🔅#13🔅

1.9K 220 2
                                    

Jingga berjalan dengan sedikit tertatih menyusul Senja yang hendak memasuki angkot.

"Ja, lu jahat banget gak bantuin gue," cemberut Jingga begitu mendudukkan bokongnya di samping Senja.

"Oh." Hanya itu balasan dari Senja yang membuat Jingga memegang dadanya dramatis.

"Damage, Ja. Hadoh ... atit," ucap Jingga lebay.

Senja menoleh, menatap gadis di sampingnya dengan tatapan sulit diartikan.

"Kenapa?" tanya Jingga ketika merasa diperhatikan oleh Senja. Yang ditanya justru mengalihkan pandangannya, lalu menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Ja, lo gak lagi suka sama cowok gitu? Lo gak pernah pacaran?" Jingga membuka topik baru.

'Kenapa? Kalo gue suka sama cowok, lo bakal rebut lagi?' Pertanyaan itu hanya bisa Senja lontarkan di dalam hati, pada kenyataannya ia hanya diam dengan tatapan tajam yang menghunus retina Jingga.

"Ja, serem tau di tatap begitu," ucap Jingga bergidik ngeri.

"Lo marah?" Sepertinya gadis ini memang suka sekali melontarkan pertanyaan pada Senja.

"Ja, jawab kali," kesal Jingga karena tak mendapat tanggapan dari Senja.

"Gue gak pernah marah sama lo," kata Senja yang membuat Jingga terkejut bukan main.

"Serius?" tanya Jingga tak percaya.

"Eum ...." Senja mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tapi gue benci," lanjutnya dengan senyum miring. Jingga terdiam, syok dengan jawaban Senja.

"Gue benci dengan semua tindakan lo, perkataan lo, bahkan gue benci karna harus liat lo setiap hari," jelas Senja membuat Jingga menunduk sedih.

"Neng, kok neng kayak gitu sama kembarannya?" ucap seorang ibu-ibu yang duduk di depan mereka.

"Iya, gitu banget. Masa benci sama kembaran sendiri," timpal seorang wanita bersetelan jas kantor.

"Kiri, Pak." Senja bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari angkot, gadis itu terlebih dahulu berbicara kepada ibu-ibu dan wanita tadi.

"Cobalah untuk gak ngurusin hidup orang lain, Kalian bahkan gak tau permasalahannya," ujar Senja lalu turun dan membayar angkot tersebut.

Jingga menatap kepergian Senja, lalu memutuskan untuk ikut turun.

"JA, TUNGGU," teriak Jingga lalu berlari mengejar Senja dengan tertatih.

"Berhenti ikutin gue," ujar Senja ketika Jingga telah berada di depannya.

"Tapi, Ja—"

"Lo mau jadi penguntit?" Senja memotong ucapan Jingga.

"Bukan gi—"

Belum sempat Jingga menyelesaikan kalimatnya, Senja terlebih dahulu pergi menjauh.

"Ck ... kebiasaan," decak Jingga kemudian menyusul saudara kembarnya.

Dengan sedikit kesusahan akibat lututnya yang perih karena terjatuh tadi, Jingga berusaha mensejajarkan langkah dengan Senja. Tidak mudah memang menyamai langkah Senja yang cepat, namun dengan sekuat tenaga akhirnya Jingga bisa menggapai saudara kembarnya itu.

Senja menghentikan langkah ketika bahunya di pegang oleh Jingga, lalu menatap gadis di sampingnya dengan tajam.

"Gue udah bilang jangan ngikutin gue, lo tuli?" geram Senja yang membuat Jingga menggeleng dengan cepat.

"Kenapa lo gak pulang aja hah? Jalan aja susah, sok-sok an mau ngikut," bentak Senja. Jingga menunduk, ia bukan takut, justru gadis itu hanya ingin memperhatikan kakinya.

Jingga mendongakkan kembali kepalanya dan tersenyum. "Secara gak langsung kamu perhatian sama aku, Ja," ucap gadis itu.

Senja berdecak kesal, kenapa Jingga seolah-olah selalu berpikir positif tentang dirinya padahal niatan Senja adalah agar Senja sakit hati dan menjauhinya.

"Jangan mimpi, gue gak mungkin perhatian sama lo." Senja kemudian melanjutkan langkahnya, ternyata tujuan gadis itu adalah toko kue.

Jingga menekuk wajahnya, kenapa Senja selalu mengelak? Padahal Jingga tau, bagaimanapun Senja pasti masih punya rasa empati dan sayang kepadanya. Mereka kembar, dan sebenci apapun Senja pada dirinya, Jingga yakin gadis itu tak sepenuhnya benci.

"Ini tempat biasa kamu beli kue buat bunda?" tanya Jingga menatap sekeliling toko kue tersebut. Banyak sekali jenis kue yang tersedia disana, dimulai dari kue cokelat, rainbow, sampai red velvet.

Senja tak menanggapi perkataan, gadis itu memilih untuk menghampiri sang penjaga toko.

"Bu, kayak biasa ya," ucap Senja. Penjaga tokoh tersebut mengangguk dengan senyum manis, lalu dengan cepat mengambilkan kue cokelat untuk Senja.

"Ini, mbak." Penjaga toko itu memberikan keresek yang sudah berisi kue cokelat kepada Senja dan langsung diterima oleh gadis itu.

"Itu kembarannya ya?" tanya wanita paruh baya itu sambil melirik Jingga yang asik mengamati isi toko kue tersebut.

"Bukan," balas Senja dengan santai sambil mengambil uang kembalian yang wanita itu sodorkan.

"Tapi kok mirip banget?" Senja mendelik sebal. Bukan kah orang-orang sudah bisa mengetahui jika mereka kembar tanpa bertanya? Lalu kenapa mereka harus menanyakan pertanyaan yang sudah mereka ketahui jawabannya.

"Permisi," pamit Senja kemudian berjalan ke luar toko. Jingga yang menyadari saudaranya itu telah keluar pun langsung menyusul.

"Ja, kue nya biar aku aja yang kasih ke bunda. Biar gak dibuang lagi," ucap Jingga yang berjalan di belakang Senja.

"Terus dengan kayak gitu, bunda bakal ngira lo yang beli dan makin sayang ke elu sedangkan gue tetap gak di peduliin?"

Jingga terdiam, perkataan Senja selalu bisa memukul telak Jingga. Walau dia tak pernah punya niatan seperti itu, tapi hal tersebut sangat menusuk relung hatinya.

"Bukan gitu, Ja. Aku cuma gak mau kue kamu terbuang sia-sia terus, itu belinya kan pake duit. Mubazir loh, Ja," balas Jingga akhirnya.

"Seenggaknya gue usaha, walau selalu terbuang sia-sia." Senja kemudian mempercepat langkahnya, meninggalkan Jingga yang melangkah dengan menahan sakit di lututnya. Tak memperdulikan Jingga yang berteriak memanggil namanya, Senja tetap melangkah tanpa melirik ke belakang.

"Ssshhh ... Kaki, kompromi dikit dong. Kan gue mau ngejar Senja, jan nyut-nyutan ngapa." Jingga mengusap kakinya sambil berbicara seolah kaki itu bisa membalas perkataannya, lalu kembali mendongak menatap punggung Senja yang semakin menjauh dari hadapannya.

"Kapan aku bisa peluk punggung rapuh kamu, Ja?"

Senja Tanpa Jingga (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang