Langit malam begitu hampa tanpa bintang-bintang. Tanpa sengaja langit malam menjadi teman Zen yang kini juga merasa hampa, sakit hati, kecewa... Mata Zen berkaca-kaca menatap betapa gelap dan hampanya langit malam.
Zen tak menunjukkan diri setelah pergi meninggalkan Edmund. Zen mengurung dirinya di balkon perpustakaan kastil. Perpustakaan sangat sepi, dan itu tempat yang cocok untuk menyendiri. Terlebih lagi Zen menyukai buku. Hal itu membuat Zen sedikit tenang.
Mata Zen terpejam. Berusaha menahan rasa sakit yang dia rasakan. Hatinya sakit karena Edmund. Edmund seakan-akan mempermainkan perasaannya.
Zen mengepal tangannya, mencoba menahan air mata nya jatuh.
"Zen?"
Tidak ada respon dari Zen.
Orang yang memanggil Zen itu mendekat dan duduk di samping Zen. Namun sebelum dia benar-benar duduk, dia menyelimuti Zen dengan selimut yang dia bawa.
"Angin di malam hari sangat dingin." Ucap orang itu. "Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini?" Orang itu menatap Zen.
Zen menggenggam erat selimut yang menghangatkan tubuhnya. Perlahan kepalanya mendonggak dan menatap orang itu dengan mata yang menampung air mata.
"Caspiannn..." Air mata Zen jatuh.
"Zen? What's wrong with you?" Caspian menatap Zen dengan khawatir. Tangannya dengan pelan menghapus air mata yang menempel di wajahnya.
Zen hanya terisak. Suara tangisnya semakin pecah ketika Caspian memeluk dirinya.
"Kenapa Caspian? Kenapaaa?!" Tangan Zen memukul pelan punggung Caspian. Caspian membalas menepuk punggung Zen dengan pelan.
"Kenapa dia tega?"
Caspian hanya diam.
"Tak seharusnya dia mempermainkan perasaanku."
"Jika tak suka padaku, tinggal bilang saja!"
"Aku tau aku akan tetap berusaha meluluhkan hatinya walau dia telah mengusirku."
"Tapi-- haruskah? Haruskah dia begitu? Berpura-pura mati di depanku dan setelah itu bertingkah seakan-akan tidak terjadi apa-apa?"
"Gila."
"Aku sungguh seperti orang idiot yang gila karena cinta."
Zen merebahkan kepalanya dipundak Caspian. Tangannya telah berhenti memukuli punggungnya. Sedangkan Caspian tetap menepuk punggung Zen dengan pelan, berharap Zen menjadi lebih tenang.
Hening menyelimuti mereka beberapa saat.
"Kau tidur?" Caspian mencoba menatap Zen yang menyembunyikan wajahnya di pundaknya. Tidak ada respon. Caspian dengan pelan ingin mengangkat Zen, memindahkan nya ke kamar, agar Zen lebih nyaman beristirahat.
"Caspian." Zen mendongakkan kepalanya, menatap Caspian dengan mata sembabnya yang memancarkan keseriusan.
"Bisakah kau menceritakan tentang Anak Hawa yang terpilih padaku?"
Caspian menatap Zen dengan penuh selidik.
"Ayolah, ceritakan padaku. Aku hanya bosan." Zen merengek layaknya anak kecil. Caspian tersenyum kecil melihat Zen. Padahal sebelumnya dia sangat terpuruk namun sekarang berubah 180°.
"Kau ingin tau tentang apa?"
"Semua. Ceritakan tentang apa yang kau tahu." Zen mengubah posisinya menjadi posisi duduk yang nyaman.
Caspian berhmm pelan.
"Baiklah. Seperti yang kau tau, ramalan tentang kepunahan Narnia."
Zen mengangguk.
"Makhluk yang sangat kuat akan bangkit dari kematiannya. Perang besar akan terjadi, Narnia akan punah karena makhluk itu."
"Apakah kau tau tentang makhluk yang kuat itu?" Zen bertanya. Caspian menggeleng. "Belum ada yang tau." Zen kembali mengangguk.
"Kau pasti sudah tau, tak ada yang bisa menghentikannya kecuali Anak Hawa yang terpilih."
Zen berhmm pelan. "Bagaimana Anak Hawa itu menghentikannya?"
"Aku benar-benar minta maaf soal itu. Aku melupakan hal itu. Aku pernah membaca tentang Anak Hawa yang terpilih di salah satu perkamen kuno di perpustakaan Profesor Cornelius. Namun aku lupa dimana aku meletakkan perkamen itu." Caspian memegang keningnya. "Maaf, aku ceroboh."
Zen tertawa kecil. "Tak apa. Bisa kau lanjutkan ceritamu?"
Caspian mengangguk. "Siapa Anak Hawa yang terpilih itu kami belum tau pasti. Kami hanya bisa menunggu Aslan muncul dan entah kapan itu terjadi. Telah bertahun-tahun Aslan tidak pernah menampakkan dirinya. Hal itu menbuat kami sangat putus asa."
"Aslan?" Zen menaikkan alisnya.
"Ya. Penguasa Narnia."
Zen mengangguk mengerti.
"Dan entah mengapa aku merasa..." Caspian menatap Zen. Zen membalas menatap Caspian. "Kau adalah Anak Hawa yang terpilih itu."
Zen terdiam sejenak dan sesaat kemudian tertawa.
"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Aduh, kau sangat lucu Caspian."
"Aku serius. Tapi aku harap firasatku adalah salah." Caspian menatap langit malam. "Kau ingat aku punya pertemuan penting kemarin."
Zen mengangguk.
"Berkat pertemuan penting itu kami mendapatkan informasi yang sangat penting. Dan juga berkat pertemuan itu kami tau pasti yang bisa menyelamatkan Narnia adalah Anak Hawa."
Zen menatap Caspian dengan antusias. "Apa info penting itu?"
"Azalea."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zen In Narnia
FantasyZen adalah sosok gadis yang tidak pernah malu mengutarakan perasaannya pada Edmund yang selalu acuh tak acuh dan bersikap dingin padanya. Waktu terus berjalan hingga mereka yakni Edmund, Lucy, dan juga Zen muncul di Narnia berkat sebuah buku milik Z...