbalik bertanya, Lucy."

"Oh, sorry. Zen ada di ruang latihan. Kebetulan aku ingin ke sana juga, ayo." Lucy meraih tangan saudaranya itu dan berjalan ke tempat tujuan mereka.

***

Entah karena Zen yang selalu giat berlatih atau memang bakatnya. Permainan busurnya semakin hari semakin hebat. Dia bisa melepas tiga anak panah sekaligus dalam satu busur dan tepat sasarann.

Seperti tak puas-puas memanah. Zen mengambil panahnya lagi dan meletakkannya di busurnya. Matanya fokus menempatkan target.

Hingga seorang laki-laki muncul.

Zen menurunkan busurnya. "Ed, pergilah atau kau akan terpanah."

"Aku memang sudah terpanah." Ucap Edmund yang membuat Zen kebingungan. "Terpanah oleh panah cintamu."

"Pfftt." Lucy yang berada tak jauh dari mereka menahan tawa.

Zen tersenyum kecil. "Kalau begitu maaf telah memanahmu, aku akan mencabut panahnya."

"Cabut saja. Itu tidak akan merubah perasaanku."

Deg

"A-- iya, Ed." Wajah Zen menampakkan senyum tipis. Tipis sekalii, bahkan mungkin itu sudah tak bisa dikatakan senyum.

Edmund memegang kepalanya. Zen terlihat salah paham.

"Zen, maksudku bukan begit--"

"It'a okay, Ed." Zen memundurkan langkahnya ketika Edmund mencoba maju mendekatinya.

"No, Zen. Biar aku jelaskan."

"Tidak ada yang perlu di jelaskan, Ed."

"Ceh perempuan." Ucap Lucy dengan suara yang sedikit keras dan membalikkan badannya melihat-lihat sekitar ketika Zen menatap ke arahnya.

Zen melihat Edmund yang berusaha mendekatinya, memberi penjelasan.

"Kalian wanita benar-benar merepotkan. Tidak bisakah kalian memberi kesempatan kepada laki-laki untuk menjelaskan? Apa susahnya mendengar mereka?"

Zen menghela nafasnya dan memberi kesempatan pada Edmund untuk mengutarakan semua isi pikirannya.

"Aku memang pernah mengkhianati Narnia." Ucap Edmund sambil melangkah ke depan mendekati Zen. Zen hanya diam, dia tidak kabur ataupun melangkah mundur.

"Tapi aku tidak akan pernah mengkhianati perasaanmu."

Kini Edmund berada di depan Zen. Edmund melihat Zen yang tidak berani menatapnya.

Edmund memegang kedua pundak Zen. "Tatap mataku, Zen." Pinta Edmund.

Zen perlahan menatapnya. Tatapan mereka kini bertemu. Bola mata cokelat yang sangat indah, bola mata yang mampu membiusnya, yang mampu membuatnya candu. Sungguh, Zen benar-benar sangat menyu--

"Aku menyukaimu."

Zen mengerjapkan matanya berulang kali. Tangannya melepaskan tangan Edmund yang berada di pundaknya.

"Wait.. Kau bilang apa, Ed?"

"Aku tidak akan mengulang perkataan yang jelas-jelas sudah sangat jelas."

Edmund memeluk Zen dan berbisik padanya.

"I Love You."

Hanya tiga kata. Namun sangat manjur membuat detak jantung Zen berdetak kencang.

"Tidak bisakah kau mengontrol detak jantungku itu? Itu menular padaku, kau tau." Ucap Edmund yang masih memeluknya.

"A-- maaf. Aku hanya.."

"Tidak percaya hmm?" Edmund kini melepas pelukannya, menatap mata Zen yang dari dulu ia sukai. Zen membalas menatapnya dan mengangguk.

"Aku harus bagaimana agar kau percaya?"

"Kiss her...." Bisik Lucy dari jauh.

"Aku tak tau." Zen sedikit memalingkan matanya. Namun matanya seketika membesar ketika sesuatu yang lembut menempel dibibirnya.

Lucy yang tidak jauh dari mereka menutup kedua matanya dan juga sedikit mengintip dari sela-sela jarinya.

Edmund menyudahi ciuman nya dan menatap Zen yang kini benar-benar salah tingkah dengan wajahnya memerah hampir serupa tomat. Kekehan keluar dari mulut Edmund.

"Pss." Zen menyenggol Edmund. "Kenapa kau melakukannya di depan Lucy!?" Zen menoleh ke arah Lucy yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.

Edmund ikut menoleh dan kembali menatap Zen. "Biarkan saja."

Zen menatap tajam. Namun tak bisa dipungkiri, hati Zen kini sangat berbunga-bunga. Perasaannya terbalaskan dan ini bukanlah mimpi.


Zen In NarniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang