Narnia

3.7K 301 2
                                    

Happy Reading~



Jalanan di Kota Inggris sangat ramai. Orang banyak berlalu lalang. Membuat jalanan terasa sangat hidup dengan keberadaan mereka. Terlebih lagi gadis manis dengan rambut terkuncir yang kini berjalan di sebelah lelaki yang sangat-sangat disukainya. Lelaki itu tampak dingin, jutek, tidak berekspresi. Namun hal itu tak membuat gadis itu mengalihkan pandangan pada lelaki itu.

"Edmund." Gadis itu berjalan di depan Edmund dengan langkah mundur. Edmund tidak menoleh pada gadis itu, dia lebih fokus pada langkah kakinya. "Aku ingin kau tahu sesuatu." Gadis itu menampakkan senyum manisnya. Edmund menatap gadis itu dengan malas. "Aku menyukaimu." Senyum lebar terukir di bibirnya. Edmund menanggapinya dengan berdeham pelan tidak peduli lantas kembali fokus pada jalannya. Masih dengan melangkah mundur, gadis itu memanggil-manggil nama Edmund tanpa henti. Hal itu membuat Edmund berdecak kesal, risih dengan panggilan gadis itu.

"Diamlah, Zen."

Gadis yang bernama Zen itu tersenyum puas. Akhirnya setelah sekian lama, lelaki itu mengeluarkan suaranya. Zen terus melangkah mundur, memperhatikan Edmund yang enggan menatapnya. Pasalnya Zen berjalan di depan Edmund dan mau tidak mau Edmund harus menatap ke depan untuk berjalan di jalan yang benar. Zen terus memperhatikan Edmund dengan senyum lebar yang selalu berada di bibirnya. Terus memperhatikan Edmund, memperhatikannya, dan terus memperhatikannya hingga Zen tak sengaja menyenggol orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Sontak Zen terduduk di tanah dan meringis kesakitan. Edmund hanya melihat sekilas Zen yang terjatuh dan kembali fokus dengan jalannya. Zen menggaruk tengkuknya tak gatal dan mencoba bangkit dan mengejar Edmund yang sudah berjalan jauh meninggalkan dirinya.

Kini Zen berjalan di belakang Edmund. Lagi-lagi senyum lebar tampak pada wajahnya. Zen berjalan dengan jantung yang berdetak kencang sambil melihat punggung Edmund yang tegap di depannya. Sedangkan Edmund tidak menghiraukan Zen yang tersenyum di belakangnya. Itu bukan lagi hal biasa. Edmund hanya terus berjalan dan berjalan hingga tiba di sebuah rumah bercat putih dengan model rumah zaman perang dulu. Edmund membuka pintu dan masuk ke dalamnya, meninggalkan Zen yang berdiri diam di depan pagar yang warnanya senada dengan rumah tersebut.

Hari berganti hari, Zen selalu mengekor Edmund kemanapun. Hingga suatu hari, langit gelap muncul dengan awan abu-abu dan tak lama tetesan air turun membasahi Kota Inggirs. Edmund berbaring malas di ranjangnya. Hujan adalah cuaca yang tepat untuk bermalas-malasan. Namun hal itu terurung karena Lucy berteriak memanggil namanya dari ruang tamu. Edmund dengan langkah tergontai keluar dari kamarnya dan berjalan ke ruang tamu menemui Lucy. Saat matanya hendak menatap tajam dan mulutnya yang siap mengomel pada Lucy, sebuah suara yang tak asing memanggil namanya. Mata Edmund yang hendak menatap tajam terbelalak, mulut Edmund yang hendak mengomel seketika membisu.

Zen terkekeh pelan melihat ekspresi Edmund begitu pula dengan Lucy. Tersadar dengan tingkahnya yang sedikit berlebihan, Edmund berdeham dan menatap tajam ke arah Lucy.

"Kenapa kau memanggilku?"

Lucy hanya tersenyum dan menatap Zen sebagai jawabannya. Edmund yang mengerti dengan bahasa tubuh Lucy pun menghela napas dan berbalik berjalan kembali ke kamarnya.

"Edmund, dia tamu dan dia mencarimu. Tidak bisakah kau meluangkan waktumu sebentar?" Lucy menyilangkan tangannya, kesal dengan kelakuan saudaranya itu. Lucy tahu, Zen sangat menyukai Edmund. Sedangkan Edmund tidak peduli dengan perasaan Zen walau Zen sudah berkali-kali menyatakan perasaanya. Bahkan tak jarang Edmund membentak Zen yang hendak menyatakan perasaannya. Namun kerennya, Zen tidak menangis, Zen tersenyum dan tidak menyerah mendapatkan hati Edmund. Saat itu juga Lucy mengagumi Zen dan bertekad membantu Zen mendapatkan hati saudarannya yang keras itu.

"Aku tidak punya waktu."

Zen hanya tersenyum dan menatap Lucy seakan berkata 'tidak apa, biarkan saja dia'. Entah apa yang terjadi pada saat itu, tanah yang mereka pijak seketika bergetar, awalnya pelan namun seperdetik kemudian getaran itu terasa sangat kuat. Zen, Lucy, dan juga Edmund yang hendak pergi ke kamarnya mencoba berdiri dengan kokoh. Sebuah buku muncul di antara mereka. Buku itu terbuka sendiri dan mengeluarkan sebuah cahaya yang sangat terang, membuat mereka bertiga reflek menutup mata.

Cahaya yang menyilaukan itu hilang, getaran yang kuat pun juga menghilang. Edmund mengerjapkan matanya dengan perlahan begitu juga dengan Zen dan Lucy. Senyum merekah di wajah Edmund dan Lucy. Sedangkan Zen terperagah dengan pemandangan di depannya, sesekali Zen menguceh matanya memastikan penglihatannya berfungsi dengan baik.

"Narnia." Edmund tersenyum dan menatap Lucy yang juga tersenyum. Zen masih bingung dengan peristiwa yang terjadi. Lucy yang peka akan kehadirannya dengan perlahan menjelaskannya. Zen membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang di dengar.

"Aku sungguh tidak percaya bahwa Narnia benar-benar nyata." Zen tersenyum, matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, melainkan bahagia karena bisa menginjakkan kaki di Narnia. Entah bagaimana penjelasan yang tepat untuk menjelaskan perasaan yang dirasakan oleh Zen, sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Kau harus percaya karna kau sudah berada disini." Lucy menatap Zen dan juga Edmund. "Ayo, kita pergi menemui Caspian." Lucy berjalan mendahului mereka namun terhenti saat matanya bertemu dengan sebuah buku tebal bersampul hitam polos. Edmund dan Zen mendekati Lucy dan ikut mengamati buku tersebut. "Aku rasa buku inilah yang membawa kita ke sini." Lucy kembali menatap Zen dan Edmund.

"Tapi buku itu milik siapa?" Edmund membuka suara menatap buku tersebut. Zen berjongkok dan mengambil buku tersebut. Edmund dan juga Lucy menatapnya keheranan. "Itu milikmu?"

Zen In NarniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang