Zen

1.3K 172 27
                                    

Kastil kini penuh dengan orang yang berpakaian hitam, suasana duka sangat terasa disana.

Edmund kini duduk di kursi sebelah ranjang tempat dimana tubuh Zen terbaring. Tangan Edmund setia menggenggam tangan Zen yang dingin itu. Hatinya terus berteriak memohon agar Zen bangun.

Percuma.

Pintu kamar terbuka pelan. Tampak Lucy yang membawa nampan berisi makanan.

"Ed, kau harus makan."

Edmund menggeleng. "Aku tidak nafsu."

Lucy meletakkan nampan itu di meja kecil sebelah Edmund.

"Relakan dia, Ed." Lirih Lucy sambil memegang tangan Edmund yang menggenggam tangan Zen. "Aku tahu ini berat, tapi.." Suara isak tangis dari Lucy pun terdengar.

"No, Lucy.. No.. Dia hanya tertidur, right?" Edmund tertawa, tertawa hampa.

Lucy menggeleng, menundukkan kepalanya. Tak kuat melihat saudaranya terpuruk.

"Dia hanya tidur kan? Iya kan?" Getaran suara terdengar jelas. "Benar kan? Jawab aku Lucy!"

Lucy terisak sebagai jawaban. Jika boleh, Lucy juga akan berharap bahwa Zen hanyalah tertidur semata. Tapi kenyataan tidak seperti itu. Dia tertidur, tertidur untuk selamanya.

Disisi lain,

Buckland tak berhenti-hentinya tertawa, seperti orang sakit jiwa. Frank hanya berekspresi datar, dan tentu saja dengan kepala yang sedikit menunduk.

"Tak ku sangka, aku telah tuntas memusnahkan Azalea." Buckland menyeringai menatap bola cahaya kecil yang mengambang di tangannya.

"Dann... errr." Buckland menatap benci pada Frank. "Naga berkepala tiga itu sungguh tak berguna. kau harus mencarikan aku mahkluk yang lebih baik darinya."

Frank memberi hormat. "Baik, tuanku."

"Aku akan membawa cahaya indah ini ke koleksiku. AHAHAHA akhirnya para keluarga Azalea berkumpul bersama."

Buckland berdiri dan melangkah pada lemari hitam kaca yang berisikan bola cahaya yang sama persis dengan bola cahaya yang di tangannya.

"Dengan ini, aku bisa membangkitkan mahkluk yang lebih kuat untuk menghancurkan Nar- tidak, lebih baik aku gunakan mahkluk ini untuk menghancurkan duniaaaa HAHAHA."

"Aku sarankan kau harus mengembalikannya ke tempat asal."

Buckland menoleh kebelakang.

"Wow, Aslan penguasa Narnia." Buckland menatap remeh. "Kau ingin aku mengembalikan ini? Jangan harap."

"Kau tidak bisa membawa pergi jiwa yang baik, Buckland."

"Tentu aku bisa."

AUMMMMMM!

Buckland tersentak dan menepuk lengannya. "Wah wah, sang penguasa sedang marah rupanya."

Aslan tak menjawab. Yang ada hanyalah suasana mencekam, sangat mencekam. Frank yang berada satu ruangan dengan mereka, hanya diam membatu. Dia tak ingin ikut campur. Terlebih lagi ketika memori saat Aslan memusnahkan Jadis, si penyihir putih, dalam sekejap melintas di pikirannya.

"Kenapa kau diam, hm?" Buckland menyeringai.

"Aku memberimu kesempatan untuk mengembalikan jiwa anak itu kembali."

"HAHAHAHA, APA UNTUNGNYA UNTUKKU?"

Aslan sekali lagi mengeluarkan aumannya. Angin kencang datang dari belakang Aslan, membuat Buckland terdorong  tertahan pada lemari yang merupakan tempat penyimpanan jiwa-jiwa keluarga Azalea.

Buckland mencoba mengeluarkan sihir hitamnya untuk melawan. Namun hasilnya nihil, dia tak akan bisa menandingi Aslan. Siapapun tidak.

Aslan mendekatinya dan saat itu juga kejadian yang sama yang menimpa Jadis, penyihir putih itu, terjadi kembali.

***

Sebuah tangan dengan lembut membelai kepalanya. Orang itu tertidur sangat lelap, matanya bengkak sehabis menangis. Sesekali tangan itu memperbaiki anak rambutnya yang berantakan.

Matanya menatap sekitar, dan tampak sebuah nampan berisikan makanan yang masih utuh di meja. Matanya pun menatap luar jendela. Tampak langit sudah gelap, bintang-bintang berkelap-kelip dengan indah disana.

"Kenapa kau tidak makan?" Lirihnya pelan sambil membelai kepalanya. Matanya berkaca-kaca, terdengar jelas di pikirannya teriakan lelaki itu saat detik-detik tombak hitam itu menusuknya. Pedih rasanya.

"Maaf telah membuat mu seperti ini, Ed."

Tangannya dengan pelan menggenggam tangan Edmund. Edmund yang merasa ada yang menggenggamnya pun terbangun. Matanya menatap tidak percaya, tangannya membalas genggamannya dengan kuat.

"Zen?"

Pemilik nama Zen itu pun tersenyum.

"Edmund, aku merindukanmu."

Edmund dengan reflek memberikan ciuman singkat pada Zen. Tepat di bibir.

Zen hanya diam mematung. Wajahnya menghangat.

Edmund menempelkan keningnya pada kening Zen. Zen bisa mendengar suara nafas Edmund.

"Aku tahu kau hanya tertidur. Kau tak akan meninggalkan aku."

Zen hanya terkekeh kecil. "Aku tak akan meninggalkanmu, Ed. Tak akan."

"Kau berjanji padaku."

"Iya, Ed. Aku janji."

Zen In NarniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang