Keesokan harinya.
Pagi yang sangat cerah, cahaya mentari dengan lembut menyinari wajah Zen yang masih terlelap dalam alam mimpi. Disebelah tempat tidur Zen, terdapat Lucy yang duduk menatapnya, sesekali merapikan anak rambut Zen.
Semalaman, Zen hanya menangis dan terus menangis. Hingga akhirnya dia jatuh tertidur di pelukan Lucy. Lucy panik karrna bingung bagaimana cara membawa Zen ke kastil. Untungnya Edmund, saudaranya yang menurut dia bodoh itu, datang.
Pintu kamar yang ditempati Lucy dan Zen terbuka pelan. Lucy mendengus kesal ketika tau bahwa yang berada dihadapannya kini adalah saudaranya.
"Apa dia masih tidur?"
"Apa kau tidak bisa melihatnya sendiri?" Lucy menatap tajam. Edmund bergidik ngeri. Sungguh. Lucy sangat menyeramkan ketika marah. (Jangan pernah sesekali membuat orang sabar marah -Edmund-)
Tanpa mereka sadari, Zen telah bangun dari tidurnya. Hanya saja, Zen tidak membuka matanya. Dan juga, Zen belum terlalu kuat untuk melihat Edmund.
"Untuk apa kau ke sini?" Tanya Lucy dengan tatapan mengintimidasi.
"Sarapan telah siap di aula."
Lucy ber oh pelan. Lantas tangannya mengisyaratkan Edmund untuk pergi dari kamar.
"Aku akan pergi setelah Zen bangun."
Lucy melotot. "Zen telah menangis sepanjang malam. Kau tau? Itu karna kau! Jadi pergilah, Ed. Jangan biarkan dia melihatmu. Biarkan dia tenang sehari saja tanpa mengingat dirimu." Lucy menunjuk pintu kamar, mempersilahkan Edmund keluar.
Edmund tidak mendengar perkataan Lucy, walau sebenarnya dalam hatinya merasa sakit ketika mendengar Zen menangis karena mengingat dirinya yang sangat keterlaluan. Sungguh, Edmund sangat ingin mengutuk dirinya sendiri.
"Aku ingin menunggu Zen bangun. Aku berutang penjelasan padanya."
"Berutang penjelasan? Apa yang perlu dijelaskan, Ed?" Lucy sedikit menaikkan suaranya.
"Tentu saja tentang perlakuanku."
"Tak ada yang perlu--"
"Kalian wanita benar-benar merepotkan." Edmund berdecak kesal. "Tidak bisakah kalian memberi kesempatan kepada laki-laki untuk menjelaskan? Apa susahnya mendengar mereka?"
"Ehem."
Lucy dan Edmund menoleh ke arah sumber suara. Tampak Zen sedang duduk dan tersenyum.
"Tidak bisakah kalian berdua tidak bertengkar dipagi hari?"
Edmund hanya diam dan menunduk. Edmund masih sedikit takut menatap Zen, takut Zen akan menangis lagi. Sedangkan Lucy meminta maaf pada Zen karena telah menganggu tidurnya.
"Tak apa, Lucy. Aku tidak marah." Zen sedikit terkekeh dengan tingkah Lucy.
"Sebaiknya kau tutup matamu. Aku tak ingin kau melihat patung manusia jelek yang berdiri disampingku." Lucy menutup mata Zen dengan kedua tangannya. Edmund menatap tajam pada Lucy. Lucy tak peduli.
"Lucy..." Zen melepaskan tangan Lucy dari matanya dan menatap Lucy dengan tatapan penuh harap. "Bisakah kau tinggalkan aku dan Edmund disini? Hanya sebentar."
"Apa? Kau yakin?" Tanya Lucy sedikit terkejut.
"Ya, pergilah Lucy. Tinggalkan kami berdua." Ucap Edmund yang juga sedikit terkejut. Lucy melotot pada Edmund dan menatap Zen, berharap Zen benar-benar yakin dengan keputusannya. Zen mengangguk pelan. "Aku tak apa, Lucy. Percayalah." Lucy pun berdiri dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Suasana terasa canggung ketika Lucy pergi. Edmund hanya duduk diam menatap Zen yang menunduk memainkan jarinya.
"Ed.."
"Zen.."Seketika mata mereka bertemu.
"Aa-- kau duluan."
"No, ladies first."
Zen menghela nafas, sedikit menyembunyikan senyumnya.
"Aku minta maaf." Ucap Zen. "Maaf, aku tidak pernah memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan."
Edmund tersenyum kecil. "Ternyata kau sudah bangun sedari tadi? Dasar nakal."
Zen memegang keningnya yang dijitak oleh Edmund. "Sakit, Ed." Bibir Zen cemberut. Edmund terkekeh. Edmund pun mengusap kening Zen.
"Aduh.. sakit ya?" Tanya Edmund yang masih terkekeh. Masih dengan tangan yang mengusap kening Zen, Edmund berdiri dan mendekatkan wajahnya pada Zen.
Sebuah ciuman mendarat di kening Zen.
"Aa-- apa ya-- yang kau lakuka-- kan?" Ucap Zen terbata-bata. Wajahnya terasa panas. Hal itu membuat Edmund tertawa geram.
"Sudah tak sakit, bukan?" Tanya Edmund dengan senyum manisnya. Zen hanya terdiam membeku menatap lelaki pujaannya tersenyum manis di hadapannya.
"Maaf. Aku tak bermaksud apa-apa saat itu. Aku hanya geram dengan tingkahmu, jadi aku putuskan untuk sedikit mengerjaimu." Edmund menatap Zen dengan sendu. "Siapa sangka itu malah menyakitimu."
Zen membelai kepala Edmund. "Kau tau, Ed? Tanpa kau meminta maaf padaku, aku sudah memaafkanmu." Zen tersenyum. Begitu juga dengan Edmund.
"Jadi kau tak marah?"
"Katakan padaku alasan mengapa aku harus marah pada lelaki yang sangat aku cintai."
Edmund tersenyum. "Kau gila."
"Ya, aku gila karenamu."
Lucy sedari tadi tersenyum melihat mereka berdua yang kini telah berbaikan di balik pintu.
"Aku tak mau tau, aku ingin Zen menjadi kakak iparku." Guman Lucy yang kini tertawa geli mengingat mereka berdua.

KAMU SEDANG MEMBACA
Zen In Narnia
FantasíaZen adalah sosok gadis yang tidak pernah malu mengutarakan perasaannya pada Edmund yang selalu acuh tak acuh dan bersikap dingin padanya. Waktu terus berjalan hingga mereka yakni Edmund, Lucy, dan juga Zen muncul di Narnia berkat sebuah buku milik Z...