Kegiatannya di panti asuhan, membantu bahkan terkadang menggantikan Bibi Hilda yang sedang sakit, terlalu padat hingga membuat waktu untuk bertemu sang kekasih menjadi lebih sedikit dibanding sebelumnya. Namun hal itu tidak membuat rasa cinta mereka memudar (ea). Terkadang sang kekasih menyempatkan waktu menemani kegiatannya di panti.
Sekarang, di panti asuhan....
Zen sedang sibuk berkutik dengan alat-alat masak di dapur. Tangannya lincah memotong dan memasukkan bumbu-bumbu dan bahan masakan lainnya. Sesekali dia mencoba dan memastikan tidak ada bahan yang kurang. Senyumnya mengembang ketika merasa puas dengan masakannya. Namun senyumnya tergantikan ketika dia merasa sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Dengan pelan dia memukul tangan yang mengelilingi pinggangnya itu. Sang pemilik tangan hanya terkekeh dan meletakkan dagunya di pundaknya.
"Bisakah kau berhenti memelukku dari belakang secara tiba-tiba, Ed?" Ucapnya sambil berusaha melepaskan pelukan Edmund.
"Tidak." Edmund malah makin mengeratkan pelukannya.
"Ayolah, Ed. Aku harus menyiapkan makan siang untuk anak-anak panti."
Edmund dengan tiba-tiba memutar badan Zen, membuat Zen kini berhadapan dengannya. "Kiss me."
Mata Zen membesar. "No, Ed. Aku tidak mau. Nanti ada anak-anak yang melihatnya." Zen ingin membalikkan badannya namun tertahan oleh Edmund.
"Tidak ada anak-anak yang akan masuk ke sini." Ucapnya sambil mengunci pergerakan Zen.
Zen memutar bola matanya malas dan menatap Edmund yang terlihat sangat berharap.
"Yayaya, tutup matamu."
Edmund pun menurut. Zen menoleh ke kiri dan ke kanan, berharap tidak ada anak-anak yang masuk ke dapur. Merasa aman, Zen langsung mengecup singkat bibir Edmund. Walau begitu, hal itu sukses membuat wajah Zen menghangat.
Edmund membuka matanya dan menaikkan alisnya sebelah. "Tidak ada rasa sama sekali."
"Sudahlah, biarkan aku melanjutkan memasak. Kasihan anak-anak telah menunggu makan siang mereka." Ucap Zen yang melepaskan tangan Edmund yang mengunci pergerakannya. Namun Edmund menahannya.
"No. Aku tidak akan melepaskanmu."
"Ya ampun, Ed. Lepaskan aku sekarang juga." Zen menginjak kaki Edmund membuat Edmund sontak melepaskan Zen.
"Bagus, sekarang duduk manis di sana."
Edmund menurut dan duduk di kursi yang di tunjuk Zen. Selama Zen memasak, Edmund terus memperhatikannya dan tersenyum membayangkan saat ini Zen sedang memasak untuknya dan juga untuk....
anak-anaknya :)
"Kak Zen cantik ya?"
"Ya. Cantik sekali." Ucap Edmund yang masih memperhatikan Zen.
"Aku sangat menyukai kak Zen."
"Hmm.. Aku jug-- What!?" Edmund menoleh dan mendapatkan seorang anak lelaki yang terlihat berumur 15 tahun berjalan ke arah Zen dan memeluknya.
"Kak Zen!" Ucapnya. Zen sedikit terkejut dan membalas pelukannya, membuat Edmund mengarahkan tatapan tajam pada anak lelaki itu.
"Ada apa, Charlie?" Tanya Zen padanya. Anak yang bernama Charlie itu pun mengintip apa yang sedang Zen masak. Zen yang mengerti pun tertawa kecil. "Kau sudah lapar rupanya. Tunggu sebentar ya?" Zen memindahkan masakannya ke meja makan, tempat di mana Edmund memasang wajah masam agar Zen memperhatikannya.
Sayang sekali, ekspetasi tak sesuai kenyataan.
Zen malah keluar dari dapur, memanggil anak-anak lainnya untuk makan siang. Seketika meja makan di kelilingi oleh anak-anak yang tengah bersiap untuk makan siang. Edmund kini berdiri membantu mengambilkan makanan dan sedikit melirik Zen yang malah terlihat asyik mengobrol dengan Charlie.
Charlie yang mengetahui Edmund terus memperhatikannya pun menoleh dan menjulurkan lidahnya pada Edmund. Edmund yang melihatnya pun membalasnya.
"Kau kenapa, Ed?" Tanya Zen. Charlie menahan tawanya, membuat Edmund harus membuat tatapan tajam padanya.
"Ed?" Zen melambaikan tangannya di depan Edmund.
"Aku mau mencari udara segar."
Edmund pun keluar, meninggalkan Zen yang kini menatap tajam pada Charlie yang tertawa lepas. Seorang anak yang duduk di sebelah Charlie menyenggolnya pelan, membuat Charlie menatap Zen dan terdiam.
"Jangan pernah menjulurkan lidah pada orang yang lebih tua. Itu tidak sopan, mengerti?"
Charlie mengangguk pelan dan melanjutkan makannya dengan sedikit melirik takut pada Zen yang sedang merapikan rambut seorang anak perempuan di depannya.
"Setelah selesai, jangan lupa letakkan piring kalian di tempat pencucian. Aku akan keluar sebentar."
***
Edmund kini sedang berbaring di sofa panjang di ruang tamu panti. Tangannya lincah mengotak-katik sebuah rubik di tangannya.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Namun Edmund tidak menghiraukannya.
"Jadi di sini kau mencari udara segar?"
Edmund hanya diam dan fokus pada rubiknya. Zen yang melihat hal itu hanya bisa menghela nafas dan mendekati Edmund. "Maaf."
Seketika tangan Edmund berhenti memainkan rubiknya dan menatap Zen. "For what?"
"Aku telah membuatmu cemburu."
"Siapa bilang?" Ucap Edmund yang kembali memainkan rubiknya.
Zen terdiam dan beranjak berdiri, berjalan ke arah dapur. Namun terhenti saat tangan Edmund menahannya dan membawanya ke pangkuannya.
"Mereka sedang sibuk makan, bukan?" Tanya Edmund. Zen ber hmm pelan sambil menatap malas pada Edmund.
"Can I...?" Edmund menatap Zen dalam-dalam, membuat Zen salah tingkah.
"Kau mau buat apa?" Zen memalingkan wajahnya ketika merasa wajah Edmund mendekat dan mendekat......
"KAK ZENNN!!!"
Charlie berteriak dan berlari mendapatkan Zen yang berada di pangkuan Edmund menatapnya.
"Aa-- maaf." Ucap Charlie sambil menggaruk tengkuknya tak gatal.
Zen bergegas beranjak dari pangkuan Edmund dan berusaha bersikap cool. "Ada apa, Charlie?"
"Umm itu--" Charlie melirik sekilas pada Edmund yang menatapnya seakan ingin membunuhnya. Dengan cepat Charlie mengalihkan tatapannya pada Zen. "Minie tak sengaja memecahkan piring saat ingin meletakkannya di pencucian dan tangannya terluka."
"Oh kelalaianku." Ucap Zen yang langsung berjalan cepat ke dapur, disusul Charlie yang menyeringai pada Edmund sebagai permintaan maaf.
Edmund memutar bolanya malas dan berharap dalam hati Zen tidak akan menceritakan hal inj pada Lucy. Jika tidak, maka habislah dia menjadi bahan ejekan Lucy selama sebulan ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zen In Narnia
FantasiZen adalah sosok gadis yang tidak pernah malu mengutarakan perasaannya pada Edmund yang selalu acuh tak acuh dan bersikap dingin padanya. Waktu terus berjalan hingga mereka yakni Edmund, Lucy, dan juga Zen muncul di Narnia berkat sebuah buku milik Z...