"Zen."
Zen mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara dan menemukan seekor singa yang gagah dan tegas di depannya.
Mengapa singa ini terlihat sangat familiar? Pikir Zen.
"Kau bisa melewati ini. Aku percaya padamu."
Zen mengeryitkan dahinya, tidak mengerti maksud dari perkataan singa itu.
"Jangan lupakan akan ketulusan hati."
"Kau siapa? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Zen memberanikan diri bertanya akan jati diri singa itu.
Singa itu hanya tersenyum pada Zen. Zen mengerjapkan matanya berkali-kali. Singa bisa tersenyum?
Perlahan mata Zen terbuka. Zen dengan segara memposisikan dirinya dengan duduk. Zen memegang kepalanya dan mencoba mengingat kembali akan mimpinya.
"Singa itu sangat familiar."
"Singa apa?" Lucy datang menghampiri Zen dengan penampilan yang fresh. Rupanya Lucy telah bangun lebih awal.
"Kau tidak membangunkan ku, Lucy?" Zen mengalihkan topik pembicaraan. Entah mengapa Zen merasa mimpinya adalah hal yang sangat rahasia.
"Kau terlihat sangat lelap dalam tidurmu. Sedang mimpi indah, hmm?"
Zen hanya tersenyum menanggapi Lucy.
"By the way, soal singa." Lucy duduk di tepi kasur Zen. "Aku merindukan dia." Lucy menatap Zen dengan tatapan sendu. Zen dengan reflek memeluk Lucy, memberi ketenangan. "Sudah lama sekali dia tidak muncul, menampakkan diri."
"Seberapa lama?" Tanya Zen yang masih setia memeluk Lucy.
"Sangat lama. Bahkan Caspian sama sekali tidak tau kemana dia pergi."
Zen menepuk punggung Lucy dengan pelan. Hati Zen sungguh teriris melihat Lucy seperti ini. Entah siapa yang di rindukan Lucy, dia pasti sangat berharga.
"Oh, aku lupa memberi tahu." Lucy kini melepas pelukan Zen dan menatapnya. "Kau melewatkan sara--"
"Ini." Edmund datang menyodorkan piring yang berisikan beberapa potong roti dan juga susu hangat. Zen menatap Edmund dengan heran. Untuk apa Edmund membawakan sarapan ke kamarnya? Sedangkan Lucy tersenyun penuh dengan arti.
"Makanlah, Zen." Lucy mengambil sepotong roti dari Edmund dan memberikannya pada Zen. Zen menerima roti itu. "Terimakasih." Senyum kembali muncul di wajahnya.
"Ya, sama-sama putri kebo." Edmund menyengir.
"Kebo?" Zen menaikkan alisnya tanda tak mengerti.
"Ya, memangnya kau tidak tahu apa itu kebo? Kau ini sungguh perempuan apa bukan? Bangun siang seperti ini." Edmund menatap geram.
"Siang?" Zen menatap Lucy. "Lucy, katakan padaku jam berapa sekarang."
"Hmm sebelas kurang li--"
"APA?! JAM SEBELAS? SELAMA APA AKU TERTIDUR?" Zen reflek memukul kasur empuknya berulang kali.
"Kau bertanya pada kami, kami bertanya pada siapa?" Edmund menatap Zen dengan menahan senyum yang tampak jelas diwajahnya. Zen menatap Edmund dengan sedikit merapikan rambutnya, salah tingkah.
"Kenapa kau tak membangunkan aku, Lucy..." Lirih Zen.
"Kau terlihat sangat nyenyak, Zen. Aku tak tega membangunkanmu." Lucy memegang tangan Zen. "Maaf."
"Tidak apa." Zen tersenyum. "Lain kali bangunkan saja aku dengan paksa jika aku sulit dibangunkan. Aku tak mau dijuluki putri kebo." Zen memanyunkan bibirnya. Lucy terkekeh. Edmund menahan geram dan mencoba menenangkan diri, karena saat ini, jantungnya berdetak tidak karuan.
"Well, sehabis ini kami akan pergi menemui Caspian. Apa kau mau ikut, Zen?"
***
"Sebentar lagi, SEBENTAR LAGI!!! HAHAHA!" Lelaki dengan aura kegelapan itu mengangkat kedua tangannya ke atas. Tawa seram keluar dari mulutnya. Frank tidak pernah sekalipun mengangkat kepalanya, menatap tuannya itu. Hah, sungguh miris hidup Frank. Telah lama dia bebas dari penyihir putih, namun sekarang dia harus menyerahkan hidupnya mengabdi pada Buckland, penyihir hitam yang saat ini berada di depannya.
"Frank." Lelaki dengan aura kegelapan yang bernama Buckland itu memanggil Frank dengan suara berat yang mencengkam.
"Ya, Tuanku?" Frank menunduk memberi hormat.
"Bawakan aku seorang anak manusia."
"Baik, Tuanku." Frank melangkah mundur dengan kepala yang masih menunduk dan dengan segera pergi meninggalkan ruangan yang kini penuh dengan suara tawa dari sang tuan.
***
"Kau tidak apa-apa, Caspian?" Zen menatap khawatir pada Caspian yang saat ini memegang kepalanya frustasi. Begitu juga dengan Lucy yang juga ikut menatap Caspian prihatin.
"Kita harus bersiap-siap segera. Waktu kita tidak banyak." Caspian menatap mereka dengan serius.
"Bersiap untuk apa?" Edmund menaikkan kedua alisnya.
"Perang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zen In Narnia
FantasiZen adalah sosok gadis yang tidak pernah malu mengutarakan perasaannya pada Edmund yang selalu acuh tak acuh dan bersikap dingin padanya. Waktu terus berjalan hingga mereka yakni Edmund, Lucy, dan juga Zen muncul di Narnia berkat sebuah buku milik Z...